14. [Baper dan Nutrisi Pagi]

3.3K 236 40
                                    

<Baper dan nutrisi pagi>

Langit malam belum menghilang sempurna, langit hitam masih mendominasi pagi. Jejak-jejak arsiran tipis terlihat jelas di balik tirai jendela.

Sepesang suami-istri sedang berebut selimut, Fakhri menarik selimut Shilla agar telepas, sementara Shilla menarik selimutnya agar tetap membungkus tubuhnya.

"Apa sih, Mas. Aku nggak sholat," racau Shilla dengan mata masih terpejam. Seperti kebanyakan wanita, Shilla juga seperti itu ketika datang bulan ia akan bermalas-malasan dengan dalih tidak solat.

"Tapi kamu tetap harus murajaah, Shill," tegur Fakhri mengingatkan. Memang dalam keadaan seperti itu tidak boleh melanjutkan hafalan, tapu tetap harus murajaah (mengingat-ingat kembali hafalannya)
agar ayat-ayat yang telah ia hafal tidak menghilang.

"Ayo bangun!" Fakhri menarik kedua tangan istrinya itu hingga membuat Shilla terduduk.

"Mas, aku masih ngantuk loh. Murajaahnya nanti magrib saja ya," tawar Shilla berusaha bernegoisasi dengan Fakhri.

"Tidak." Fakhri menggeleng keras dan langsung mengangkat tubuh Shilla ke dalam gendongannya kemudian membawanya ke kamar mandi.

Shilla mengembungkan pipinya dengan kesal. Ia baru saja tertidur pukul dua dini hari, hampir tiga jam ia dan Fakhri berada di taman belakang sambil memandangi bintang. Shilla yang memang baru bangun tidur tidak merasakan kantuknya, dan selama tiga jam itu Shilla mengoceh panjang lebar. Banyak hal yang ia bicarakan dan ditanggapi Fakhri dengan baik. Alhasil, semalam ia hanya tidur tiga jam.

***
Fakhri membiarkan Shilla dengan ritual mandinya. Ia akan memasak lagi kali ini. Anggap saja sebagai permintaan maafnya karena membuat Shilla begadang tadi malam. Ya walaupun semua itu ia lakukan untuk menghibur Shilla.

Fakhri membuka pintu kulkasnya dan boom! Ia melupakan satu hal, bahwa semua makanan instan di kulkasnya telah ia masak tadi malam, dan sekarang kulkasnya hanya berisi telur, minuman dingin dan daging ayam yang Fakhri tak tahu bagaimana cara memasaknya.

"Huftt ...." Setelah menimang-nimang sebentar, Fakhri mengambil dua buah telur dilanjut dengan bahan-bahan nasi goreng lainnya yang masih ia ingat sangat Shilla memasak menu tersebut.

Sreg ... sreng ...

Fakhri mengaduk nasi goreng di wajan agar bumbu, saus, dan kecapnya tercampur rata.

"Mas, kamu udah lapar ya? Duh maaf ya, Mas. Gara-gara aku malas bangun. Mas harus masak sendiri. Sini biar aku lanjutin," cerocos Shilla dalam sekali tarikan napas.

Chup ...

"Nggak papa, aku masak bukan berati lapar. Aku cuma sedikit membantu sambil menunggu kamu selesai mandi," balas Fakhri dengan suara yang melembut dan tatapan teduhnya.

"Mas, jangan bikin aku baper pagi-pagi."

"Jadi kamu baper, hmm?" Ia terkekeh pelan. "Apa aku harus melakukan hal ini setiap hari?"

"Tidak, Mas," kilah Shilla memalingkan wajahnya. Namun, ia hanya bertahan hanya beberapa detik karena setelahnya ia kembali menghadapkan wajahnya menatap sang suami. "Andai saja kamu tahu, Mas. Setiap kau menatapku seperti itu, aku tak bisa mengendalikan jantungku."

"Maka, mata ini hanya akan menatapmu."

Chup ...

"Semangat, cheff. Lanjutkan tugasmu, ini hari kemerdekaan untukku." Shilla kabur setelah mencuri satu ciuman di pipi Fakhri.

Suaminya itu menggelengkan kepala, melihat tingkah sang istri hari ini membuatnya mengembuskan napas lega. Setidaknya, usaha sejak semalam tak berujung sia-sia. Sebenarnya memang tak ada yang sia-sia hanya saja kita terkadang melupakan satu hal anugrah padahal di dalamnya terdapat banyak berkah yang luar biasa.

Ia kembali fokus pada masakannya, beruntungnya nasi goreng itu tidak gosong. Fakhri menuangkan nasi goreng ke piring, ia memegang dua piring nasi goreng di tangannya lalu meletakkan di meja makan.

"Shilla!" Panggil Fakhri saat melihat surai istrinya di teras depan. Apalagi kalau bukan untuk menyiram bunga.

"Iya! Bentar!" Balas Shilla sedikit menambah volume suaranya agar Fakhri dapat mendengarnya dengan jelas.

Setelah menyiram bunga dengan rata, Shilla kembali masuk ke dalam. Dengan berbinar ia mendekat ke arah Fakhri. "Oh, rupanya menu masakan cheff sudah matang." Ia mengangguk-anggukan kepalanya pertanda mengerti, lalu menarik kursi di dekatnya yang langsung berhadapan dengan Fakhri, di tempat duduknya seperti biasa. "Mari kita coba," lanjutnya.

"Bismillah." Suara itu bukan milik Shilla, tapi milik Pak Ustad Suami yang sedang memperingatinya. Shilla mengangguk mantap, seiring dengan lantunan kata "bismilah" yang terucap dari mulutnya.

"Gimana?" tanya Fakhri menanti Shilla harap-harap cemas saat istrinya itu menyuapkan sendokan pertamanya.

"Lebih baik ..." ucap Shilla sedikit memberi jeda pada ucapannya, sementara Fakhri yang melihat itu semakin mengharap cemas. "... daripada asin," lanjut Shilla bercicit pelan, pada nyatanya masakan Fakhri itu hambar.

Shilla lantas bangkit memutari meja hingga ia berada di samping suaminya. Ia mengalungkan lengannya di pundak Fakhri. "Makasih. Makasih sudah mau berusaha," ungkap Shilla dengan tulus.

"Ayo lanjut makan," balas Fakhri dengan senyuman di akhir ucapannya. Ia sama sekali tak tersinggung dengan ucapan Shilla, cukup maklumi saja, dalam urusan memasak tentu Shilla jagonya.

Shilla menurut, ia menurunkan kedua lengannya yang masih bertengger di pundak Fakhri. Ia menjangkau piring makannya yang berseberangan di depannya. Lalu duduk di samping suaminya.

"Ayo makan." Keduanya pun makan dalam keheningan sesuai norma yang diterapkan. Tak ada pembicaraan di meja makan. Dan itulah yang mereka lakukan hingga selesai makan.

"Hari ini ke pesantren jam berapa, Mas?" Tanya Shilla sambil mengangkat tumpukan piring kotor dan di bawa ke dapur.

"Jam sembilan," balas Fakhri.

***
"Assalamualaikum." Fakhri mengetok pintu rumahnya sendiri, ia lupa membawa kunci tadi pagi.

Tak lama kemudian, muncullah sang istri yang langsung menyambutnya dengan hangat.

"Waalaikum salam." Shilla meraih puggung tangan Fakhri lalu mengecupnya.

"Mau dibuatin minum?" Tawar Shilla setelah keduanya memasuki rumah.

"Shilla ...." panggil Fakhri menghentikan langkahnya. Shilla menatap suaminya bingung, tapi tak urung dia juga menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya hingga berhadapan tepat dengan Fakhri.

"Ya," jawab Shilla. Ia mencoba menemukan satu hal dalam tatapan sendu milik suaminya itu.

"Aku harus ke Yogyakarta sekarang," lirih Fakhri.

"Sekarang?! Kok mendadak sih, Mas." Refleks Shilla berteriak karena terkejut, ini terlalu mengejutkan untuknya.

"Ada sedikit masalah di sana," jawab Fakhri dengan kepala tertunduk. Ia tak sanggup menatap wajah Shilla saat ini. Ini adalah kali pertamanya bagi mereka berdua.

"Terus aku sendirian di sini?"

"Mau aku antar ke rumah Mama atau pesantren?" Tanya Fakhri menawarkan dua pilihan. Tentu saja ia tak tega dan tak akan tenang meninggalkan Shilla seorang diri sekalipun di istananya sendiri, masalahnya di sini tak ada prajurit-prajurit yang siap menjaga dua puluh empat jam seperti di kerajaan-kerajaan dalam film.

"Mama di sini, Shilla," sela Winda yang berdiri di depan pintu. Sontak Shilla dan Fakhri langsung mengahadapkan tubuh mereka ke arah sumber suara.

"Tapi ...." Sungguh semua pilihan yang ada tak pernah Shilla harapkan datangnya. Setidaknya setelah masalah kemarin.

1032 Word
Sorry kemarin tidak update, sebenarnya mau di up kemarin, tapi gara-gara tugas hiks ... semuanya terbengkalai. Mtk belum, Kimia belum, taulah.

Harap kalian betah dengan kebucinan selama dua part ini. Setidaknya menghibur diriku yang sedang banyak tugas hiks ... 😟😓

Jangan lupa, vote and commentnya😉 bersinarlah bintang! Bersinarlah bintang!🌠

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang