[Sudut Lain]

547 53 48
                                    

Scene : Daffin umur 13 thn. Emm, guys. Aku loncat 2 part dari part sebelumnya ya. Maaf kalau agak bingung. Kenapa? Karena ada beberapa adegan yang nggak bisa aku tulis, takut salah tulis gitu. Tentang tesnya Daffin pas stor hafalan Al-Qur'annya dan tentang penyakit Fia. Jadi masih butuh tanya" lagi 😭 kenapa nggak nunggu semuanya lengkap baru publis? Ya karena aku udah ngilang terlalu lama😌 4 bulan aku ngilang lagi sibuk kuliah.

Dah langsung aja ya.
.
.
.
.
.
.
(Di part yang aku loncat itu sebenarnya isinya pas Daffin stor hafalannya dan jadi seorang Hafidz. Dan Fakhri bernadzar (berjanji) kalau semisal Daffin berhasil bakal ngadain makan" seponpes. Dan pas Daffin udah selesai Fia pinsang (ini masih ada kaitannya sama masa kecil Fia ya. Fia dulu pas lahiran memang ada masalah. Dan baru ketahuan beberapa tahun setelahnya)  orangtuanya panik dan langsung bawa Fia ke rumah sakit dan ternyata punya penyakit. Sedangkan Daffin sedih banget gara" hari bahagianya jadi berantakan)
Udah dapet pencerahan belum?
______________________________________

Suatu keadaan yang mencekam dapat membuat kita melupakan sekitar, sebuah hal yang mengguncang, hanya akan membuat kita fokus pada goncangannya, bukan pada tumpuan yang kita pijak. Di dunia ini terlalu banyak sudut ruang, namun kita hanya terfokus pada satu titik konstan. Terlalu banyak sudut ruang, menimbulkan persepsi yang berbeda melalui kacamata yang berbeda pula. Semakin banyak aksara yang berusaha memenuhi catatan semesta, namun justru ia semakin buram tertelan Anila.

Jika kembali kepada hukum alam ada yang menyingkirkan dan ada yang tersingkirkan. Perasaan itu kini bergelung dalam sudut hati Daffin, di bilik yang ia sembunyikan dengan rapat dan hanya membiarkan ia dan pemilik hati-Nya yang tahu.

Entah harus menyalahkan siapa? Takdir yang lebih memihak pada Fia? rasa-rasanya gadis kecil itu sudah cukup menderita. Ingin menyalahkan orang tuanya? Daffin paham betul bagaimana kerutan-kerutan di wajah mereka terbentuk oleh masalah yang ada. Ingin menyalahkan diri sendiri? namun, ia terlalu egois untuk mengakui, dan sejauh ini fakta yang ada memang cukup membuatnya terluka.

Ia akui, takdir terlalu sempurna dalam menyusun skenarionya. Bagaimana ia, Fia, Fakhri dan Shilla berada dalam satu stigma yang saling menyakiti satu sama lain. Kini ia hanya bisa menatap datang pemandangan dari balkon kamarnya. Rumah berantai dua ini lebih sering dihuni olehnya dan juga neneknya. Kedua orangtuanya mengantar Fia untuk cek up secara rutin di Surabaya setiap minggunya. Dan akhir-akhir ini, mereka memutuskan untuk tinggal sementara di sana. Sedangkan Daffin ia tidak bisa meninggalkan sekolahnya. Dia masih kelas enam SD yang disibukkan dengan ujian-ujian.

Daffin mengadah ke langit. Tanpa bicara namun hatinya terus bertanya, "Fi, kalau Abang benci kamu, Abang keterlaluan nggak sih, Fi? Abang juga pengen dapet perhatian dari Umma dan Abah, tapi mereka seperti hanya memiliki seorang putri tanpa aku di sini sebagai anak pertamanya."

***
"Fia kapan bisa pulang?"

"Sabar ya, Sayang. Kalau kondisi Fia sudah membaik pasti diizinkan dokter untuk pulang."

"Fia mau sama Abang."

"Kenapa Abang nggak temenin Fia juga di sini?"

"Katanya kalau sakit harus dijenguk. Kenapa Abang nggak jenguk Fia?"

"Abang kan lagi sekolah, sayang."

"Fia juga mau sekolah biar ketemu abang.''

"Makanya peri kecil Abah harus cepet sembuh. Makan yang banyak, minum obat, ntar kalau sudah sembuh bisa main sepuasnya bareng abang.'

"Fia banyak minum obat, tapi nggak sembuh-sembuh, huaaaa, aaa."

"

***
Jarum jam menunjuk pada angka sebelas. Sudah selarut ini, suami dan anaknya sudah bergelung dalam mimpi yang tak diketahuinya. Shilla hanya bisa memandangi kedua wajah damai ayah dan anak itu. Selalu ada perasaan tak terbaca yang bercokol di hatinya. Dan di saat ia sudah tak tahu lagi harus bagaimana meluapkan gumpalan rasa yang mengganjal di hatinya, hanya ada dua cara yang bisa ia lakukan. Bermunajat dan menorehkannya dalam lembaran-lembaran kertas putih di buku dairynya.

Bagi Shilla, efek menulis bisa sedasyat itu. Seakan setiap kata yang ia torehkan melalui pena hitam juga turut membawa gumpalan-gumpalan rasa yang menjanggal di hatinya. Seakan gumpalan itu mengalir melalui darah yang di pompa jantungnya lalu mengalir hingga ke sendi-sendi tangannya dan keluar dalam wujud rangkaian kata.

Hari ini dengan lancar, tangannya itu menceritakan apa yang tak bisa diucapkan oleh kata. Derai air mata pun belum cukup melegakan sukma. Terlebih, raga yang entah harus berbuat apa.

Hari ini, Shilla mencurahkan semuanya. Bukannya karena ia tak ada pundak untuknya bersandar, bukan pula karena tiada telinga yang mendengarnya. Fakhri--suaminya telah memberikan semua itu. Bukan hnaya sebagai pendengar dan penyemangatnya, tapi merupakan salah-satu alasan yang menjadi penguatnya. Dan karena hal inilah, Shilla lebih memilih melampiaskan semua perasaannya dalam bentuk tulisan, karena ia pun harus terlihat kuat agar suaminya tidak khawatir.

Bukan hal mudah yang dialami oleh keluarga kecil itu. Selepas segala permasalahan, tapi Shilla rasa ini adalah ujian terberatnya. Menyaksikan penderitaan anak bungsunya yang masih terlalu kecil untuk menderita penyakit mematikan bernama kanker dalam tubuhnya.

Layaknya bintang yang merindukan bulan. Hari ini Daffiah--putriku merindukan Abangnya. Sosok yang selalu ia tunggu kehadirannya setiap pukul dua belas siang. Menanti di depan pintu, menunggu kehadiran anak laki-laki yang berlari dengan tas di punggungnya sembari meneriakkan kata "My Chubby." Panggilan sayang yang sudah Daffin sematkan sejak kecil untuk adiknya--Daffiah Ghifari.

Ya, itu sebelum kondisinya semakin lemah. Sebelum akhirnya kami tinggal di Surabaya untuk sementara waktu. Sementara Daffin--sosok yang dirindukannya itu tetap tinggal di rumah lama. Menikmati sisa-sisa kenangan yang masih dihirupnya.

Satu kalimat yang berhasil menampar diriku secara tidak langsung, tapi begitu membekas dalam otak dan ingatanku. Tentang perkataan Fia tadi pagi. "Fia banyak minum obat, tapi tidak sembuh-sembuh." Saat itu, aku pun ingin menangis dengan kencang seperti Fia yang bebas meluapkan ketidakberdayaannya. Namun, sebelah tangan yang merangkulku, menenangkanku dengan sabar, meski aku pun tahu bahwa suamiku itu pun tak kalah terkejut dengan ucapan yang dilontarkan Fia.

Kemarin, baru saja kudengar, jika Daffin menjadi siswa dengan nilai terbaik saat simulasi ujian nasional. Aku bangga. Tentu saja sebagai ibunya aku bangga. Hanya saja, tak pernah ada kesempatan untukku mendengar suaranya. Entah putraku yang menghindar, atau memang takdir yang tak mengizinkan.

Aku tak tahu. Aku tak tahu sampai kapan semuanya berjalan seperti ini.

Usai membubuhkan tanggal di pojok kanan dairynya. Shilla langsung mengakhiri kegiatannya itu. Ia bergabung dengan suami dan anaknya yang sedang tertidur lelap. Berharap agar ia pun segera disambut mimpi hingga tak perlu memikirkan banyak hal yang justru semakin membuatnya lelah dengan jalan pikirnya sendiri.

***
I'm comeback 😭 sorry ngilangnya lama banget🥴😭

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang