Kejadian ini telah berlangsung jauh sebelum Vernon berniat pindah ke Jakarta, Indonesia. Kira-kira saat itu dirinya masih menginjak bangku menengah pertama kelas dua.
Hari-hari yang biasa ia lewati di sekolah dan rumah terasa sama saja. Namun, kalau disuruh memilih yang mana lebih menyenangkan, mungkin sekolah adalah pilihannya.
Karena ketika ia berada di rumah, yang ia dapat hanya kesunyian dan tangisan samar-samar yang datang dari arah kamar mamanya.
Papanya? Terlalu sibuk untuk bekerja. Vernon bahkan lupa kapan terakhir kali ia mengobrol maupun bersua dengan papa nya.
Kalau sampai keluarganya ini hancur, Vernon tidak akan kaget lagi, sih. Ia justru mempersiapkan dengan matang segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi nanti.
Seperti, pindah negara ke Indonesia ini.
Tak lama setelah Vernon lulus SMP, mamanya menggugat cerai papanya karena ia merasa tidak dianggap dan dikhianati sebagai seorang istri. Papanya terlihat sok kuat di luar padahal tubuhnya sendiri lemah.
Papanya terus saja berkata bahwa semua ini demi kebaikan, kebahagiaan Vernon dan mamanya. Namun, semua itu dibantah oleh mama Vernon, Tiffany.
"Aku tidak pernah memintamu untuk melakukan ini padaku dan Vernon. Dan, kebahagiaan itu tidak akan pernah ada selagi kamu memikirkan orang lain, tanpa memikirkan dirimu sendiri," katanya.
Sidang perceraian pun akhirnya dilaksanakan, dan hak asuh anak berada di tangan Tiffany. Mungkin sudah seharusnya begini, mamanya tidak mau berlama-lama menjadi alasan mengapa papanya terlalu giat bekerja.
Begitulah yang sebenarnya terjadi ketika Vernon dan mamanya memutuskan untuk tinggal di Indonesia, kampung halaman mamanya.
Namun, entah kenapa beberapa hari yang lalu kakeknya yang datang dari Los Angeles berkunjung menemuinya mereka.
Kakeknya bercerita bahwa papanya sudah tidak sanggup untuk melanjutkan perusahaannya. Papanya sedang jatuh sakit saat ini.
Maka dari itu kakeknya kemari untuk mengusulkan, "Bagaimana kalau Vernon saja yang nanti mengambil perusahaannya?"
"Huh?" Vernon mengekspresikan rasa bingungnya.
"Papamu hanya mampu bertahan sekitar tiga tahun lagi. Papamu mengidap kanker stadium awal, Vernon."
Tiffany dan Vernon membeliakkan mata ternganga tidak percaya. "What?!"
"Dokter berkata bahwa ia harus segera di rawat inap dan melakukan perawatan intensif sebelum terlambat," ujar kakeknya.
Mamanya sudah menahan tangis sedari tadi, menundukkan kepala, memijat dahinya beberapa kali. Ia tak bisa berbohong kalau sebenarnya ia masih sayang pada mantan suaminya itu.
Hanya karena keras kepalanya inilah yang menjadi alasan mengapa Tiffany menyudahi saja hubungan pasutri mereka.
Bahkan setelah bercerai, ayahnya tidak menikah lagi dan masih terus mengirimkan uang bulanan ke rekeningnya meski sudah ditolak terus-menerus.
"Bagaimana? Apa kamu mau melakukannya, Nak?" tanya kakeknya sekali lagi.
Vernon bimbang, bukannya ia tidak mau melanjutkan perusahaan papanya, ia bahkan menyukai dunia bisnis. Cuma dia tidak menyangka akan secepat ini untuk meninggalkan negeri ini...,
...dan Umji, kebahagiaannya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
double up buat kalian yang udah setia nungguin! <333 😍