Ting! Ting! Ting! Ting!
Noah mengoyangkan lonceng lagi, bunyinya membuatku merinding.
"Stop," kubekap kedua telingaku rapat-rapat, tidak mau dengar, "Stop Noah!"
Melihat ekspresiku, Noah malah tertawa dan terus menyuarakan loncengnya, seakan melihatku takut adalah lelucon paling lucu di dunia.
"Kau takut hantu, Alexa?" kata Noah tersenyum arogan, "Bagaimana kalau kuceritakan salah satu urband legend di York?" Noah menatapku seakan bertanya apa aku tidak keberatan, aku mengeleng-- jelas keberatan.
Tampaknya Noah tidak mengubris dan mulai bercerita, "Kau tahu, dulunya salah satu toko di Shambles adalah rumah seorang dokter yang tinggal bersama putri tunggalnya," lanjut Noah dengan suara misterius yang menyeramkan, "Suatu malam sekitar waktu sepuluh malam yang berarti sebentar lagi, putri dokter itu jatuh dari ketinggian 55 kaki dari lantai atas dan langsung tewas seketika."
Aku gemetar, tapi bukan cuma karena ketakutan namun juga marah, aku ingin pergi namun gara-gara takut, aku jadi terkena tonic immobility atau reaksi biologis tubuh, yakni ketidakmampuan tubuh bergerak sampai ketakutan berlalu. Noah sialan, bisa-bisanya para cewek Dalton bilang dia cool dan bermanner.
Cool apanya? Bermanner darimana? Cowok brengsek begini!
Seakan belum cukup, Noah malah makin meneruskan, "Kabarnya beberapa saksi mata pernah melihat arwah gadis kecil itu muncul di jendela." Noah membunyikan lonceng, "Kau ingin melihat gadis kecil itu Alexa?" tanya Noah seraya melirik jam tangan, tatapannya sok prihatin, "Kebetulan sekarang hampir jam sepuluh malam."
"MAMA!" nadaku terkejut saat mendadak Noah menepuk bahuku yang sedang ketakutan— yang tentu saja membuatku tersentak kaget. Untung saja batukku tidak kambuh.
"Lihat keatas, siapa tahu toko di belakangmu adalah bekas rumahnya!"
"NOAH!" Aku separuh menjerit. Noah tertawa sendiri pada leluconnya.
Bisa-bisanya dia ngomong begitu.
Wajahku merah dipicu perasaan kesal dan marah, saking marahnya aku sampai ingin menangis keras-keras untuk meluapkan emosi, Noah membuatku terlalu emosional, tapi sebisa mungkin desakan ingin menangis itu kutahan, setidaknya jangan menangis di depan Noah atau berandal ini semakin senang.
"Kalau bicara lagi, kupukul kau." ancamku dengan suara gemetar, kelihatan jelas sedang mati-matian menahan tangis, alih-alih terdengar menakutkan, dilihat dari berbagai sisi ancamanku malah seperti gertakan anak kucing, tidak berbahaya.
Kecuali pada Noah, aku memang tak pernah mengertak orang.
"Wah, apa ini," Noah menatapku tak percaya, lalu tertawa singkat, "Ngajak berantem?" Dia maju dan dengan senang hati menawarkan lengannya sendiri.
"Kalau begitu, ayo coba pukul," katanya menantang seraya mengoyangkan lengannya yang terjulur kearahku, "Kenapa diam? Ayo cepat pukul, kenapa? Nyalimu mendadak ciut?" Noah menunjuk luka di lututku yang disebabkan karena jatuh, suaranya mengejek, "Sebelum menantang orang, lebih baik ngaca dan urusi dulu lukamu."
Aku memandangnya marah, sungguh aku membenci situasi ini. Rasa takut itu kini sudah berlalu digantikan amarah, rupanya kejengkelanku pada Noah bisa mengantikan rasa takutku pada hantu dalam sekejab.
"Kau marah?" Noah menilai ekspresiku.
Kuacuhkan kata-katanya, aku sudah kehabisan tenaga meladeni Noah, akan lebih bijaksana kalau aku pergi saja, namun ketika aku berpaling dan melangkah melewatinya, Noah malah menyambar lenganku hingga aku tertahan dan terpaksa berputar menghadapnya lagi.
"Jangan ganggu aku!" teriakku seraya menyentakkan tangan, aku sangat marah, kenapa dia mesti mengangguku? "Please, bisakah kau abaikan aku saja seperti kemarin-kemarin? Aku tidak nyaman bicara denganmu, jadi tolong jangan ganggu aku!"
Bisa kulihat Noah hanya diam menatapku, reaksinya tak terbaca, candanya lenyap, kalau begini ekspresi Noah jadi kelihatan mengintimidasi, entah apa yang dia pikirkan, aku tidak perduli yang terpenting aku sudah menyuarakan sesuatu yang ingin kukatakan.
"Oke," Kuhela napasku, aku perlu mengendalikan diri dulu sebelum mencoba bicara baik-baik padanya, "Begini Noah, aku minta maaf karena pernah membuatmu dikeluarkan dari Santa Nicholas, tapi itu juga bukan mauku, aku juga merasa bersalah, jadi tolong.. jika kau memang punya dendam gara-gara kejadian itu, jangan lampiaskan dendam itu padaku." kataku sungguh-sungguh serius, meminta pengertian, "Menurutku kurang tepat kalau.."
"Pikirmu aku dendam padamu?" potong Noah, alisnya naik, "Kalau kau mau tahu, aku sangat gembira dikeluarkan dari sana." lanjutnya yang membuatku terkejut, ini jauh dari perkiraanku selama ini, "Aku sering memikirkan rencana untuk keluar, semuanya tidak berhasil, tapi berkatmu harapanku akhirnya dikabulkan, jadi.. kenapa harus dendam?"
Kalau dia tidak menjegal dan menakutiku dengan lonceng, aku mungkin akan sungguh-sungguh percaya pada Noah.
Tidak dendam apanya? kata-kata Noah sama sekali tidak cocok dengan perbuatan 'mulianya'
"Kau sengaja menjegalku di toko buku." Aku mengingatkan dia, ada kerut samar diantara mataku saat mendongak menatap Noah yang berdiri menjulang. Aku tidak terlalu pendek, tapi di hadapan Noah, aku merasa jadi kurcaci.
"Aku tahu," sahut Noah, sama sekali tidak berusaha menyanggah, "Itu sapaan."
"Sapaan?" tidak tahu dia serius atau bercanda, tapi pilihan kalimatnya membuatku jengkel, orang waras mana yang menyapa orang lain dengan menjegal? Bagaimana bisa aku bicara pada manusia seperti itu.
Seakan bisa menebak pikiranku, Noah menjawab, "Cara setiap orang menyapa kan beda-beda," mendadak dia meraih bahuku untuk dirangkul dan menyeretku berjalan bersamanya, mataku melotot terkejut, jelas langsung berontak, siapa dia berani memelukku?
"Apalagi untuk teman lama yang sok pura-pura tidak kenal dan menganggapmu orang paling buruk di dunia, tentu harus ada sapaan khususnya kan?" sindir Noah, tak perduli aku coba menghindar, dia makin erat merangkul pundakku.
Begitulah awal mulanya..
Kawani aku gaes bikin book ini maka aku akan rajin up, aku nggak mau sendirian😶
KAMU SEDANG MEMBACA
What Is Love?
Teen FictionMeskipun manis dan punya kepribadian bagus, Alexandra Dawson hanya pernah pacaran satu kali. Tumbuh dalam didikan keluarga yang penuh aturan membuatnya jadi cewek pemilih dalam bergaul, dia tipe cewek rumahan yang lebih nyaman membaca buku, tidur at...