800[Aku Ikhlas]٣٣

972 79 1
                                    

(Anggap saja kondisi bayinya Shilla seperti itu ya. Semoga kita semua dijauhkan dari musibah.)

***

Fakhri mendekap tubuh Shilla yang melemah karena terlalu lelah meraung. Bukan, bukan karena Shilla tidak menerima kenyataan, bukan pula karena ia menyalahkan keadaan. Hanya saja ia terlalu speechless melihat kondisi anaknya yang baru saja menghirup udara di dunia ini sudah diberikan cobaan hidupnya. Di saat kebanyakan bayi lainnya menyuarakan Isak tangisnya, tapi ia terbaring tak berdaya.

Daffin melihat ke sekitar, jelas saja keadaan adiknya berbeda dengan bayi lainnya yang ada di ruang bayi ini. Itukah yang membuat ummanya bersedih?

"Sudah ya, kita balik ke ruang inap kamu," bujuk Fakhri sembari merangkul pundak istrinya.

"Ayo, nak." Fakhri menggandeng tangan mungil Daffin. Namun, Daffin tak beranjak selangkah pun. Ia justru bertanya dengan polosnya. "Adek nggak papa ditinggal sendiri, Bah?"

"Nggak papa, ada suster yang jaga. Kita keluar dulu, biarkan adiknya istirahat." Daffin hanya bisa mengangguk dengan wajah tak rela.

Selamat istirahat, adik. Batin Daffin sebelum akhirnya mengikuti langkah kedua orang tuanya menuju ruang rawat Shilla.

Fakhri memapah Shilla untuk duduk di brankar. "Nih minum dulu," ujar Fakhri menyodorkan segelas air putih ke arah Shilla.

"Abah, Daffin mau duduk di sini," sela Daffin sembari menepuk-nepuk kasur brankar dengan tangan kecilnya itu.

"Bismillah." Fakhri mengangkat tubuh Daffin hingga anaknya itu duduk bersebelahan dengan Shilla.

Setelah selesai, Fakhri membalikkan badannya lalu berjalan sebanyak tiga langkah menuju sofa yang terdapat sebuah tas berisi perlengkapan Shilla. Fakhri mengambil selembar kain berwarna biru muda lalu kembali melangkahkan kakinya ke arah Shilla dan Daffin.

"Cadarnya diganti dulu. Tuh sampai basah gini gara-gara nangis."

"Cup ... Terima kasih sudah berjuang untuk hari ini." Shilla melingkarkan kedua tangannya di pinggang Fakhri. Menyandarkan pelukannya di dada sang suami. Setidaknya, ia bisa meredam kesedihannya dengan pelukan Fakhri.

Shilla menarik napasnya dalam. Bismillah, aku ikhlas dengan ketetapan-Mu hari ini, Ya Allah. Sekali lagi, air mata Shilla menetes, tapi air mata kali ini bukanlah air mata yang lahir dari penolakan batin, melainkan air mata keikhlasan yang melapangkan hati empunya.

"Qadarullah, anak kita perempuan. Nama yang Abah siapin empat tahun lalu akhirnya terpakai juga." Ya, empat tahun yang lalu Fakhri juga menyiapkan nama untuk calon anak keduanya.

Fakhri tersenyum tipis mengingat hal itu, dalam ingatannya masih sangat jelas, bagaimana cara Shilla tersipu. Tentang kebahagiaan empat tahun lalu, tentang buah hati mereka yang waktu itu hanya bisa menangis, sekarang sudah bisa menghibur orang terdekatnya yang menangis. Secepat itu putaran roda waktu.

"Daffin mau dengar cerita nggak?"

"Daffin belum ngantuk, Bah." Wajah Fakhri yang semula antusias ingin menceritakan kejadian empat tahun lalu mendadak datar.

"Ahaha ... Abah cuma mau cerita, nak. Bukan mendongeng." Shilla hanya bisa tergelak melihat dua orang laki-laki beda usia di hadapannya itu.

"Saat umma mengandung kamu, Abah sudah menyiapkan nama untuk kamu dan adik kamu nantinya. Daffin Nazhan Ghiffari dan Daffiah Shezan Ghiffari. Kita akan memanggilnya Fia?" Di akhir kalimat Fakhri menyelipkan pertanyaan kepada istrinya.

Shilla terdiam sejenak. "Fia ... Adek Fia, Abang Daffin."

"Ternyata benar lo Shill." Hanya Tania seorang yang menomorduakan kesopanan. Jangankan kesopanan, aturan saja ia abaikan hanya demi mengekspresikan keinginannya sendiri. Iya, itu Tania dulu dan masih ada beberapa sifat yang melekat hingga sekarang.

"Arshi sudah melahirkan?" Ricko tidak pernah mengubah panggilannya untuk mantan pacarnya itu. Hubungan mereka sudah lama berakhir, tapi sangat sulit lidahnya untuk mengubah panggilan.

"Kalian kenapa ada di sini? Aku belum menghubungi kalian lho."

"Tadi gue control kandungan ke dokter Melisha, tapi tadi dokternya lagi nanganin operasi cecar. Terus tadi aku juga denger bagian rekam medis nyebut-nyebut Arshilla Salsabila. Ternyata beneran Lo orangnya." Padahal bisa saja menghubungi Shilla melalui telpon ataupun WA. Memang pada dasarnya Tania sosok yang terlalu menggebu-gebu, nekad, dan jiwa ambisi yang sangat kental.

"Assalamualaikum," ucap Alisha, Harizt dan Nazriel bersamaan.

"Waalaikum salam. Kalian kok tiba-tiba ke sini? Kita belum bilang lho kalau aku sudah melahirkan."

"Tante Winda yang bilang."

"Adek!" Daffin langsung turun dengan terburu-buru.

"Abang turunnya hati-hati!" peringat Shilla.

"Cie ... yang udah jadi Abang," goda Harizt.

"Nazriel, kita main di taman yuk."

"Daffin biar aku yang jaga Mbak,"

"Makasih ya,"

"Terus aku ditinggal sendiri?" tanya Harizt entah pada siapa.

Alisha menggandeng tangan Nazriel dan Daffin di kanan kirinya. Ia sama sekali tidak menghiraukan Harizt yang mulai kumat.

"Sayang!"

"Manjanya naudubillah. Mending kamu bawa aja suamimu ini dek, nggak butuh seorang Harizt," ucap Fakhri agak keras setengah berteriak agar adik sepupunya itu mendengar.

"Kayak Lo nggak manja aja, kakak ipar," tekan Harizt sebelum pergi.

"Krik... Krik... Krik... canggung banget,"

"Hehehe...."

"Oh ya, untuk hadiah lahiran Lo mau apa?"

"Nggak usah lah, Tan. Kamu jenguk ke sini aja udah syukur."

"Anggap aja sebagai kenang-kenangan sebelum kita pergi nanti."

"Kalian mau pergi? Ke mana?"

"Gue sama suami pengen suasana baru, lingkungan baru, kota ini terlalu banyak kenangan pahit."

"Kapan?"

"Mungkin setelah kehamilan Tania memasuki hamil tua."

************************************
"Ya Allah, aku ikhlas dengan takdirmu hari ini. Mungkin lisanku terlalu kelu untuk menunjukkan rasa syukurnya, akalku tak kunjung tunduk lantaran pemikirannya yang terbatas. Tolong tanamkan dalam hatiku, bahwa Engkau sedang menyiapkan yang lebih indah dari apa yang sekedar diucap lisan dan lebih baik dari pemikiran akal."
~PART 36
************************************

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang