Air mata hangat menetes di pipiku, perasaanku sekarang sulit diungkapkan dengan kata-kata, meski aku lega karena pada akhirnya kejadian adu fisik itu telah berakhir, tapi bagaimanapun juga hal itu tetap meninggalkan rasa traumatik, maka dari itu kuluapkan semuanya dengan menangis sepanjang perjalanan pulang.
Di dalam mobil, Noah yang sedang menyetir dan duduk di sebelahku, diam-diam terus melirikku melalui kaca spion mobilnya, dari raut wajah Noah, dia seperti akan mengajakku bicara tapi kemudian mengurungkan niatnya.
Aku merasa tidak enak sekaligus malu pada Noah, memalukan sekali rasanya, menangis di hadapan Noah seperti ini, seandainya saja aku punya kemampuan untuk menahan air mata. Jujur, duduk di dalam mobil Noah dan menangis sesenggukan bukanlah sesuatu yang pernah kuharapkan akan terjadi, ini tidak keren sama sekali.
Baru setelah mobil berhenti dan Noah memarkir mobilnya di tepi jalan di depan rumahku, Noah tanpa ragu meletakkan tangannya di bawah daguku, membuatku otomatis menoleh untuk menatap matanya, ia mengusapkan jari-jarinya yang dingin ke pipiku, menyeka air mataku. Sikapnya tentu saja mengejutkan.
"Noah.." Tak diragukan lagi aku merasa grogi, terutama karena tiba-tiba aku jadi teringat Noah yang menciumku di hadapan para preman itu. Kalau situasinya berbeda, mungkin aku akan meninju perutnya seperti yang pernah kulakukan di ruang kesehatan, namun terlepas dari semua yang telah terjadi, Noah adalah pahlawanku hari ini, setidaknya hal itu berhasil menebus sikapnya yang telah merampas ciumanku.
"Ssht, jangan menangis Alexa," bisik Noah menenangkan, sorot matanya damai, "Sekarang semuanya oke, hal yang seperti itu tidak akan terjadi lagi." suaranya terdengar sangat lembut, sama sekali tidak seperti Noah yang kukenal, entah bagaimana cara bicara Noah seperti seorang pacar sungguhan yang sedang menghibur ceweknya.
Haruskah dia bersikap seperti ini?
"Jangan dihibur," aku menggeleng cemberut sambil melepaskan tangan Noah yang membelai pipiku, entah bagaimana, setiap aku menangis dan ada orang yang menghibur, bukannya mereda, air mataku malah tumpah semakin deras, "Percayalah, nanti aku bisa menangis lagi." Dan begitulah yang terjadi, air mataku yang tadinya sudah akan berhenti, sekarang malah mengalir deras menuruni pipiku, "Tuh kan nangis lagi," rajukku pada Noah, aku mengelap air mataku sendiri dengan sapu tangan, rasanya konyol sekali.
Ucapanku membuat Noah melepaskan tawa gemas, "Baiklah, baiklah.. astaga, aku tidak akan menghiburmu." dia juga menambahkan kalau sikapku sama seperti bayi, walau begitu kemudian Noah mengambil sesuatu dari laci mobilnya dan mengulurkan satu buah permen chupacups rasa stroberi padaku, "Tapi kau tidak akan menolak ini kan?"
Alih-alih permen itu, pandanganku terpusat pada buku-buku jari Noah yang lecet dan berdarah akibat berkelahi.
"Kenapa?" Noah menggeleng, "Kau tidak mau?"
Aku mengulurkan tangan dan meraih tangan Noah, kutumpangkan telapak tangannya di atas tanganku untuk memeriksa lukanya, keningku mengernyit karena perasaan bersalah, "Aku benar-benar minta maaf Noah."
"Bukan salahmu kok," hibur Noah lembut, "Lagipula cuma luka kecil, lebih baik luka daripada tidak memukul sama sekali."
"Tapi jauh lebih baik kalau kau tidak terluka kan."
Noah tertawa untuk mencairkan suasana, "Hei.. ini konsekuensi perkelahian, luka seperti ini sudah biasa dialami para cowok, tidak ada luka tidak seru, tapi aku senang kau khawatir," Dia menarik tangannya dan ganti meraih tanganku, bisa kurasakan tangan Noah yang dingin membuka jari-jariku, meletakkan permen itu ke dalam genggamanku, "Nah, sudah, jangan bahas lukaku lagi, cepat ambil dan makan permen mu."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Is Love?
Teen FictionMeskipun manis dan punya kepribadian bagus, Alexandra Dawson hanya pernah pacaran satu kali. Tumbuh dalam didikan keluarga yang penuh aturan membuatnya jadi cewek pemilih dalam bergaul, dia tipe cewek rumahan yang lebih nyaman membaca buku, tidur at...