"Daffin belum pulang, Ma?" tanya Shilla begitu mendapati keadaan rumahnya yang begitu sepi.
"Belum."
"Ya sudahlah, cuma di rumah Kiara. Nggak bakal ke mana-mana," balas Shilla enteng. Ya, dia tak pernah risau jika Daffin berada di rumah Kiara. Kiara anak yang baik, tidak pernah bermain jauh dari rumahnya. Jadi ia juga tak perlu merisaukan Daffin.
"Tapi Daffin mulai jarang nemenin Fia," sanggah Fakhri sembari mengelus rambut Fia yang tertidur dalam gendongannya. Posisi tidur Fia menghadap ke belakang, menumpukkan dagunya di pundak sang Abah.
"Adek itu urusan kita, Bah. Bukannya malah dibebankan ke anak pertama. Memang di sekitar sini, budaya kita terutama, kakak itu harus ngejaga adik, tapi menurutku ini stigma yang tidak benar. Anak pertama itu sensitif, jangan sampai dia merasa orang tuanya pilih kasih jika seperti itu terus-menerus maka ke depannya nggak bakal baik."
Coba saja tanyakan ke anak pertama yang masih berusia di bawah tujuh tahun, pasti di antara mereka ada yang menolak tegas tidak ingin mempunyai adik, bisa jadi karena anggapan mereka jika sudah memiliki adik kasih sayang orang tua akan terbagi dan tidak leluasa dalam menikmati masa-masa bermain.
"Bijak banget istriku," ujar Fakhri sembari tersenyum menatapi wajah Shilla yang tertutup cadar.
"Kan istrinya Ustadz Fakhri hehehe,"
"Euggght..." Fia menggeliat pelan di dalam gendongan Fakhri.
"Eh, Peri Kecil Abah sudah bangun? Umma rame ya, jadi kebangun." Shilla langsung memelototi Fakhri, jelas-jelas suaminya yang lebih dulu mencari gara-gara.
"A-bang," ucap Fia sembari menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri secara bergantian.
"Adek mau main bareng Abang? Iya?" ulang Shilla memastikan.
"Heem," angguk Fia dengan lemah. Bukan lemah karena dia sakit, tapi karena energinya belum terkumpul semua setelah bangun dari tidurnya.
"Yaudah ayo kita jemput Abang Daffin." Shilla mengambil alih Fia dari gendongan Fakhri.
"Aku ke rumah Kiara dulu, abah istirahat aja," pamit Shilla.
"Iya." Shilla melangkah dengan santai, rumahnya dan rumah Kiara hanya berjarak dua rumah saja. Dari kejauhan, Shilla sudah melihat Kiara yang bermain di halaman depan rumahnya.
"Halo Kak Kiara, Kak Kiara lagi main apa? Adek Fia boleh gabung nggak?" Bukan Fia yang berujar, melainkan Shilla yang mewakilkan.
"Lagi main masak-masakan, Tante." Shilla mengangguk paham, ia lantas menurunkan Fia dari gendongannya.
"Daffinnya mana Nak? Tadi pamitnya mau main sama kamu."
"Lagi ngambil air, Tante."
"Itu Daffin," ucap Kiara begitu melihat Daffin mendekat dengan membawa air sebotol plastik.
"Kenapa Umma?"
"Umma kira kamu ke mana,"
"Adek sudah selesai dari rumah sakit? Fia sakit apa Umma?"
"Sudah sembuh kok, kan tadi diperiksa dokter,"
"Eh, mbak. Udah lama mbak?"
"Enggak, batu aja kok."
"Mau minum apa nih mbak? Jus jeruk mau nggak? Kebetulan baru buat tadi."
"Boleh-boleh, kalau nggak ngerepotin."
"Sekarang jam berapa, Umma?"
"Jam setengah tiga."
"Ra, Daffin pulang dulu ya mau ngaji. Besok Daffin ke sini lagi,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari yang Tersembunyi[END]
EspiritualFakhriza Ghiffari diajak nikah oleh seseorang yang ia tolong. Demi mempertahankan prinsipnya sebagai seorang ustad ia menikahi gadis amnesia yang tak diketahui asal-usulnya itu. Lalu apa yang akan terjadi setelahnya saat Arshilla Salsabila mendapat...