Fakhri POV
Sudah lima belas menit aku menggendong Daffin terhitung sejak pulang dari sholat idul Adha. Benar Daffin sudah bisa berdiri sendiri. Tak jarang pula ia berlari-lari, tapi tentu saja sifat manjanya tak bisa luntur begitu saja. Aku juga tak masalah, aku sangat menikmati setiap momen bersama Daffin yang mampu membangkitkan rasa syukurku terhadap Allah, yang memberiku kehidupan seindah ini bersama keluarga kecilku.
Melihat seorang wanita bergamis biru itu, membuat perasaanku semakin membuncah. Senyum lebar langsung tersungging di wajahku. Lantas aku mendekati sumber semangatku itu, Arshilla Salsabila.
"Aku mau bantu nyembelih hewan qurban di pesantren." Shilla langsung menoleh ke arahku dan hendak mengambil alih Daffin ke dalam gendongannya, tapi Daffin justru semakin mengeratkan cengkeraman tangan kecilnya di bajuku.
"Bah, ikut," rengek Daffin tak mau lepas dari gendonganku.
"Daffin di sini aja ya, sama Umma. Ada nenek juga." Raut frustasi tercetak begitu jelas di wajahnya. Berusaha tanpa gentar tuk meraih Daffin.
"Ikut ... Huuu ..."
"Daffin mau ikut, umma juga harus ikut," putusku menengahi. Mau bagaimanapun juga, Daffin tak mau lepas dariku hari ini. Tidak seperti hari-hari biasanya yang mudah sekali dibujuk oleh Shilla. Apakah ini pertanda Daffin semakin besar? dan ia mulai paham bahwa bujukan hanyalah sebuah pengalihan?
"Malu lah, Bah. Masa iya aku ngintilin kamu terus setiap ada acara di pesantren." Sontak aku langsung menoleh ke arahnya yang memandangku dengan tampang ketusnya.
"Kamu malu bareng aku?" tanyaku miris. Seketika Shilla tertunduk diam yang membuatku semakin berang.
"Jawab!" Sentakku menaikkan suara satu oktaf.
"Iya aku ikut." Hatiku menghangat mendengarnya, tapi tak membuatku langsung menampilkan senyum bahagia. Aku tetap mempertahankan wajah datar dengan ekspresi tak terbaca.
Kami berjalan beriringan, menyapa ramah setiap orang yang berpapasan. Namun, interaksi kami sendiri ... hambar. Bahkan ketika sampai di gerbang pesantren, belum ada sepatah kata pun yang terlontar."
"Turun, Bah!" titah Daffin menepuk pelan pundakku. Aku berjongkok dengan posisi kaki kanan menyentuh tanah. Aku sama sekali tak peduli jika pakaianku kotor, yang penting Daffin bisa menapak tanah dengan mudah.
Cup ... Aku mengecup pipi gembulnya lalu mengacak rambutnya dengan senyuman bangga, "jangan nakal, jangan ngerepotin umma juga." Shilla menoleh ke arahku dengan pancaran mata sendunya.
Daffin langsung bergabung dengan Ariz dan Risha yang seumuran dengannya. Aku tersenyum lega, melihatnya begitu mudah bersosialisasi dan menikmati permainannya.
"Aku ke sana dulu," pamitku.
"Iya."
***
"Assalamualaikum," ucapku begitu mendekati sekumpulan ustadz dan santri-santri yang mengabdi.Mereka mencangkul tanah tak begitu dalam, sekiranya cukup untuk kepala sapi direbahkan. Ya, kami masih menggunakan cara manual. Menaruh beberapa bambu yang ditancapkan di tanah. Lalu tali tampar yang mengikat sapi yang ditarik oleh beberapa orang hingga sapinya terjatuh. Di lubang tanah itulah sapi di sembelih.
Cukup merepotkan memang, caranya juga kurang efektif. Aku tak pernah mau disuruh menyembelih sapi, jujur saja aku tak tega dengan tatapan matanya. Aku juga ingat tahun lalu ada beberapa sapi yang sampai menitikkan air mata.
"Waalaikum salam, Ustadz."
"Dari aura-auranya ustadz Fakhri yang paling semangat nih. Noh ada sumber semangatnya," ledek ustadz Arif sambil menunjuk ke arah istriku dan Daffin yang sedang bermain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari yang Tersembunyi[END]
EspiritualFakhriza Ghiffari diajak nikah oleh seseorang yang ia tolong. Demi mempertahankan prinsipnya sebagai seorang ustad ia menikahi gadis amnesia yang tak diketahui asal-usulnya itu. Lalu apa yang akan terjadi setelahnya saat Arshilla Salsabila mendapat...