Setelah mandi, aku membuka jendela pondok cabin yang akan kutempati selama beberapa hari ke depan, angin malam yang sejuk berembus masuk, membuat sebagian helai rambutku berterbangan dan menyentuh pipi.
Udaranya cukup dingin meskipun saat ini musim panas.
Aku membuka permen chupacups, memasukkannya ke mulut dan mengemutnya.
Aku menempati pondok nomor 7 dan jendela belakang pondokku menghadap ke barat, menampilkan pemandangan danau yang menakjubkan, sebuah pohon besar yang tak kuketahui namanya tumbuh di tepi danau, ranting-rantingnya yang panjang dan dipenuhi dedaunan menjulur begitu dekat sehingga terkadang saat angin datang, ranting-ranting itu bisa menyentuh sisi jendela pondok ini.
Sayup-sayup suara burung dan derik jangkrik terdengar bersahutan dari luar pondok, lalu di sebuah tempat di sekitar sini paduan suara katak terdengar cukup asing di telingaku, selama tinggal di York aku tidak pernah mendengarkan hal-hal seperti ini.
Suasana yang demikian membuatku merasa seperti berada di Avonlea, tempat fiktif di satu novel yang pernah kubaca waktu kecil. Bagaimanapun paling tidak pemandangan danau ini bisa menebus suasana hatiku yang masam.
"Baiklah, kukira aku akan betah disini," Gumamku sambil menelusuri sekitar, walaupun tak ada penerangan pemandangan di luar tidak tampak begitu gelap karena cahaya bulan bersinar begitu terang— cahayanya yang elok membentuk bayangan yang menyerupai jalan lurus memanjang di permukaan air yang tenang, di tepi danau tumbuh sekumpulan pepohonan yang tampak misterius ketika dilihat saat malam hari dan meskipun tidak terlalu jelas karena pengaruh kabut, tapi di kejauhan aku bisa melihat bukit.
Setiap peserta memiliki dua atau tiga teman sekamar dalam satu pondok, tapi karena Wendy tidak ada, aku menempati pondok ini sendirian, kabar baiknya aku bebas memilih tempat tidur yang kuinginkan dan kabar buruknya aku agak gugup menempati kamar ini seorang diri.
Belum lama ini aku memang mengalami mimpi buruk yang berhubungan dengan danau tapi aku lega karena ternyata hal itu tidak terlalu mempengaruhiku, aku hanya sedikit gugup berada di tempat baru, selebihnya aku cukup menyukai kamar ini.
Akan lebih bagus kalau Wendy ada disini.
Aku menatap satu demi satu pemandangan hingga pada akhirnya tatapanku berubah menerawang, tenggelam dalam lamunan, benakku tergiang kata-kata Noah tadi sore.
"Kau tidak menyukai Cole, kau lebih menyukaiku kan, Alexandra?"
Begitu pulih dari lamunan, aku menjauhkan tangkai permen dari bibirku dan tersenyum masam menatap permen itu, entah bagaimana sebuah ingatan muncul setelahnya, ingatan saat pertama kali aku bertemu dengan Noah beberapa tahun yang lalu. Noah kecil yang memakai topeng hantu dan menangis sendirian di bilik toilet.
Dia bilang mulai menyukaiku hari itu.
Aku lalu mengambil ponsel dan membuka galeri untuk menemukan foto Noah yang kuambil secara candid saat dia berada di rumahku waktu itu.
Tapi apa bedanya jika sekarang aku lebih menyukaimu? Apa itu akan mengubah sesuatu?
KAMU SEDANG MEMBACA
What Is Love?
Novela JuvenilMeskipun manis dan punya kepribadian bagus, Alexandra Dawson hanya pernah pacaran satu kali. Tumbuh dalam didikan keluarga yang penuh aturan membuatnya jadi cewek pemilih dalam bergaul, dia tipe cewek rumahan yang lebih nyaman membaca buku, tidur at...