Shilla menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Jari jempolnya sibuk menscroll sosial media. Hingga layar handphone berubah menjadi hitam lalu menampakkan icon video call dari Tania. Buru-buru Shilla memakai hijabnya, untuk jaga-jaga jika Ricko juga berada di sebelah Tania. Meskipun kemungkinannya sangat kecil karena saat ini mereka dalam prosesi dipingit. Setelah hijabnya terpasang sempurna, barulah Shilla menggeser ikon berwarna hijau, dengan begini ia baru bisa tenang, tak perlu risau jika auratnya terlihat oleh orang yang bukan mahramnya.
"Shill, bosen tau. Gabut. Nggak ada kerjaan, nggak boleh keluar. Nggak punya teman ngobrol." Shilla menikmati keluhan Tania yang wajahnya tertekuk itu.
"Kan saudara kamu di situ semua, Nia. Masa nggak ada temen ngobrol?" Tania menggeleng lemah dari balik layar handphone.
"Nggak ada yang asyik," keluhnya sembari menatap sekitar. Semua saudaranya memandangnya rendah karena masa lalunya yang kelam. Bahkan mereka tak sungkan membicarakannya di hadapan Tania. Sama sekali tak mempedulikan perasaannya, seperti itukah yang disebut saudara? Jika bukan karena kedua orang tuanya, tentu saja Tania tak akan repot-repot berurusan dengan mereka yang masih memiliki ikatan darah itu.
"Mending sekarang kamu sholat, baca surah Al Mulk, terus tidur." Shilla memberikan saran yang malah membuat Tania semakin cemberut.
"Baru juga nelpon, Shill. Iya deh iya, tapi gue mau liat si Daffin dulu dong." Tania berusaha bernegosiasi dengan Shilla. Sejak melihat Daffin sewaktu kelahiran putra sahabatnya itu, Tania tak pernah bosan mengunjungi Daffin. Sahabat Shilla itu sudah terlanjur gemas dengan tingkah lucu Daffin.
"Bentar," sahut Shilla kemudian beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar sebelah--tempat tidur Daffin.
"Uhh lucu banget," seru Tania dengan gemas begitu melihat wajah damai Daffin yang terlelap.
"Dah sana tidur," ujar Shilla berniat memutuskan sambungan video callnya.
"Kamu juga tidur," sahut Fakhri dari arah belakang. Dengan sekali gerakan, Shilla langsung menggeser tombol merah. Lalu memfokuskan dirinya sepenuhnya kepada sang suami.
"Abah baru pulang? Mau makan dulu?" tawar Shilla seperti biasa setelah menyalami tangan suaminya.
Fakhri tersenyum sekilas sebelum menyodorkan sebuah kotak yang ia dapat dari panitia pengajian tadi. Dua Minggu sekali, ia mendapat giliran mengisi kajian. Sebenarnya tadi diberi dua kotak konsumsi, tapi sudah Fakhri berikan kepada Winda--mertuanya terlebih dahulu.
"Nih."
Shilla membuka kotak konsumsi itu yang ternyata berisi ayam geprek.
"Wah ... Ayam geprek. Buat aku?"
"Iya, tapi sambalnya jangan dimakan ya? Nggak baik makan yang pedas-pedas di malam hari," saran Fakhri yang membuat Shilla kesal.
"Ya namanya ayam geprek, Bah. Kalau nggak pakai sambal namanya kentaki," rengut Shilla dengan pipi menggembung. Suatu kebiasaan yang tak pernah berubah sejak pertama kali ia Fakhri mengenalnya. Entah mengapa, di mata Fakhri saat ini, Shilla masih seperti seorang perempuan yang baru dinikahinya lantaran sifat dan kebiasaan istrinya itu masih tetap sama.
Fakhri mengambil alih kotak makan yang berada di tangan Shilla. Ia juga menarik tangan istrinya untuk duduk di kursi balkon kamarnya. Fakhri menuangkan sambal ke ayam geprek dengan porsi yang masih bisa dikatakan wajar, dalam artian tidak terlalu kepedasan.
"Sudah segini saja." Fakhri kembali menyerahkan sekotak makanan ke arah istrinya yang langsung diterima oleh Shilla dengan senyuman tulus seolah mengatakan, "terima kasih."
***
Pukul 5 sore"Mas, mau pakai baju batik yang mana?" Tanya Shilla yang tampak kebingungan hendak mengambil baju yang mana di antara tumpukan baju batik yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari yang Tersembunyi[END]
SpiritualFakhriza Ghiffari diajak nikah oleh seseorang yang ia tolong. Demi mempertahankan prinsipnya sebagai seorang ustad ia menikahi gadis amnesia yang tak diketahui asal-usulnya itu. Lalu apa yang akan terjadi setelahnya saat Arshilla Salsabila mendapat...