Tentang Fakhri
"Sebenarnya kamu siapa, Mas?" Fakhri memang sudah menduga bahwa Shilla akan menanyakan hal ini padanya, tapi satu hal yang tidak ia sangka. Mengapa harus secepat ini, tidak bisakah basa-basi sebentar saja untuk mengulur waktu?
"A-aku suami kamu. Ya! Tentu saja, aku suami kamu." Fakhri tergagap saat menjawab pertanyaan Shilla. Tentu saja karena dia menyembunyikan sesuatu yang ia tutupi selama ini.
"Kalau begitu, jelaskan semuanya padaku. Seperti yang seorang suami lakukan pada istrinya. Itupun kalau Mas menganggapku 'istri'."
Telak!
Mendengar kalimat terakhir Shilla membuat Fakhri ingin meledak saat ini juga. Tangannya mengepal, tapi begitu melihat tatapan nanar dan penuh luka di mata Istrinya itu membuatnya sedikit melunak dan meredam emosinya sejenak.
"Besok saja, kamu harus istirahat."
"Sekarang, Mas!"
"Harus banget, Ya?" tanya Fakhri dengan nada lemahnya. Shilla tak menjawab, ia memalingkan wajahnya dari tatapan Fakhri yang tiba-tiba sendu itu.
Fakhri mendekat ke arah Shilla yang duduk bersandar dengan tumpukan bantal yang menyangga kepalanya. Ia menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Shilla. "Ini mengingatkanku pada masa penuh duka itu, Shilla." Suara Fakhri yang teredam itu semakin terdengar lemah.
"Jangan dilanjut, Mas kalau--"
"Tidak Shilla. Sudah cukup aku menghindar selama ini. Mari kita selesaikan malam ini."
"Maaf, Mas. Aku nggak akan maksa kamu lagi." Shilla merasakan pundaknya semakin memberat, sudah sangat jelas menggambarkan menggambarkan kondisi Fakhri yang sedang dalam kondisi tidak baik. Selama ini Fakhri tak pernah bersikap seperti ini, bahkan saat lelaki itu sakit ia tak pernah bersikap selemah ini.
"Jawabanku tetap sama. Jangan dipotong dulu, ya." Fakhri mengangkat kepalanya, ia juga membetulkan posisi tubuhnya miring ke kanan dan berhadapan langsung dengan Shilla. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan Shilla.
"Dulu keluargaku sangat harmanis, bahkan aku merasa sudah tak cela yang menimbulkan satu pun kekurangan. Semua begitu sempurna, harta, perusahaan, keharmonisan keluarga, semua kami miliki, itu semua karena kerja keras kakek yang membangun perusahaan dari nol hingga bisa sesukses ini dengan memiliki cabang di kota-kota besar Indonesia." Shilla menyimak dengan baik, ia menjadi telinga untuk Fakhri. Ia ikut tersenyum saat Fakhri tersenyum sembari menatap langit-langit. Ia pasti sedang memutar kilasan kenangan membahagiakan di otaknya.
Pandangan Fakhri beralih menatap Shilla, binar kebahagian yang tadi terpancar entah ke mana perginya. Ia menatap Shilla dengan sorot mata sendu yang menggambarkan luka di kedua bola mata yang tampak berkaca-kaca.
"Tapi semua itu berubah saat kakek wafat, keadaan rumah menjadi mencekam dan dilingkupi aura dingin karena itu Mas pindah ke apartemen ini, tapi ternyata kepergian Mas inilah yang membuat Ayah dan Bunda meninggal. Paman Ilham--adik ayah dan istrinya memutus rem mobil ayah lalu ... lalu ayah dan bunda meninggal karena menabrak truk." Suara Fakhri mulai tersendat di akhir kalimatnya, dadanya terasa sesak di penuhi ingatan yang membuatnya berada di titik terendah selama hidupnya.
"Setelah kejadian itu, aku nggak berani pulang ke rumah itu lagi, melihat dari luar saja membuat Mas mengingat semuanya. Dan saat itu juga, Mas memilih melepas segalanya. Jika paman dan bibi menginginkan harta itu, maka biarlah mereka menguasainya. Mas hanya ingin hidup tenang, Shill. Seperti kehidupan kita di pesantren selama ini."
"Tapi di sana juga ada hakmu, Mas! Lalu siapa yang mengelolanya jika Paman dan Bibi di penjara dan Mas sendiri malah meninggalkan rumah."
"Dulu, alasan paman ingin merebut perusahaan kakek dari ayah karena ia tak memiliki anak, ia ingin merasakan harta yang berlimpah di sisa-sisa hidupnya, dan setelah itu perusahaan akan jatuh ke tanganku sebagai pewaris ayah. Impas, paman bisa merasakan dan keturunan Ayah juga bisa merasakannya, tapi tentu saja praktiknya tak semudah teori. Ayah tak bisa menyerahkan perusahaan pusat begitu saja kepada paman, karena sebelumnya paman membuat salah-satu cabang gulung tikar atas kuasa paman." Sungguh membingungkan, Shilla memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Sepertinya otaknya sedang demo sekarang, karena Shilla memaksakan diri untuk berpikir keras di saat kondisinya belum sehat.
"Selama Mas masih mampu, Mas tak membutuhkan itu. Lagian Shilla tak perlu khawatir, rizki itu ada yang ngatur. Dan mengenai perusahaan, Harizt yang menjalankannya. Aku percaya dia, ya meski orangnya slengekan dan bermulut cabe, tapi sebenarnya dia baik dan tulus."
Sudah lima tahun berlalu, tapi kejadian mengerikan tak akan pernah menghapus bekas. Hanya saja Fakhri lebih beruntung kali ini. Ia tak lagi sendiri. Ada tangan yang akan menenangkannya, ada tempat untuk Fakhri meluapkan bebannya.
"Bodoh banget, kan aku Shill? Padahal usiaku saat itu sudah dua puluh tahun, semester akhir, tapi aku tak bisa apa-apa seperti anak kecil aku--"
"Shutt ... jangan dilanjut Mas."
***
"Gimana? Masih pusing nggak?" tanya Fakhri saat Shilla sudah duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu tepat di sebelahnya."Udah nggak, Mas."
"Alhamdulillah."
"Kita jadi ke rumah Mama hari ini kan?"
"Ya," balas Fakhri singkat. Namun, pandangannya tak pernah lepas dari sesosok wanita di sampingnya yang sedang membalas tatapannya dengan binar bahagia.
"Habis itu, Mas ajak Shilla ke suatu tempat, mau?"
"Mau! mau!" Balas Shilla dengan semangat. Fakhri menggeleng-gelengkan kepalanya merasa tak percaya dengan tingkah Istrinya yang mirip anak kecil, tapi Fakhri suka sih. Bahkan ia merasa kehilangan ketika Shilla diam dan irit bicara seperti saat ia baru saja mendapatkan ingatannya kembali. "Udah lama banget loh aku nggak jalan-jalan, Mas," sambung Shilla sekaligus curhat lebih tepatnya.
***
"Assalamualaikum." Shilla langsung membuka pintu rumahnya dengan leluasa karena pintu bercat putih itu tak terkunci."Waalaikum salam." Winda yang semula memfokuskan pandangannya ke layar kaca televisi kini beralih ke arah pintu.
"Ini ... Shilla?" Winda bangkit dari duduknya dan meneliti penampilan Shilla dari atas hingga bawah yang sangat mencolok perbedaannya. Bagaimana tidak? Putrinya itu sekarang memakai pakaian yang sangat tertutup bahkan berhijab, bertolak belakang dengan dirinya yang dulu.
"Mama gimana sih, masa anak sendiri lupa." Shilla melipat kedua tangannya di depan dada lalu mengembungkan pipinya.
Winda tak tahan melihat tingkah gemas putrinya yang sudah lama tak ia temui itu.
"Mama bangga sama kamu, Nak.""Ma, Shilla sudah menikah. Ini suami Shilla. Namanya Fakhriza Ghiffari."
"Ekhm ... ayo kita makan. Entahlah, tiba-tiba Mama sangat ingin memasak banyak makanan dan mencoba resep baru, beruntungnya kalian datang jadi semua makanan ini tak akan terbuang sia-sia." Mata Shilla berbinar saat mendengar 'resep baru' sama seperti Mamanya, Shilla gemar memasak dan mencoba resep-resep baru, dulu mereka sering berkolaborasi bareng dalam memasak.
***
Shilla dan Fakhri tidak berlama-lama di rumah Winda, seperti yang pria itu bicarakan tadi. Ia akan mengajak Shilla ke suatu tempat. Dan di sinilah mereka sekarang.
"Mas, ini--"
"Ya."
Tebak berada di mana mereka?
********** **********
1045 wordGimana-gimana? Udah tau kan siapa Fakhri? atau masih ada yang penasaran? Comment dah, nanti aku kenalkan😂😂
Ck ... ck ... ck ...
Maklum ya, lagi kumat :'|See you next part.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari yang Tersembunyi[END]
EspiritualFakhriza Ghiffari diajak nikah oleh seseorang yang ia tolong. Demi mempertahankan prinsipnya sebagai seorang ustad ia menikahi gadis amnesia yang tak diketahui asal-usulnya itu. Lalu apa yang akan terjadi setelahnya saat Arshilla Salsabila mendapat...