793[Perasaan Daffin] ٣٨.

557 67 24
                                    

Daffin menatap kepergian kedua orangtuanya dengan mata berkaca-kaca. Kali ini ia paham, seberapa cepat roda kehidupan ini berputar, beberapa detik yang lalu ia masih sangat bersemangat untuk menceritakan kabar gembira yang cukup membanggakan baginya. Daffin berharap orangtuanya pun bangga atas pencapaiannya. Namun, ia tak dapat berharap banyak. Dalam satu putaran, tiba-tiba saja ia berada di titik ini, seolah ia terasingkan seorang diri.

Daffin menatap nanar rapot yang berada di genggamannya. Ia berhasil menjadi sang bintang, tapi ia lupa jika bulan akan selalu menjadi fokus utama, bulan akan selalu berada di titik tengah sebagai pusat dari tata Suryanya. Dan bulan itu adalah Fia.

Daffin menengadah ke atas, menghalau air mata yang berada di pelupuk matanya. Ia tidak menangis, hanya saja semua perasaan bercampur aduk di dalam sana. Dan ia tak tahu bagaimana cara menenangkannya.

Seorang diri di kamar, semakin membuat pikiran melayang. Ia ingat satu kalimat yang diucapkan ... tadi, "enak ya jadi kamu, pasti orangtuamu bangga." Sekarang Daffin justru ingin berteriak, "Hei! tidak tahu saja, kondisi keluargaku seperti apa hahaha,"

Daffin melepas seragamnya dengan kesal, lalu secepat kilat berganti menjadi pakaian rumahan. Setelahnya, ia mengambil wudhu di kamar mandi. Membasuh wajahnya berkali-kali untuk menyadarkannya. Dari sebuah cermin di hadapannya, ia melihat pantulan wajahnya.

"Daffiah Shezan Ghiffari, sebenarnya aku--Daffin Razhan Ghiffari tak ingin membencimu, kau pun tahu seberapa besar rasa sayangku terhadap peri kecil. You always be our proudly. Tapi sudah berapa kali kamu menghancurkanku karena kebanggaan itu. Berapa kali, Fi!"

"Astaghfirullahaladzim,"

Kamar mandi itu tempat favorit setan. Iblis bersarang di sana karenanya disunnahkan tidak berlama-lama di kamar mandi. Apalagi menjadikan kamar mandi sebagai tempat melampiaskan emosi, justru akan dimanfaatkan oleh setan untuk membisikkan pikiran-pikiran buruk.

Daffin mengambil Al-Qur'annya, melanjutkan kembali hafalannya. Al Qur'an memang obat terbaik untuk menyingkirkan penyakit hati. Dan sekarang pikiran Daffin sudah teralihkan.

***
Shilla tak henti-hentinya menangis, kondisi Fakhri juga tak jauh berbeda, meski ia tak sampai menitikkan air mata, tapi rasa khawatirnya sudah bisa dilihat dari raut wajah frustasinya.

Justru yang lebih menyakitkan saat kita ingin menangis tapi air mata tak bisa berkompromi untuk mengeluarkan airnya. Benar kata orang, menangis itu menenangkan. Kebayang, seberapa sesak di dalam sana, jika gejolak yang menggumpal tak kunjung dikeluarkan.

Cklekkk

Seorang dokter berusia empat puluh tahunan keluar dari ruangan. Ia melepas maskernya terlebih dahulu sebelum menanyakan, "Keluarga pasien?"

Shilla dan Fakhri serentak berdiri dengan penuh kecemasan yang menyertai. "Kami orangtuanya, Dok."

"Mari ikut ke ruangan saya sebentar." Jujur, saat ini baik Shilla maupun Fakhri tidak dapat menebak kabar seperti apa yang akan mereka dapat. Entah itu kabar baik atau justru kabar buruk.

Shilla dan Fakhri mengikuti dokter dari belakang. Tak terlalu jauh dari ruangan pemeriksaan tadi, hanya sekitar dua puluh satu langkah.

"Kami memerlukan sekitar 72 jam untuk pemeriksaan lebih lanjut melalui Sempel darah saudari Fia. Untuk sekarang, kami beri resep pereda batuk berdahak." Fakhri semakin mengeratkan rangkulannya di pundak Shilla. Ia tahu betul seberapa cemas istrinya terhadap kondisi Fia.

"Anak saya apa harus dirawat di sini selama proses pemeriksaan atau boleh pulang dok?"

"Boleh dibawa Pulang sekarang, Pak. Dan untuk mengetahui hasilnya silahkan kembali lagi ke rumah sakit tiga hari lagi."

"Baik dok, terimakasih." Fakhri dan Shilla keluar dari ruangan dokter tanpa bicara sepatah kata pun, mereka hanya saling menguatkan dengan tindakan. Percayalah, kata "tenang" sangat tidak mempan jika diucapkan saat ini. Kata-kata itu tak tersentuh, beda dengan tindakan yang akan menyalurkan kekuatan.

Fakhri baru melepas rangkulannya di pundak Shilla ketika sudah sampai di ruangan Fia. Suami Shilla itu langsung membopong Fia menuju mobil mereka.

Setelah sampai di parkiran mobil, Shilla membuka pintu penumpang lalu masuk lebih dulu, baru Fakhri mengalihkan Fia ke pangkuan Shilla. Jadi Fia dalam posisi berbaring dengan posisi kepala berada di pangkuan Shilla.

Cup...

"Semoga keselamatan menyertaimu," ucap Shilla.

"Aamiin."

***

"Daffin mana, Ma?"

"Lho memangnya Daffin sudah pulang?"

"Bentar aku cek di kamar."

"Abang? Sudah tidur?"

"Hei, jangan tidur tengkurap, nggak baik!"

"Emmm...." Daffin hanya bergumam malas.

"Bang...." Dari arah belakang datang Fia yang berada di gendongan Fakhri.

"Abang bobok, sayang. Yuk Adek bobok juga." Daffin mendengarnya. Sangat jelas, ia sebenarnya sudah bangun hanya saja malas nimbrung, katakanlah dia mogok bicara, ngambek atau semacamnya. Yang jelas, dalam hati Daffin ia ingin sekali dibujuk dan dimengerti.

"Jangan pergi," ucap Daffin dalam batinnya berkali-kali. Namun, sebanyak apapun Daffin berharap, tapi tak mengubah apa-apa. Buktinya suara pintu berdecit. Saat ini, ia seorang diri lagi.

***
"Abang mau ikut nggak ke rumah sakit?"

"Nggak." "Daffin mau main sama Kiara."

"Bagaimana dok hasilnya?"

"Kami tidak menemukan kejanggalan maupun tahap awal dari penyakit tertentu."

"Huftt... Alhamdulillah,"

"Lalu bagaimana cara kami mengantisipasinya dok?"

"Istirahat yang cukup, usahakan suhu badannya selalu normal, tidak kedinginan entah itu dari AC, ataupun kehujanan, sebaiknya dihindari. Untuk makanannya sendiri banyak-banyak minum air putih, minum madu kalau perlu."

"Baik dok, terimakasih."

****

Inget Kiara nggak? .
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sebenarnya aku yang lupa ahaaa. Tadi aja harus baca ulang di part" sebelumnya. Efek jarang update hiks 🤦

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang