900 [Membaca Tanda-tanda] ٣٠

1.3K 108 3
                                    

"Umma, Daffin sudah siap," ujar Daffin menghampiri Shilla.

Shilla yang sedang menyetrika pakaian mengalihkan pandangannya menuju putranya. Ia perhatikan penampilan Daffin dengan saksama. Anak berusia lima tahun itu memakai baju rapi, sepatu berwarna mocca. Hanya saja tampilan rambutnya sedikit berantakan. Anaknya itu sangat malas menyisir rambut. Harus ada yang menyisirkan.

"Pintar. Tunggu sebentar ya, Abah masih di jalan." Daffin mengangguk dengan semangat. Ia berjalan menuju kursi yang letaknya tak jauh dari sang ibu. Ia memilih menunggu di sana hingga kepulangan abahnya.

Shilla menghentikan kegiatannya sejenak. Ia meraih handphonenya lalu menghubungi Fakhri.

"Nih, Daffin tanya Abah kapan sampainya. Suruh cepetan juga." Daffin menerima handphone dengan antusias. Ia meminta Fakhri agar segera pulang, tapi nada suaranya bukan seperti orang yang sedang memberi titah. Entahlah. Terdengar lucu saja jika Daffin yang mengucapkannya.

Hari ini keluarga kecil itu akan mendaftarkan Daffin di salah-satu TK. Daffin begitu antusias sejak kemarin. Ia tak sabar bersekolah dan mendapatkan teman-teman baru yang seusia dengannya.

Usai mendaftar, Daffin mendapat tiga seragam yang akan dikenakan saat masuk nanti. Begitu sampai di rumah, ia langsung mencoba seragamnya dengan semangat.

"Daffin antusias banget hari ini," ujar Shilla menanggapi.

Fakhri mengangguk setuju. "Alhamdulillah, semoga semangatnya dalam menuntut ilmu tetap konstan seperti ini."

"Aamiin."

***

"Sini Umma pakaikan bajunya," bujuk Shilla yang langsung mendapat penolakan halus dari putranya.

"Daffin bisa sendiri."

"Kalau sudah siap langsung turun ya. Umma mau buat sarapan dulu,"

Semua sudah berada di meja makan, Fakhri, Shilla, Daffin dan Winda. Mereka membaca doa sebelum makan bersama-sama lalu mulai memakan sarapannya masing-masing.

Shilla menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Baru tiga kunyahan, ia langsung membekap mulutnya yang tertutup cadar lalu langsung berlari menuju kamar mandi.

"Huek ..."

"Daffin lanjut makan ya. Abah lihat umma dulu," pamit Fakhri.

Fakhri langsung membantu Shilla. Ia melepas cadar yang dikenakan istrinya dengan perlahan agar memudahkan Shilla yang sedang memuntahkan makannya.

"Udah enakan?"

"Heem," gumam Shilla. Baru saja ia hendak keluar kamar mandi, tapi lagi-lagi perutnya mual "Huek ..."

"Ke dokter ya?" Fakhri memegang kedua pundak Shilla dengan khawatir.

"Nggak usah. Paling juga masuk angin."

"Kamu lemas banget lho ini. Abah panggilkan dokter ke sini aja ya?"

"Nanti aja. Umma mau nganterin Daffin dulu."

"Daffin biar diantar Mama. Kita ke rumah sakit sekarang."

"Tapi kan ini hari pertama Daffin sekolah, Bah."

Daffin memandang kosong ke depan. Ia memakan sarapannya dengan malas-malasan.

"Daffin, berangkatnya diantar nenek saja ya? Umma lagi nggak enak badan. Nggak papa kan, nak?"

"Iya."

"Tuh Daffin mau. Ayo ke rumah sakit."

"Kenapa sih, Bah? Kenapa ngebet gini cuma untuk periksa? Abah nggak liat gimana antusiasnya Daffin sejak kemarin? Ini pengalaman pertamanya dan harusnya yang hadir di sana kita. Bukan neneknya. Toh sepulang Daffin sekolah juga bisa."

Bidadari yang Tersembunyi[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang