Perutku nyeri dan kram karena menstruasi dan rasanya semakin tidak nyaman saat mengikuti pelajaran olahraga, bahkan ketika mengelilingi lintasan atletik, belum sampai lima menit, laju lariku mulai melambat, aku tertinggal jauh dari yang lain.
Ugh, aku membungkuk dan meremas pinggang, bagaimanapun aku nyaris tidak bisa berdiri tegak, aku kewalahan menahan kram yang memilin perutku, maka kuputuskan untuk keluar lintasan dan berjalan menghampiri coach cowok yang sedang mencatat sesuatu di jurnalnya.
"Perut saya sakit, bisakah saya pergi ke ruang kesehatan?" Mata coach menyipit memandangiku, mungkin mengamati ekspresiku— apakah aku sedang berbohong atau tidak.
"Tentu saja," setelah melihat rona wajahku yang pucat, coach mengangguk sekali, "Sebaiknya kau istirahat."
"Terimakasi." kataku lemah dan berbalik menyebrangi lapangan menuju gedung sekolah, aku harus segera meminum paracetamol untuk meredakan rasa kram di perutku atau siksaan ini tidak akan berakhir.
Pelajaran olahraga adalah kelas terakhir hari ini, jadi aku bisa tidur sebentar di ruang kesehatan, lagipula di jam-jam pulang seperti ini, harusnya ruang kesehatan juga sudah sepi.
Sepanjang perjalanan menuju ruang kesehatan, aku berkeringat dingin seperti terkena demam panggung. Aku harus berhenti beberapa kali— kali ini aku beristirahat sebentar di lorong depan pintu ruang teori, kusandarkan punggungku ke dinding, karena merasa lemas dan tidak kuat lagi, aku berjongkok dengan posisi memegangi perut, rasanya seakan-akan ada yang meninju perutku. Aku memejamkan mata.
"Kau baik-baik saja?" sapa seorang cowok di belakangku, aku tidak tahu itu suara milik siapa, "Apakah kau sakit?" tanyanya khawatir.
"Tidak," aku sengaja tidak mendongak, "Pergilah." aku memberikan isyarat dengan tangan agar sebaiknya dia pergi saja.
"Dia tidak butuh bantuan," suara yang berbeda menyaut dan terdengar dekat dari belakangku, suara yang sangat kukenal, "Ayo pergi" tanpa menoleh pun aku bisa mengenali suara Noah yang angkuh dan cuek.
"Hei man, kau tak berperasaan sama sekali, dia sedang kesakitan, butuh bantuan."
"Cewek ini bilang tidak mau dibantu." Noah bicara lagi, "Terserah, kalau begitu kau yang urus." aku bisa mendengar suara langkah kaki Noah yang menjauh, dia mengabaikanku. Mungkin Noah masih tersinggung gara-gara kejadian tadi pagi, biarpun begitu sikapnya membuatku sakit hati, tapi masa bodoh ya kan? Aku tidak butuh bantuannya.
Setelah Noah pergi, cowok itu memegang bahuku, "Ayo kubantu ke ruang kesehatan," aku mendongak ragu saat dia mengulurkan tangan, ternyata cowok itu adalah Theo, tidak seperti Noah yang tidak punya simpati, dia baik sekali mau membantuku dan karena tidak punya pilihan lain, jadi kuterima uluran tangannya, Theo hati-hati membantuku berdiri, kemudian dia merangkul pinggangku untuk memapahku berjalan.
Kupikir Noah benar-benar pergi, tapi kemudian dia kembali lagi, dia mengeryitkan dahi melihat tangan Theo yang merangkul pinggangku. Noah tidak melihat Theo, pandangannya terpaku di wajahku, sorot mata Noah terlihat marah sesaat lalu tenang kembali, begitu cepat ekspresinya berubah, sehingga aku tak yakin benar-benar melihatnya marah atau tidak sebelumnya.
"Biar aku yang mengantarnya," kata Noah pada Theo, "Kau bisa langsung pulang."
"Kenapa tiba-tiba kau jadi mau membantu?" protes Theo.
Noah tidak menjawab dan tiba-tiba saja sudah menarikku dari papahan Theo dan megendongku seperti pengantin. Lenganku melingkar di leher Noah, mencari pegangan agar tidak jatuh, gerakan reflek.
Mataku mengerjap, terkejut. Theo juga sama terkejutnya dengan aku, matanya sampai membelalak seolah-olah berkata 'Apa yang kau lakukan?' Noah sudah berjalan sebelum Theo sempat bicara.
"Noah, please, " Mataku melebar, suaraku bahkan masih terdengar kaget, "Turunkan aku."
Noah tidak mengubrisku.
"Turunkan aku Noah, sebelum ada yang melihat kita." posisiku yang berada dalam gendongan Noah pasti akan memicu perhatian semua orang, "Kau sadar tidak sih, orang lain bisa salah paham melihat kita seperti ini," Aku berharap Theo tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun, selain Theo, sejauh ini belum ada yang melihat kami karena lorong menuju ruang kesehatan sudah lenggang dan sepi.
Noah hanya bilang, "Tidak ada orang," dan pandangannya tetap lurus ke depan, seolah-olah tidak perduli orang lain akan menangkap basah kami.
Dia mungkin tidak perduli karena sudah terbiasa menerima perhatian tapi aku perduli, setiap cewek yang berhubungan atau dekat dengan Noah pasti selalu mengundang rasa penasaran dan aku tidak mau jadi pusat perhatian semua orang di Dalton, aku cuma ingin jadi cewek yang eksistensinya biasa-biasa saja, titik.
"Kau bisa saja membiarkan Theo membantuku."
"Theo itu brengsek." kata Noah, "Hanya karena dia baik padamu, bukan berarti dia perduli, dia hanya memanfaatkan kesempatan."
"Dia temanmu." Bisa-bisanya Noah menjelekkan temannya.
"Karena dia temanku, aku tahu." jawab Noah, "Suatu hari nanti kau akan mengerti dan berterimakasih padaku."
Setelah itu, Noah berjalan tanpa bicara sepatah katapun.
Aku juga jadi diam karena malu dan canggung, percuma saja minta Noah menurunkanku, kurasa bilang sampai mulut berbusa pun dia tidak akan menurut. Aku tidak punya pilihan selain pasrah dalam gendongan Noah.
Uh, masalahnya adalah tidak ada cowok lain yang menggendongku selain Papa dan Vernon. Noah adalah cowok pertama di luar keluarga yang menggendongku seperti ini, bukannya aku senang atau merasa istimewa digendong Noah Walsh yang tampan dan populer, malah sebaliknya aku merasa aneh terjebak di situasi intim seperti ini dengan Noah.
Dulu, waktu aku masih berpacaran dengan Nicole, aku pernah membuat daftar keinginan— seperti hal-hal romantis yang ingin kulakukan dengan Nicole, salah satunya adalah aku ingin digendong di depan dada ala bridal style, keinginanku memang dikabulkan, tapi alih-alih Nicole, kenyataanya aku malah melakukannya dengan Noah.
Noah menunduk, membuat kontak mata denganku, "Wajahmu merah, grogi ya kugendong?"
Aku tercengang karena Noah pede sekali menanyakan itu, "Tidak."
Tidak salah.
Entahlah.. kurasa buku roman lebih susah nulisnya daripada horror/thriller😁 tapi makasi selalu buat reader yang udah setia ngasih vote dan komentar, serius itu kayak vitamin buat nulis.Aku akan selalu mengusahakan buku ini publish sekali atau dua kali dalam seminggu buat kalian♡
KAMU SEDANG MEMBACA
What Is Love?
Teen FictionMeskipun manis dan punya kepribadian bagus, Alexandra Dawson hanya pernah pacaran satu kali. Tumbuh dalam didikan keluarga yang penuh aturan membuatnya jadi cewek pemilih dalam bergaul, dia tipe cewek rumahan yang lebih nyaman membaca buku, tidur at...