Hari telah beranjak sore. Cahaya mentari yang mulanya menyengat kini redup tak terasa. Perlahan langit pun menggelap menemani bintang yang bersinar penuh kemerlap.
Shilla duduk gelisah di sofa, matanya menelisik ke arah dinding, melihat dentingan jam yang bergerak begitu lambat menurutnya. Ia semakin gelisah saat tak mendengar suara pintu terbuka. Sungguh, ia sangat menantikan kehadiran Fakhri sekarang.
Awalnya Shilla masih menikmati kesendiriannya, ia menghabiskan waktu dengan menjelajahi tiap-tiap bagian apartemen. Apartement ini terbilang apartemen elit, bisa dilihat dari fasilitasnya yang tak seperti apartement biasa.
"Kryukkk ..." Shilla memegangi perutnya yang berbunyi. Ia baru sadar, ia telah melewatkan makan siang sekaligus makan malam. Ia terlalu fokus membaca sebuah novel hingga tamat. Dan sekarang ia meruntuki kebodohannya yang mengabaikan perintah Fakhri untuk membeli makanan di supermarket yang berada di bawah.
Sekarang ia berganti memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Selalu saja seperti ini, jika telat makan. Akan berujung pada rasa pusing yang menyerang kepalanya.
Shilla memilih merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Rasa sakit yang menyerang kepalanya sedikit berkurang saat matanya terpejam.
***
"Tidak. Saya tidak akan memanfaatkan status saya sebagai suami karena bagaimanapun kami menikah saat Shilla amnesia, dan sekarang setelah ia mengingat semuanya. Saya pasrahkan semuanya pada Shilla. Jika memang Shilla masih mencintai Ricko maka dengan berat hati saya harus melepaskannya." Sekarang Fakhri mulai ragu dengan apa yang ia ucapkan beberapa jam lalu di hadapan ibu mertuanya itu."Huftt ..." Fakhri menghela napas kasar, ia menyandarkan kepalanya di tembok masjid lalu memejamkan matanya sejenak. Ya, sekarang Fakhri berada di masjid menunggu sholat Isya, seusai sholat maghrib tadi ia tak langsung keluar seperti jamaah lainnya. Menurutnya tanggung, hanya sekitar satu jam, adzan isya' berkumandang
Namun, sekarang sepertinya berbeda. Waktu berjalan dengan lama dan terasa begitu lambat. Mungkin waktu tahu bahwa ia butuh banyak waktu untuk memikirkan kembali keputusannya dan menenangkan diri.
"Assalamualaikum warahmatullah," ucap Imam sholat dengan nyaring sembari menolehkan kepalanya ke samping kiri pertanda sholat telah selesai. Jamaah di belakang imam termasuk Fakhri pun melakukan hal serupa.
Setelah zikir dan doa, orang-orang di sekelilingnya langsung berdiri dan sibuk menata tempat qur'an. Fakhri menatap heran ke arah mereka. "Ada apa ini?" tanya Fakhri ke seorang laki-laki di sebelahnya.
"Tadarus," jawab laki-laki tersebut.
Di beberapa masjid tertentu, tadarus al-quran tak hanya dilakukan saat bulan ramadhan maupun malam jum'at, tapi juga untuk mendoakan alm. Sesepuh masjid setiap bulannya tepat di hari kematian sesepuh masjid.
Mau keluar sungkan, tapi ya sudahlah, toh ini juga kegiatan positif. pikir Fakhri. Ia pun ikut tadarus al-quran.
Al-quran benar-benar membawa ketenangan baginya. Ia larut dalam setiap ayat-ayat yang terlafadz merdu dari lisan-lisan penghafal Quran di sekelilingnya ini. Tepat jam sepuluh malam tadarus dihentikan dan akan dilanjut besok pagi setelah solat subuh. Fakhri tak ingin menunda lagi kepulangannya, ia pamit kepada orang-orang di sebelahnya lalu keluar menuju tempat parkir motor.
Fakhri menghentikan motornya sekitar lima puluh meter dari masjid.
"Pak, satenya dua porsi diberi nasi ya, Pak!" ucap Fakhri menghampiri penjual sate.
"Silahkan duduk dulu, Nak!"
***
Fakhri menatap heran dari luar, lampu apartement masih menyala, itu artinya Shilla belum tidur. Padahal tadi siang Fakhri sudah berpesan agar tak menunggunya pulang.
Fakhri melangkahkan kakinya dengan lebar, netranya menelisik di seluruh penjuru apartemen hingga matanya terpaku pada seseorang yang meringkuk di sofa.
"Mas ... jangan tinggalkan aku ...."
Langkah Fakhri terhenti saat mendengar suara Shilla mengigau."Mas ...," racaunya.
Fakhri tahu betul, Shilla sangat jarang mengigau seperti ini, hanya saat ia sakit saja hal itu akan terjadi. Ya, Shilla sendiri yang pernah mengatakan hal itu kepada Fakhri sewaktu masih berada di rumah sakit.
"Shilla! Shill! Hei bangun!" Fakhri menepuk-nepuk pipi Shilla yang terasa menghangat.
Perlahan kelopak mata istrinya itu terbuka, dan langsung memeluk Fakhri tanpa aba-aba hingga Fakhri sedikit terhuyung ke belakang. "Mas-Fakhri, hiks ..."
"Aku mimpi buruk," keluh Shilla.
"Shutt ... tenang ya. Kamu demam," tutur Fakhri sembari melepas pelukan Shilla dengan hati-hati.
"Jangan pergi," tahan Shilla memegangi ujung jaket Fakhri.
"Aku cuma ngambil air hangat di dapur." Shilla menggelengkan kepalanya, matanya menyorot Fakhri dengan sayu.
"Huft ...." Fakhri meraih tubuh Shilla ke rangkulannya. Ia membopong Shilla menuju kamar.
"Aku hubungi temanku dulu, dia dokter, rumahnya juga tak jauh dari sini." Tak ada tanggapan dari Shilla, Fakhri menganggap diamnya itu sebagai 'iya'.
Fakhri merongoh ponselnya, mengotak-atiknya sebentar, "Assalaalaikum Di, kamu bisa ke apartemen sekarang ngga?"
"Waalaikum salam."
Tin ... nong ... tin ... nong ...
"Aku buka pintu dulu," pamit Fakhri kemudian berlalu.
Beberapa menit setelahnya, Fakhri muncul diikuti seorang laki-laki bertubuh tegap, sedikit lebih tinggi dari Fakhri.
"Boleh langsung diperiksa?" tanya Andi--lelaki bertubuh tegap itu. Setelah mendapat anggukan dari Fakhri ia mendekati Istri sahabatny itu untuk memeriksa keadaannya.
"Keluhannya apa?"
"Pusing dan demam," jawab Shilla dengan pelan.
"Usahakan makan dengan teratur, tidak baik beraktivitas dengan perut kosong seperti ini," nasihat Andi. Shilla menanggapinya dengan seulas senyum tipis dan anggukan kepala, tapi tidak dengan seseorang yang kini bersedekap dada--Fakhri menatap nyalang ke arah Shilla.
"Kamu belum makan, Shill?"
"..." Shilla hanya diam sembari menggelengkan kepalanya takut-takut.
"Sejak kapan apartemen ini dihuni lagi?" tanya Andi mengalihkan atensi sepasang suami-istri yang sedang bertatap pandang itu.
"Lagi?" Ulang Shilla mengernyitkan dahi pertanda bingung.
"Iya." Andi menoleh sekilas ke arah Shilla, ia menatap langit-langit seolah memutar kilasan masa lalu setahuku terakhir kali Fakhri menempati apartemennya ini saat kami masih kuliah."
Fakhri menyeret Andi keluar dari kamarnya. "Shilla ga tau kalau ini apartemenku. Kamu bisa pulang sekarang? sebelum Shilla menerorku dengan beragam pertanyaan."
"Ups ... sorry. Oke, kalau gitu aku pamit, resepnya bisa kamu tebus di apotik besok pagi." Andi memang selalu membawa stetoskop dan kotak p3k di mobilnya, tapi tidak dengan obatnya. Saat Fakhri menelpon tadi, ia berada di jalan andai saja dia di rumah saat itu maka ia akan membawa persediaan obatnya di rumahnya untuk Shilla. Ya, memang bukan penyakit berat maupun penyakit berbahaya, tapi tetap saja tidak boleh menyepelekan kesehatan.
Fakhri mengantar Andi hingga ke depan--tempat Andi memarkirkan mobilnya. "Makasih banget ya, maaf juga kalau kesannya kaya ngusir seperti ini."
"Santai aja kali, lebih baik sekarang kamu masuk dan selesaikan urusanmu," ucap Andi menanggapi dengan seulas senyum tipis. Ia sama sekali tak tersinggung dengan perlakuan Fakhri tadi. Tentu saja, ia sahabat Fakhri dan sudah paham betul bagaimana sifat sahabatnya ini.
Cklek ....
Fakhri membuka pintu kamar, ia menemukan Shilla duduk bersandar, Fakhri sadar tatapan Istrinya tak seperti biasanya.
"Sebenarnya kamu siapa, Mas?"
1045 words.
Sebenanya kamu siapa, Mas?😂
Thaks and see you😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari yang Tersembunyi[END]
SpirituellesFakhriza Ghiffari diajak nikah oleh seseorang yang ia tolong. Demi mempertahankan prinsipnya sebagai seorang ustad ia menikahi gadis amnesia yang tak diketahui asal-usulnya itu. Lalu apa yang akan terjadi setelahnya saat Arshilla Salsabila mendapat...