1020[Ketidakpuasan diri]٣٤

790 87 27
                                    

Pagi ini tampaknya lebih terkendali، tidak terlalu menuruti emosi dan lebih berdamai dengan ketidakpuasan diri. Ya, itu yang sedang dilakukan Shilla dan Fakhri. Anak perempuan dalam suatu keluarga layaknya sebuah permata yang begitu dijaga dan disayang dengan penuh cinta.

Hari ini bukanlah waktu yang senggang untuk meratapi keadaan, hanya perlu menanamkan keyakinan bahwa apa yang Allah takdirkan pasti yang terbaik.

Fakhri memandangi wajah istrinya sembari tersenyum tipis. Terasa begitu menenangkan untuknya ketika melihat Shilla yang damai tanpa Isak tangis seperti kemarin ya walau masih jelas ratapan sendu di matanya.

"Kenapa?" tanya Shilla terheran.

Fakhri semakin tersenyum miring, ia berdiri dari duduknya lalu mendekati brankar Shilla. Ia lantas duduk di sebelah Shilla meski harus berhimpit-himpitan. "Pengen peluk," tutur Fakhri, lalu tanpa menunggu persetujuan dia langsung memeluk Shilla dari samping.

"Kok jadi Abah yang manja sih?" Fakhri tak menghiraukan ucapan sang istri, ia justru semakin mengeratkan pelukannya ke tubuh Shilla.

"Biasanya kalau pelukan gini kehalang perut buncit kamu, sekarang udah nggak."

Shilla memukul tangan Fakhri yang bertengger di perutnya. "Ish." Shilla meringis karena kesal dengan ucapan sang suami sementara Fakhri meringis karena memang reaksinya sehabis dipukul Shilla.

"Nanti jam sembilan harus ke ponpes, kemungkinan baru bisa pulang pas sore, kalau molor bisa malem."

"Yah...," keluh Shilla terdengar lesu. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Fakhri sejenak serta membalas pelukan sang suami.

"Kan ada Fakhri junior, Umma," ledek Fakhri membuat-buat suaranya seperti anak kecil.

Fakhri fokus mengamati ekspresi mata Shilla. Semakin diamati semakin hatinya bergejolak kesenangan di dalam sana. "Kalau kamu manja kaya gini, duhh goyah kalau mau pergi. Pengennya sih di sini terus. Manja-manja kaya gini aha."

"Inget umur, pak! Udah punya dua anak juga," cibir Shilla.

"Masih ganteng nggak?" tanya Fakhri sembari mengerlingkan sebelah matanya.

Tak ada tanggapan dari Shilla, ia hanya terdiam selama beberapa waktu, dan keterdiamannya itu dianggap sebagai terpesona oleh Fakhri. "Cie terpesona."

Shilla menangkup pipi Fakhri dengan kedua tangannya. "Iya! Soalnya suamiku gantengnya nggak ketulungan."

"Wahh bisa aja nih istri," ucap Fakhri tersenyum lebar. Ia semakin memajukan wajahnya dan berakhir dengan mengecup kening Shilla.

Cup...

"Hadiah xixixi."

"Udahlah. Mau makan apa?" tanya Fakhri mengalihkan. Ia melihat ke sembarang arah untuk menghindari tatapan Shilla.

"Ngapain beli, nanti juga dibawakan dari rumah sama Mama," tolak Shilla. Ya, itu sangat tidak diperlukan dan terkesan membuang uang.

"Ya tapi itu kapan Shilla? jam sepuluh! nunggu Daffin pulang. Abah carikan di sekitaran sini dulu. Makanan dari mama nanti bisa dimakan pas makan siang." Kalau sudah seperti ini, tak ada tempat bagi Shilla untuk menyela, keputusan finalnya berada di tangan Fakhri, yang bisa ia lakukan hanyalah menyetujui saja.

"Jadi mau makan apa?" ulang Fakhri sekali lagi. Kali ini nada suaranya sudah lebih terkendali, dan terdengar lembut di telinga.

"Seadanya ajalah. Yang penting makan buat ganjal perut," jawab Shilla enteng.

"Oke, terserah berarti?" Fiks Fakhri begitu cerewet hari ini.

"Iya," balas Shilla memaksakan senyumnya. Ya, harus banyak-banyak sabar.

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang