950 [Past]٨.

3.6K 275 24
                                    

Flashback lagi yak. Yang sabar oke. Part ini lanjutan dari bab 2

.
.
.

"Kalau begitu jadikan aku muhrimmu." Kalimat yang Shilla ucapkan beberapa menit lalu terus terngiang dalam pikiran Fakhri.

Fakhri menitipkan Shilla di pesantren, lebih tepatnya dia menempatkan Shilla di asrama putri. Tidak mungkin bukan jika Fakhri membawa Shilla untuk ikut tinggal di rumahnya. Apa kata orang nanti, terlebih lagi dirinya yang berstatus sebagai ustadz. Sekali lagi ustadz!

"Mikirin apasih?" tanya Harizt yang tiba-tiba muncul di samping Fakhri dan mengacau lamunan yang telai terangkai.

"Shilla minta dihalalin," jawab Fakhri dengan jujur, tapi rupanya kejujuran yang ia ucapkan membuat seseorang di sampingnya melongo tanpa kata.

"Yang benar lo?" pekik Harizt. Sejenak ia menormalkan keterkejutannya lalu melanjutkan ucapannya, "Gue lihat-lihat lo juga suka sama dia 'kan? ya, nikahin aja." Ya, bukan hal baru bahwa Fakhri dan Shilla saling mencinta. Suster di rumah sakit pun tahu. Dari tatapannya saja sudah jelas terbaca.

"Masalahnya Shilla itu dalam kondisi amnesia. Aku takut nanti saat ia mengingat semuanya akan ada yang berbeda. Aku takut ia menyesalinya."

"Aku butuh bantuan kamu untuk mencari identitas dan orang tuanya, tak mungkin aku menikahi tanpa ada walinya. Tidak sah." Seorang Ustadz seperti Fakhri tak asal bertingkah, menikah bukan hanya karena cinta masih banyak aspek yang perlu diperlu dipertimbangkan.

"Lo tenang aja, gue selalu siap membantu. Apalagi kali ini berkaitan dengan masa depan lo nantinya," balas Harizt.

Butuh satu minggu untuk Harizt mengungkap jati diri Arshilla Salsabila. Setelah data-data terkumpul ia menyerahkannya kepada Fakhri.

"Arshilla Salsabila tinggal di pusat kota bersama ibunya--winda. Tak ada yang tahu siapa dan di mana ayahnya," terang Harizt.

"Baiklah."

***
Pagi ini Fakhri lebih bersemangat menuju pesantren. Sedari tadi kadar senyumnya tak berkurang sedikitpun.

"Assalamualaikum, Ustadz," ucap Shilla menghampiri Fakhri yang sedang memarkirkan motornya.

Sebenarnya Shilla tak begitu nyaman memanggil Fakhri dengan sebutan 'ustadz' ia sudah terbiasa memanggil Fakhri dengan sebutan 'mas', tapi berhubung mereka berada di pesantren jadi ia harus menyesuaikan dengan panggilan santri yang lainnya kepada Fakhri.

"Waalaikum salam," jawab Fakhri tanpa melihat sang pemberi salam yang berada di belakangnya. Fakhri terlalu fokus men-cakgrak sepeda motornya.

"Shill-la?" Pekik Fakhri tak menyangka bahwa seseorang yang baru saja mengucapan salam adalah seseorang yang membuat bersemangat seperti ini.

"Aih ... masa enggak hapal sih sama suaraku? padahal udah sebulan lebih," dengus Shilla kecewa.

"Dari mana?" tanya Fakhri mengalihkan pembicaraan sekaligus mengembalikan wajah muram gadis di depannya.

Shilla mendongakkan kepalanya menatap Fakhri sembari menampilkan cengiran lebarnya "Oh itu, aku baru selesai masak di ndalem, mau balik ke asrama, tapi liat Ustadz di sini aku samperin deh."

Fakhri manggut-manggut pertanda mengerti. Ia bingung harus bertanya apa lagi, untung saja Shilla menyelamatkan kesunyian. "Ustadz sudah sarapan belum? kalau belum biar saya ambilkan di ndalem."

"Boleh. Kebetulan lagi ada perlu sama Pak Kyai." Shilla semakin melebarkan senyumnya begitu mendapat kesempatan bersama dengan Fakhri lebih lama lagi.

Begitu sampai di ruang tamu, Shilla dan Fakhri memisahkan diri. Shilla berbelok menuju dapur, sementara Fakhri berada di ruang tamu untuk membicarakan keperluannya dengan Kyai.

"Assalamualaikum, Umi."

"Waalaikum salam, loh Shilla kok balik lagi, ada yang tertinggal?"

"Tidak, Umi. Emm ... boleh saya minta makanan yang tadi saya masak untuk Ustad Fakhri, Umi?"

"Oh, ada Fakhri, ya sudah sekalian buatkan minumnya ya, Shilla. Umi mau ke depan dulu,"

"Baik, Umi."

Di sisi lain, Fakhri dan Kyai Abdurrahman berbicara serius, sebelum Aminah ikut bergabung dalam pembicaraan mereka.

"Jadi begini, Umi, Fakhri berniat melamar Shilla, dan meminta Abi menjadi penghulunya."

Perbincangan itu dihentikan ketika Shilla menaruh minuman di meja dan menyodorkan sepiring nasi untuk Fakhri.

"Kalau begitu, saya permisi Umi, Kyai." Shilla melirik ke arah Fakhri yang juga menatapnya, "mari ustad," pamit Shilla yang langsung diangguki oleh ketiga orang di ruangan ini.

***
"Assalamulaiakum Bu." Fakhri menyalami tangan wanita di hadapannya, ia melihat jelas raut kebingungan di wajah Ibu Shilla ini.

"Siapa?"

"Saya, Fakhriza Ghiffari, Bu."

"Kita bicara di dalam saja," saran Winda langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa menunggu jawaban dari Fakhri karena ia tahu ujung-ujungnya pemuda itu akan setuju.

Fakhri menceritakan semua tentang Shilla mulai saat ia menemukan Shilla tergeletak di pinggir jalan. Kondisi Shilla hingga kebersamaan mereka yang tanpa sadar menghadirkan rasa cinta.

"Kedatangan saya kemari untuk melamar Shilla--putri Ibu menjadi istri saya--"

"Tidak bisa!" Potong Winda dengan tegas terdapat kilatan marah dalam matanya. "Shilla masih mempuyai tanggungan bulanan kepada saya," ujar Winda mempertegas mengapa ia menolak keinginan baik Fakhri.

Fakhri menganggukkan kepalanya pertanda paham.

"Saya yang akan menggantikan kewajiban Shilla kepada Ibu. Saya akan--"

"Lima puluh juta setiap bulan. Itu setoran minimal yang biasanya Shilla berikan kepada saya."

"Lima puluh juta?" Beo Fakhri masih tak percaya.

Winda tersenyum sinis, ia sudah menebaknya saat melihat penampilan Fakhri yang biasa jauh dari kata mewah seperti orang-orang yang mendekati Shilla selama ini. "Iya, kenapa? Tidak sanggup? Kembalikan Shilla dan biarkan ia bekerja seperti biasa."

"Saya sanggup!"

"Baiklah." Sebenarnya ia ragu dengan jawaban Fakhri barusan, tapi ya sudahlah apa salahnya memberikan pemuda di hadapannya ini kesempatan.

"Sebentar Bu, saya mau memanggil Kyai saya yang sekaligus menjadi Bapak Penghulu di pernikahan kami," pamit Fakhri kemudian menuju mobilnya tempat Kyai berada.

Bukan bermaksud bersikap tidak sopan, tapi ini murni keinginan Pak Kyai yang tak mau ikut masuk ke dalam dan ikut campur urusan mereka. Kyai pun mengerti bahwa ada banyak hal yang harus di bicarakan dengan calon mertuanya itu dan itu privasi.

"Sudah?" tanya Kyai dari balik kaca mobil. Melihat anggukan di kepala Fakhri, ia pun keluar dari mobil.

"Saya sudah memahami garis besar seperti yang diceritakan Fakhri kepada saya beberapa hari lalu, dan melihat kondisi Shilla yang tak memiliki wali--ayah, saudara laki-laki, kakek, maupan paman maka untuk menikahkan mereka, Ibu harus memasrahkan terlebih dahulu Shilla kepada penghulunya."

"Saya memasrahkan putri saya--Arshilla Salsabila kepada Bapak untuk menjadi walinya."

***
Nb : jadi pernikahan Shilla dan Fakhri tetap sah ya, mungkin sebagian dari kalian ada yang bertanya-tanya sewaktu membaca part dua, memangnya boleh? Anak peremuan kan kalau nikah harus ada walinya, kan Shilla ga ada walinya. Nah sekarang jawabannya ada di part ini ya, jadi sebelum pernikahan itu Fakhri udah lebih dulu mencari walinya Shilla yaitu Ibunya karena Ayahnya udah ga ada dan Ibunya telah memasrahkan kepada Kyai untuk menjadi walinya. Apa itu boleh? Boleh.

See you and thank you

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang