🌹Baby Daffin🌹

2.5K 135 4
                                    

Bidadari yang Tersembunyi belum dihapus dari library kan? Jangan dihapus dulu dong.
.
.
.
.
.

Shilla baru saja keluar dari ruang solat. Ya, beberapa bulan lalu, suaminya--Fakhri menambah satu ruangan yang dijadikan ruang solat. Semenjak Daffin bisa berjalan dan mulai aktif ke sana ke mari yang berakibat buang air kecil sembarangan. Demi menjaga kesuciaan dalam solat dan agar terhindar dari najis, Fakhri memutuskan membuat ruang solat terpisah dan selalu dikunci kecuali saat hendak dipakai. Jika tidak begitu, Daffin pasti akan bermain-main di sana. Dan akhirnya, semua akan terasa percuma.

"Baby Daffin," ucap Alisha berusaha mengambil perhatian keponakannya. Namun, apalah daya. Daffin--putra pertama Fakhri dan Shilla itu hanya terfokus dengan mainan mobil-mobilannya.

Jangan sebut Alisha jika ia menyerah dalam sekali coba. Sekali lagi, Alisha menyolek-nyolek lengan Daffin dengan jari telunjuknya.

"Hei, lihat! Aunty bawa apa?" seru Alisha masih tak menyerah juga. Ia juga menyubit pipi gembul Daffin dengan pelan.

"Daffin ...." Seketika Daffin langsung menoleh ke arah sumber suara.

"Umma ...." Bocah berumur dua tahun itu berjalan dengan cepat dan sedikit sempoyongan saat menghampiri ibunya.

"Mbak," sapa Alisha ikut berdiri dari duduknya dan menghampiri kakak iparnya.

Shilla mengangkat tubuh daffin ke dalam gendongannya. Baru setelahnya ia menemani Alisha yang duduk di sofa. "Alisha kapan datang?"

"Diminum dulu Nak," ujar Winda mempersilahkan Alisha meminum segelas teh yang telah ia siapkan.

"Tidak perlu repot-repot Tante." Ini tidak enaknya main ke rumah Fakhri dan Shilla. Ia selalu disuguhkan sesuatu layaknya tamu, jadi sungkan sendiri dan rasa-rasanya tak pantas disebut tamu yang hampir mampir setiap hari.

"Nggak lama kok Mbak."Alisha menjawab pertanyaan Shilla sambil mengangguk patuh terhadap Winda yang hendak undur diri.

"Mau main sama Daffin?"

"Alisha ke sini kalau dia lagi ada masalah. Berusaha melupakan masalahnya dengan bermain bersama Daffin," sela fakhri dari ambang pintu.

Atensi kedua perempuan itu langsung tertuju kepada Fakhri yang baru saja pulang dari pesantren.

"Abah, Masuk rumah itu salam dulu," tegur Shilla. Jangan heran mengenai panggilan barunya itu. Sudah biasa bagi sepasang suami-istri itu mengganti panggilan untuk pasangannya. Namun, panggilan Shilla untuk Fakhri saat ini berbeda. Ini semua karena Daffin yang ikut-ikutan manggil "mas" kepada abahnya. Untuk itu, Fakhri meminta istrinya mengubah panggilannya dari mas menjadi Abah. Hitung-hitung membiasakan Daffin agar melakukan hal serupa.

"Udah baca doa masuk rumah dan salam dalam hati,"bantah Fakhri sekali lagi.

Shilla meruntuki tingkah suaminya dalam hati. "Ya udah. Mending sekarang Abah, bersih-bersih dulu. Sudah Umma siapkan baju gantinya."

"Alisha belum jawab pertanyaan Abang! Sekarang, ada masalah apa lagi dengan Harist?" Rasanya sangat sulit bagi Fakhri membiarkan adik sepupunya mencintai seorang Rizal yang merupakan sahabatnya sendiri. Namun, ia juga tak bisa melakukan apa-apa. Ia tak bisa mengendalikan peraaan orang bahkan mengendalikan perasaannya sendiri ia pun tak bisa jika bukan karena kehendak Sang pembolak balik hati.

Shilla menurunkan Daffin dari pangkuannya. Ia mendekat ke arah Fakhri dan menarik tangan suaminya untuk menghentikan ocehannya.
"Abah ... sudahlah. Ayo, sana bersih-bersih."

"Alisha, bisa nitip Daffin sebentar?" Tanya Shilla sebelum benar-benar pergi
.
"Iya Mbak," patuh Alisha.

***
"Abah," tegur Shilla seraya menghempaskan pegangan tangannya di tangan Fakhri.

"Ini tak bisa dibiarkan. Harizt dan Alisha hanya akan menyakiti hati mereka sendiri. Yang membuatku semakin heran, mengapa ia masih terus saja mencinta sedangkan ia sudah tahu betul, bahwa Harizt tak akan pernah bisa membalasnya."

"Mas, itulah yang tidak kamu ketahui tentang wanita. Jika ia sudah menempatkan satu nama dalam hatinya. Terlepas dari ujian cintanya. Ia akan terus mempertahankannya. Namun, jika ia sudah terlanjur berada dalam fase lelahnya, sebesar apapun cintanya dulu, tak lagi berarti apa-apa."

"Kamu sendiri bagaimana?" Serang Fakhri membuat Shilla terdiam.

"Hah?" Shilla mengerjap pelan lantaran tak paham dengan apa yang baru saja suaminya ucapkan.

"Apakah kamu masih mencintai mantan pacarmu itu?" Raut wajah Fakhri semakin datar begitu Shilla susah menangkap maksudnya. Tak tahukah bahwa suaminya saat ini berusaha menekan perasaan yang bergemuruh di hatinya?

"Abah," cicit Shilla berusaha menghentikan pembicaraan ini. Beberapa tahun telah berlalu, haruskah hal seperti ini dibahas?

"Jawab!" tegas Fakhri menuntut jawaban pasti dari istrinya.

Shilla paham betul saat ini suaminya sedang marah. Shilla mendekat hingga ujung sandalnya dan sandal Fakhri bersentuhan. Ia menangkap pipi suaminya dan menatap wajah itu lamat-lamat.

"Perasaanku padanya telah menghilang sejak lama. Bahkan saat bertemu di mall untuk pertama kalinya. Aku sudah tak lagi mencintainya."

"Tapi kalian semakin dekat sekarang," bantah Fakhri yang masih tak percaya dan belum merasa puas dengan jawaban Shilla.

Shilla mengembuskan napasnya pelan. Kenapa Fakhri begitu berlebihan seperti itu? Jelas-jelas ia sudah tahu pernikahan Tania dan Ricko tinggal menghitung hari. Untuk apa khawatir berlebihan seperti itu?

"Mas, Ricko dan Tania akan segera menikah. Tak mungkin aku menghancurkan kebahagiaan sahabatku sendiri."

"Ya, karena itu kamu terpaksa berada di sisiku? karena kamu tak ingin menghancurkan kebahagiaan Tania meski kamu masih mencintainya?"

Shilla mulai jengah dengan tingkah Fakhri. Ia sudah menjelaskan baik-baik dengan sepenuh hati, tapi Fakhri semakin menjadi dalam mencurigai.

"Kamu ini bicara apa? Aku tak memiliki perasaan untuk Ricko. Aku hanya mencintaimu--Fakhriza Ghiffari,"

"Kau sungguh mencintaiku?" Tanya Fakhri dengan mata berbinar? Kenapa suaminya menjadi begitu kekanakan seperti ini, astaga.

"Ya. Aku mencintaimu. Ana Uhibbuka Fillah. I love you. Seni çok seviyorum. Sarang hae. Aku harus menggunakan bahasa apa lagi agar kamu mengerti!"

"Kau masih lucu seperti pertama kali kita bertemu." Fakhri menarik tubuh Shilla ke dalam pelukannya lalu mencubit pipi istrinya dengan gemas.

"Iya kah?"

"Iya."

"Mbak, eh maaf--"  Alisha menunduk malah sebelum akhirnya meninggalkan kakak dan kakak iparnya itu.

Sementara sepasang suami-istri yang terciduk itu tampak biasa saja.

"Kayanya Daffin ada masalah, Bah. Aku ke sana dulu ya," izin Shilla agar Fakhri segera melepaskan pelukannya.

"Ada Alisha," tolak Fakhri yang semakin mengeratkan pelukannya.

"Kalau Alisha bisa, nggak mungkin dia ke sini." Fakhri merenggut begitu Shilla melepaskan diri dan berlalu begitu saja dari hadapannya.

***
"Mbak, boleh Alisha tanya sesuatu?"

"Boleh, kamu beneran lagi ada masalah?"

"Alisha cuma ragu harus membuat keputusan seperti apa?"

"Tentang Rizal?"

"Iya." "Apa sikapku terlalu kentara, Mbak?"

"Asal masih berada dalam batasan yang wajar dek. Jangan sampai merendahkan martabatmu sendiri karena Rasullullah Saw telah memperjuangkan kehormatan wanita, lalu apa pantas kita menjatuhkannya?"

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang