《Perdebatan Tengah Malam》
Pulang dari makam, Shilla merebahkan dirinya di kasur, ia memejamkan matanya, melepas semua pikiran yang mengganggunya bahkan ia juga melupakan tugasnya sebagai seorang istri yang harus membersekan rumah dan seisinya. Ia benar-benar tak peduli sekarang, yang ia ingin kan hanya istirahat.
Sementara Fakhri dan Winda yang tertinggal di belakang hanya bisa mengembuskan napas lelah.
"Susul istrimu, tenangkan dia." Fakhri menuruti perintah Mama mertuanya itu.
Cklek ... Fakhri membuka pintu kamar yang tak pernah dikunci oleh istrinya itu. Pandangannya fokus ke arah Shilla--wanita yang meringkuk dengan selimut tebal yang menutupi hingga lehernya. Rambut hitam sepinggang ia biarkan begitu saja.
"Shilla," panggil Fakhri dengan suara lembutnya. Tak ada pergerakan satu centi pun dari istrinya.
"Sayang," bujuk Fakhri sekali lagi. Ia mengguncang pelan lengan Shilla yang terbalut selimut tebal.
"Nggak baik tidur sore hari." Kali ini suaranya terdengar lebih tegas daripada sebelumnya. Benar yang Fakhri katakan, tidak baik tidur sore hari.
"Aku nggak tidur," gumam Shilla dengan mata terpejam dan tetap pada posisinya yang memunggungi Fakhri.
"Tapi kamu merem," bantah Fakhri.
Shilla membuka matanya lalu membalikkan tubuhnya ke samping hingga ia berhadapan langsung dengan suaminya. "Tapi aku nggak tidur, Mas."
Sesaat setelah Shilla tersadar dengan ucapan Fakhri yang memanggilnya 'sayang' beberapa detik yang lalu membuatnya langsung duduk bersandar dengan bantal di pangkuannya.
"Mas," panggil Shilla mengarahkan tatapannya ke arah Fakhri sepenuhnya.
"Ya?"
"Mas sebenarnya manggil aku apa sih? Aku--kamu? Shilla? Dek? Sayang? Istri? Yang mana?" Tanya Shilla beruntun. Ia mendesak Fakhri agar memberinya jawaban.
"Kamu maunya yang mana?" Tanya Fakhri balik. Sebenarnya ia juga ingin memanggil Shilla dengan panggilan sepesial seperti suami kepada istrinya.
Selama ini Fakhri memanggil Shilla dengan sebutan "Dek." Lalu ketika Shilla berada di rumah sakit ia memanggilnya "istri" dan sekarang beralih ke "sayang" selabil itu Fakhri, lebih tepatnya suami Shilla itu tak percaya diri dan masih malu memanggil istrinya dengan panggilan sepesial seperti itu.
"Aku-kamuan, nggak cocok. Kita suami--istri bukan anak pacaran lagi," ujar Shilla sembari menatap langit-langit kamar seolah membayangkan sesuatu yang ada dalam pikirannya.
"Pacar halal," sambung Fakhri yang diabaikan oleh Shilla. Sungguh kasihan, oh kasihan, aduh kasihan. Makanya, kalau mau ngegombal jangan yang pasaran.
"Kalau manggil nama, jangan!" Lanjut Shilla mengomentari pertanyaannya sendiri satu per satu.
"Adek?"
"Aku bukan adik kamu!" Sela Shilla dengan nada tak terima. Pasti orang-orang yang mendengarnya tanpa tahu mereka suami-istri akan menganggap Shilla adik Fakhri jika sang suami memanggil Shilla seperti itu.
"Kalau sayang juga terlalu alay," komentar Shilla mengungkapkan pendapatnya.
"Istri?" Fakhri menanyakan satu-satunya opsi yang belum disebut oleh istrinya itu.
"..." Shilla terdiam tak mengatakan sepatah kata pun, tapi rona merah di wajahnya membuat Fakhri terkekeh geli.
Fakhri menggeser duduknya agar lebih dekat dengan sang istri. Ia menggerakkan tangannya hingga menempel di pipi Shilla yang membuat pipi istrinya itu semakin merona. "Bilang dong dari tadi, nggak usah mutar-mutar."
***
"Menurut kamu bagus mana, Istri?" Tanya Fakhri menyodorkan selembar brosur ke arah Shilla."Ekhm ... Mas mau beli mobil?"
"Iya. Biar hemat juga. Nggak mungkin juga kan kita tiap mau keluar pakai taksi?" Winda--ibu mertuanya itu sejak pulang dari umrah ikut bersamanya. Sebenarnya, Fakhri sendiri yang meminta Winda untuk tinggal bersamanya dan Shilla.
Jika selama ini, ia dan Shilla selalu naik motor Fakhri ke mana-mana, tapi sekarang kondisinya berbeda penghuni rumah bukan hanya mereka berdua, tapi juga ada Winda.
"Iya sih, tapi uang Mas cukup?"
"Aku usahakan," ujar Fakhri bersungguh-sungguh. Terlihat jelas semangat dalam sorotan matanya. Mungkin karena ia sudah biasa berusaha sendiri untuk memperoleh uang sejak memasuki SMA melalui kafe yang menjadi ladang bisnisnya.
"Takutnya malah mengurangi modal cafe, Mas." Kekhawatiran Shilla, ia ungkapkan saat itu juga. Di sini lain, ia merasa tidak enak hati kepada Fakhri. Baru saja tingkah pemerasan Ibunya itu berhenti dan sekarang malah memunculkan masalah baru yang harus menguras uang Fakhri sekali lagi.
Uang suami adalah milik istri dan uang istri tetap milik istri. Slogan lama yang tak membawa pengaruh untuknya. Intinya Shilla sedang diliputi perasaan tak enak hati.
"Tenang saja, Mas bakal buka cabang lagi untuk menutupi pengeluaran kita."
Lah! Ini malah menguras kantong lagi. Ini namanya bukan menutupi, tapi membuka celengan. Pikir Shilla dalam hati.
"Di mana?"
"Bali," balas Fakhri dengan segala pertimbangannya memilih membuka cabang di kota yang tak pernah sepi dari kunjungan turis.
Hari demi hari, Fakhri semakin sibuk dengan urusannya sendiri. Bolak-balik ke luar kota untuk menyelesaikan masalah di kafenya, setiap akhir bulan ia mengunjungi kafe secara langsung untuk mengetahui perkembangannya.
"Mau ikut ke Yogya nggak?" Tawar Fakhri sambil menutup resleting tasnya. Ia mengecek kembali isi tas yang telah disiapkan Shilla tiga jam yang lalu.
"Nggak usah deh," tolak Shilla secara halus. "Langsung pulang hari ini kan?"
"Iya, tapi kemungkinannya pulang larut malam." Shilla mengangguk paham.
"Kamu di rumah saja. Aku nggak mau kamu kecapean," ujar Fakhri penuh perhatian.
"Uluh-uluh, sini sayang dulu."
"Aku batalin ke Yogya kamu sendiri yang repot," balas Fakhri dengan wajah seriusnya yang langsung membuat Shilla kalang-kabut.
"Eh jangan-jangan," cegah Shilla dengan wajah paniknya. Ia mengambil tas Fakhri lalu menarik tangan suaminya.
"Em ... Harizt sudah di depan belum. Eh, itu seperti suara mobilnya Harizt?"
"Gitu banget sama suami," keluh Fakhri tak terima. Bisa diartikan Shilla mengusirnya secara tidak langsung kan?
"Biarin." Shilla melengos dari tatapan sendu Fakhri. Salah siapa menggodanya. Eh, salah siapa yang memulainya lebih dulu? Tapi begitulah wanita, ia selalu merasa berada di pihak yang benar dalam artian tak mau disalahkan dalam kondisi tertentu.
***
"Hoam ...." Shilla membuka matanya perlahan. Ia melirik sekilas ke arah jam weker yang menunjukkan pukuk satu dini hari."Mas," panggil Shilla mengguncang lengan Fakhri yang berbaring di sebelahnya.
"Hmm," sahut Fakhri dengan mata terpejam. Matanya enggan terbuka, ia masih sangat mengantuk dan matanya itu baru saja terpejam setengah jam yang lalu.
"Pengen pempek yang di alun-alun," adu Shilla mengutarakan keinginannya.
"Besok sajalah!"
"Tapi ... aku pengen sekarang, Mas."
"Beli besok bisa, Shilla." Tekan Fakhri dengan nada suada yang lebih tegas meski tersamarkan dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Aku capek ya, tiap malam nuruti kamu yang pengen makanan luar. Aku capek!" Lima hari belakangan ini, Shilla selalu terbangun tengah malam hingga dini hari hanya untuk makan. Entah mengapa makanan yang ada di pikirannya ingin ia makan saat itu juga.
1027 words
Gimana nih setelah menghilang selama tujuh hari? Ada yang kangen nggak🙄 aku berharap loh😃Sehat selalu ya, bentar lagi ujian😭. Jangan banyak pikiran.😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari yang Tersembunyi[END]
EspiritualFakhriza Ghiffari diajak nikah oleh seseorang yang ia tolong. Demi mempertahankan prinsipnya sebagai seorang ustad ia menikahi gadis amnesia yang tak diketahui asal-usulnya itu. Lalu apa yang akan terjadi setelahnya saat Arshilla Salsabila mendapat...