Keinginan egois, saat didapatkan terkadang akan mendatangkan rasa bersalah yang amat besar.
Dan Revan sangat mengerti akan hal itu. Namun egonya berkata "dia seharusnya tahu bahwa hal ini akan terjadi saat dia memilih untuk menampungku."
Mungkin hal itu bisa disebut sebagai obsesi dan ketidakrelaan. Oleh karena itu, walau ia sangat mengenal sang kawan yang seharusnya mati pada hari itu, ia berpura-pura untuk tidak mengerti.
Ia akan memaksa dirinya sendiri untuk berfikir bahwa sang kawan akan kembali hidup bahagia saat ia terbangun.
Jadi, saat manik biru itu akhirnya memunculkan binarnya setelah terlelap hampir satu tahun, harapannya hancur.
Bukan karena ada lontaran amarah dari sang pemilik manik safir yang tidak terima karena ia telah dibangkitkan, melainkan karena yang sang pengendali angin itu sambut untuk pertama kali setelah terbangun adalah rasa sakit yang amat sangat, menggerogoti jantungnya.
Tangan ringkih itu mencengkram dadanya walau tentu saja cengkraman itu sangatlah lemah. Ia baru saja terbangun, dan tubuhnya memang sudah rusak. Jadi ia sendiri mengerti.
Bahwa terbangun seperti ini hanya membuat kehadirannya dapat dirasakan. Dirasakan oleh orang-orang yang masih tak rela melepasnya.
Taufan mengerahkan seluruh tenaga yang ia bisa untuk menarik nafas, berharap setidaknya rasa sakit tumpul yang mengamuk di dalam dadanya dapat sedikit menjinak.
Revan menghampirinya dengan tatapan yang lega saat melihat kawannya yang telah terpejam berbulan-bulan itu kini akhirnya membuka matanya, namun ia bergegas menyuntikan obat ke alat infus Taufan.
"Painkiller nya akan bekerja sebentar lagi.." ucap Revan dengan suara yang terdengar menahan rasa bersalahnya.
Taufan menatap kawan bersurai putihnya itu. Butuh beberapa saat agar pandangannya dapat menyesuaikan diri setelah lama terpejam. Senyum ia lukiskan, senyum ramah yang malah terlihat rapuh.
"Maaf .." ucap Revan setelah melihat senyum itu. Ombak rasa bersalah berhasil menghantam tebing egonya. Kini ia menjadi orang yang malah memberikan rasa sakit kepada sang kawan yang hidupnya sudah dipenuhi rasa sakit.
"Maaf, maafkan aku." Ucapnya sambil mencengkram sprei. Air mata yang selama ini ia kira tak dapat ia keluarkan kini mengalir deras di pipinya. Rasanya seakan ia adalah anak kecil yang menangis di depan ibunya, lucu, mengingat ia tidak pernah memiliki ibu yang dapat menyayanginya.
Taufan menggerakan tangannya yang lemah itu, berusaha mendaratkan telapak tangannya ke kepala Revan. Ia mengusak surai putih itu, "tidak apa-apa." Ucapnya lembut dengan suara yang sangat serak dan parau karena sudah lama tak digunakan. Membuat rasa bersalah Revan semakin memuncak.
"Revan, tidak apa-apa." Ucap Taufan lagi, menepuk-nepuk tangan Revan yang masih mencengkram sprei itu.
"Justru.. aku harus berterima kasih." Ucap Taufan sambil menggenggam tangan sang kawan sekuat yang ia bisa.
Namun Revan rasa bahwa perkataan itu hanyalah kalimat penghibur untuk dirinya.
°•°•°•°
"Apa benar tidak apa-apa?" Tanya Revan dengan berhati-hati. Biasanya ia bersikap acuh tak acuh dan bermulut tajam, namun ia seakan menjadi marshmellow lembut yang lumer dalam cokelat panas, alias, sungguh sangat lembut dan berhati-hati. Jika kondisi Taufan sedang baik-baik saja, sang pemilik manik safir itu sudah pasti merinding dibuatnya.
Sudah dua minggu berlalu semenjak Taufan terbangun dari 'koma' nya. Ia kini menjalani rehabilitasi 'ilegal' yang dipandu oleh dokter 'ilegal' yaitu dokter Revan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOBOIBOY - AGENT AU [IDN]
Fanfiction"Taufan, kau telah menghancurkan segalanya!" "jika saja kau tak ceroboh! dia-- dia tak akan--" setelah kejadian di hari itu, hari-hari Taufan berubah. kebahagiaan seakan telah pergi begitu saja darinya bersama dengan saudara-saudaranya yang telah...