[Langkah Baru]

616 30 7
                                    

"Senyum tipis adalah andalan, guna memaklumi keadaan."
~Daffin

Setiap hari kita melangkah di tempat yang sama, tapi apa yang membuatnya berbeda hinggga tebakan mengenai takdir begitu tertutup dengan sempurna. Setiap detik yang berdetak adalah perubahan, dan setiap detik yang berlalu akan merajut dalam kenangan.

Problematika takdir siapa yang dapat menebaknya, keluarga yang menurut Shilla akan utuh sekarang perlahan runtuh. Bukan karena anggota yang... tapi kedekatan yang mulai menjauh.

"Besok kamu pulang, Mama yang akan bantu jaga Fia di sana." Shilla terdiam cukup lama setelah mendengar ucapan dari Wanda. Tak tahu apa yang harus dikata.

"Senin Daffin sudah ujian nasional. Butuh kamu sebagai penyemangatnya," Lanjut Winda begitu tak mendengar respon dari anaknya.

"Nanti aku bilang Mas Fakhri, Ma." Akhirnya kata itulah yang keluar dari mulutnya, karena semua hal perlu diskusi dengan Fakhri dan semuanya pun harus atas persetujuan Fakhri sebagai suaminya.

"Nanti hubungi Mama lagi," titah Winda dari seberang sana.

"Iya." Panggilan itu pun berakhir, menyisakan ketidakpastian dalam sunyi. Membiarkan jarum jam berdentang kosong.

Shilla meletakkan ponselnya di atas nakas, ia akan membicarakannya dengan Fakhri ketika suaminya itu telah selesai sholat Jumat.
***
"Bagaimana?" tanya Shilla setelah menceritakan keseluruhan dari pembicaraannya dengan ibunya tadi.

"Sebaiknya kamu pulang dulu saja. Kasian juga Daffin kalau ditinggal lama-lama. Temani Daffin ujian selama empat hari di sana setelah itu bawa Daffin ke sini, lagian dia sudah tidak ada tanggungan lagi." Benar kata Fakhri, Daffin sudah terlalu lama ditinggal di rumah. Meskipun tidak sendiri masih ada neneknya dan juga Alisha, Harizt dan Naufal yang rutin mengunjunginya, tapi kan tetap saja bukan seperti itu yang ia butuhkan.

"Iya," jawab Shilla seadanya. Jujur ia berat meninggalkan Fia. Jangankan ditinggal ke luar kota, ketiduran saja membuat Shilla kaget ketika bangun. Dari dulu Shilla selalu seperti itu, tidak bisa tidur ketika anaknya sakit. Bukan hanya berlaku untuk Fia, tapi juga untuk Daffin. Hanya saja anak pertamanya itu sangat jarang sakit.

"Tidak usah khawatir, Fia akan baik-baik saja. Insya Allah," peringat Fakhri begitu masih ia dapati kernyitan samar di dahi Shilla. Tangannya pun menyelip menggenggam telapak tangan istrinya mencoba memberikan kekuatan dan keamanan. Memang hanya mereka berdua yang menjadi penguat satu sama lain, meskipun masih bisa bersandar pada orangtua, tapi rasanya bagaimana ya mereka saja sudah menjadi orang tua.

"Jangan tunjukkan muka seperti ini ya kepada Daffin," tambah Fakhri dengan lembut. Ia melepas genggaman tangannya lalu menalar merambat ke pipi bagian kanan Shilla. Terlalu jelas wajah sendu istrinya saat ini karena Shilla memang tidak menutupinya entah itu ditutupi dengan cadar atau ditutupi dengan kepura-puraan.

"Nggak bakal keliatan kalau aku pakai cadar."

"Tapi tatapan mata itu beda, Shilla."

"Senyum dulu, istri saya."

"Hmmm," tunjuk Shilla dengan terpaksa

"Mana ada senyum kaya gitu."

"Terus gimana?"

"Cup cup"

"Kok nggak blusing?!"

"Abah!!!"

"Ali Imran ayat 139."

"Maaf,"

"Puasin nangismu di sini biar waktu pulang besok hanya ada kelegaan."

"Maunya dipeluk,"

"Daritadi kan sudah dipeluk,"

"Jangan dilepas."

"Iya, nggak dilepas."

***
*Assalamualaikum,"

"Waalaikumussalam warahmatullah,"

"Loh Umma kok ada di sini?"

"Ya kangen sama jagoan Umma dong,"

"Taruh dulu tasnya. Abang mau Umma masakin apa?"

"Pengen kentang balado,"

"Oke. Apa lagi?"

"Emm... Daffin cuma pengen kentang balado sih. Kalau Umma mau masak menu lain buat tambahan apa aja deh."

"Nenek mana ma?"

"Di Surabaya jenguk adek."

"Daffin ke atas dulu."

***
"Daffin besok hari terakhir ujian kan?"

Iya Umma,"

"Besok kita ke Surabaya ya."

"Kamu nggak kangen Abah sama adek?"

"Iya Daffin ikut,"

"Pasti Fia seneng banget kamu ke sana. Fia selalu nyebut nama kamu."

***
"Abah, Umma, Daffin mau pulang saja?"

"Lho kenapa, Nak?"

"Daffin mau di pesantren saja, ngaji kitab."

"Di sini juga bisa kan ada Abah? Iya kan bah?"

"Atmosfernya beda Umma."

"Di sini atmosfernya rumah tempat bersantai tempat merebahkan lelah, sedangkan di pesantren atmosfernya adalah atmosfer belajar."

"Apa nggak bisa kamu di sini dulu seminggu dua Minggu? Umma dan Abah masih harus di sini jaga adik kamu."

"Nggak papa, Daffin udah biasa,"

"Abang,"

"Adek mau minum?"

"Abang sini. Temenin,"

"Jangan gini, Abang bau. Belum mandi."

"Abang harum,"

"Mana ada orang belum mandi harum adek hehehe,"

"Ada-ada aja."

"Mau Abah pesankan tiket jam berapa?"

"Daffin sudah dapat tiketnya. Besok jam lima pagi,"

"Pagi banget," keluh Shilla.

"

***
Halo guys. Lama ya nggak update:) author diculik mas-mas anime😂 betah banget baca Webtoon 🙇

Habis ini bakal lama lagi sih buat update. Selain kesibukan rutinitas, aku harus nyelesaiin cerita sebelah. Buat yang belum baca segera ya, judulnya Tiadakah Surga yang Lain. Insya Allah bulan Juni/Juli pindah platform nyusul Mas Reyza sama Mbak Khanza🙂

Ini kayanya ada yang doain biar cepet update deh. Soalnya aku males banget, tapi kaya tergerak buat nulis. Sweet banget sih.

Sehat sehat selalu ya kalian puasanya. Hemat-hemat duit juga, habis lebaran banyak undangan nikahan wkwkwkwk. Dah Love you.

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang