🌹Keutuhan Keluarga🌹

1.7K 116 3
                                    

Ting ... Jam dinding berdenting begitu nyaring menandakan waktu telah memasuki tengah malam, pukul dua belas. Shilla mondar-mandir di ruang keluarga, mengawasi pintu yang tak mengalami perubahan sedikitpun. Hatinya cemas menanti kepulangan Fakhri. Berulang kali ia menelpon nomor suaminya, tapi tak diangkat. Menelpon orang-orang pesantren juga tidak membuahkan hasil. Mereka mengatakan Fakhri telah meninggalkan pesantren sejak siang tadi.

"Fakhri belum pulang?" Tanya Winda tiba-tiba. Shilla menoleh ke sumber suara.

"Belum, Ma. Mama kenapa bangun?"

"Ngambil minum. Sudah larut malam,  tidur sana,"

"Percuma, nggak nyenyak juga,"

"Gimana mau nyenyak kalau pikiran kamu kemana-mana."

Benar. Jika pikiran kacau bagaimana bisa tidur dengan tenang dan menikmati alam mimpi dengan damai. Berbaring hanya bisa mengistirahatkan raga, sedangkan jiwa tergantung pada pikiran dan hati pemiliknya. Sama halnya dengan Shilla saat ini, yang susah memasuki alam mimpinya lantaran pikiran dan hatinya sedang kalut.

Cklek ... Pintu berwarna cokelat itu akhirnya terbuka juga. Sesuai harapan Shilla yang telah ia nanti selama berjam-jam.

"Mas darimana?" Ketua Shilla bersedekap dada.

"Kafe Greychi," balas Fakhri jujur tanpa semangat. Ia sangat lelah hari ini. Ingin segera berbaring.

"Ke luar kota nggak bilang-bilang dulu? Aku cemas lho mas," kesal Shilla dengan wajah memerah. Dari empat kafe milik Fakhri, kafe greychi-lah yang letaknya paling jauh dari rumah karena berada di luar kota.

"Hapenya ketinggalan di kamar."

"Mas!"

Fakhri segera berlalu dari hadapan Shilla. Kepalanya pusing, mendengar teriakan Shilla hanya membuat kepalanya semakin berdenging.

"Udah ya, capek. Mau istirahat."

"Bisa-bisanya kamu, Mas."

***
"Mas, bangun! Tahajjud dulu." Shilla mengguncang lengan Fakhri sedikit keras, biasanya ia mudah sekali terbangun. Tapi kali ini tidak.

Shilla beralih menepuk pipinya, baru saja menempelkan tangannya di pipi Fakhri ia langsung tersentak kaget. Hawa panas menjalar dari tangannya. Fakhri demam!

"Mas!"

Shilla langsung menuju dapur dengan tergesa-gesa. Tak henti-hentinya ia mentuntuki dirinya sendiri atas kejadian tadi malam. Harusnya suami pulang itu ditanya baik-baik. Sudah makan belum? Mau dibuatkan minum? Boro-boro menawari hal semacam itu. Shilla langsung meluapkan emosinya.

Shilla mengompres kening Fakhri dengan telaten. Setelahnya ia duduk di bawah sambil menggenggam tangan Fakhri lalu menciuminya.

"Abah ...."

"Eugghtt ...."

"Jangan nangis,"

"Maafin aku. Maaf langsung marah-marah tadi malam. Aku bahkan sampai lupa kalau Abah nggak bisa kena udara dingin, Pasti jatuhnya sakit. Harusnya ..."

"Jangan duduk di bawah,"

"...."

"Sayang,"

"Ini perintah lho, bukan permintaan apalagi permohonan,"

"Cerita,"

"Asal berhenti nangisnya,"

"Jadi apa sebenarnya yang terjadi di kafe? Kenapa sampai langsung berangkat gitu aja tanpa persiapan bahkan tanpa bilang ke aku dulu,"

"Banyak pengunjung keracunan waktu makan siang di sana,"

"Astaghfirullah ... kok bisa? sekarang mereka sudah baik-baik aja kan? Nggak nuntut macam-macam?"

"Kafenya juga kebakaran,"

Grap ...

"Mas juga ada di kafe saat itu?"

"Itu alasan aku pulang larut malam hari ini. Maaf aku cuma nggak mau kamu khawatir,"

"Mas masih kuat berdiri nggak? Kalau nggak kuat sholat duduk aja,"

***
"Hari ini ikut kami beli hewan qurban ya, Ma. Saya berniat membeli empat ekor kambing untuk kita berempat,"

"Mama udah punya niatan tahun ini mau qurban pakai uang mama sendiri,"

"Ada, Ma?"

"Kamu pikir mama seboros itu?"

"Ya maaf,"

"Mas, yang warna cokelat itu lucu deh,"

"Kamu mau yang itu?"

"Iya."

"Mbek,"

"Turunin aja nggak papa,"

"Daffin suka kambingnya?"

***
"Aku mau bantu nyembelih hewan qurban di pesantren,"

"Bah, ikut," rengek Daffin tak mau lepas dari gendongan Fakhri.

"Daffin di sini aja ya, sama Umma. Ada nenek juga," bujuk Shilla berusaha mengambil alih Daffin dari suaminya.

"Ikut ... Huuu ..."

"Daffin mau ikut, umma juga harus ikut,"

"Malu lah, Bah. Masa iya aku ngintilin  kamu terus setiap ada acara di pesantren."

"Kamu malu bareng aku?"

***

Aku mau ngejelasin dikit maksud dari perkataan mas Fakhri😂 "Saya berniat membeli empat ekor kambing untuk kita berempat"

Aku nggak terlalu ngerti masalah prosesi serah terima  qurban. Yang jelas qurban beda dari aqiqah, zakat maupun sedekah. Cuma biasanya kalau ada yang qurban di masjid selalu di tanya, qurban atas nama siapa?

Di jembatan sirratalmustaqim nanti, orang-orang yang berqurban akan mengendarai hewan qurbannya.

Mohon koreksinya kalau ada yang salah. Thanks.

Part ini acak-acakan banget ya? Sorry ngantuk🥴

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang