[Kedatangan Gus Azka] ٤٠

934 81 40
                                    

Setelah adzan di masjid Jami'--masjid desa langsung disiarkan ulang mengenai kematian Kyai Abdurrahman. Begitu usai sholat, banyak masyarakat yang berdatangan ke pesantren untuk melayat sekaligus mengantarkan Kyai Abdurrahman ke peristirahatan terakhirnya.

Tradisi desa masih sangat kental di sini, para Bapak membantu mengurus pemakaman, sementara para ibu datang dengan membawa beras lalu membantu di dapur sampai mayat dimakamkan. Sebagiannya juga tetap membantu di dapur sampai hari ketujuh.

Shilla dan Fakhri baru pulang ke rumah sekitar pukul sembilan siang. Beruntungnya Fia tidak rewel, tidak ada drama susul menyusul karena tangisan Fia.

***

Bias senja baru saja lenyap dari wajah mega, langit telah menggelap sepenuhnya dan burung-burung pencari makan pun telah kembali ke sarangnya.

Orang-orang telah selesai menunaikan sholat Maghribnya. Di halaman pesantren, tanah tak lagi tampak lantaran tertutup karpet yang menjadi tempat duduk santri dan masyarakat mengikuti acara tahlil. Ya, halaman pondok dipenuhi oleh orang-orang belum lagi di bagian belakang tempat penyiapan makanan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap Kyai Wahid memulai acara tahlil pada malam ini.

"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh," jawab para hadirin serempak.

"A...." Kyai Wahid sudah bersiap memulai acara tahlil, tapi terhenti begitu mendengar suara seseorang menginstruksi.

"Tunggu!" Seorang laki-laki bersarung hitam berdiri di tengah-tengah kerumunan orang bersuara dengan lantang meski terselip suara serak dari nada bicaranya. Azka ... Rahman--seseorang yang sedang menginstruksi itu kini menjadi sorotan semua pasang mata.

"Afwan, paman. Apa boleh saya yang memimpin acara tahlil untuk Abi?" tanya Azka dengan sopan begitu tiba di hadapan pamannya, tentu saja setelah ia menyalami tangan adik dari ayahnya itu.

"Silahkan, Nak." Kyai Wahid menepuk pundak Azka dua kali sebelum beliau menyerahkan mikrofonnya. Ia menyerahkan semua acara ini kepada keponakannya.

Azka mengambil alih mikrofon dengan mata berembun. Ia tidak sempat melihat dan mengantar Abinya ke peristirahatan terakhir. Hanya ini yang dapat Azka lakukan.

Interaksi Azka dan Kyai Wahid membuat orang di sekitar mereka terenyuh. Seakan merasakan sendiri apa yang dialami oleh Azka saat ini.

Daffin yang berada di pangkuan Fakhri melongo keheranan melihat Azka. "Abah, kenapa Gus Azka nangis?"

Fakhri sedikit menundukkan kepalanya hingga sejajar dengan Daffin lalu ia berbisik, "Nanti Abah cerita, sekarang Abang dengerin dulu tahlilannya. Nanti ikut aamiin juga."

"Iya."

Tak sampai acara tahlil selesai, Daffin justru tertidur dengan posisi bersandar kepada lengan Fakhri. Begitu pembacaan doa selesai, dari arah belakang para ibu-ibu warga serta santriwati berjejer rapi membentuk satu saf lalu saling menyalurkan sepiring nasi hingga sampai kepada warga dan santri yang tahlilan.

Jadi begitu pembacaan doa selesai, warga tidak langsung meninggalkan tempat melainkan menunggu datangnya makanan yang memang sudah tradisi dalam masyarakat.

***
-Day 2 of this part-

"Abah, di kamar adek kok panas banget ya? Nih Daffin sampai berkeringat." Daffin yang baru turun dari lantai dua langsung mengeluh kepada Fakhri sembari mengelap keringatnya dengan ujung lengan bajunya.

"Soalnya kalau terlalu dingin yang ada peri kecil Abah sakit," jawab Fakhri dengan enteng. Ia menyerahkan selembar tisu yang diambil dari meja di hadapannya.

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang