"Kita udah sampai?" tanya Jihan kepada Bulan.
Bulan menatap Jihan datar. "Ya, belum lah, Han... Ini kita masih harus hiking dulu," jawabnya dengan nada malas.
"Huft... Berarti masih lama?" tanya Jihan sekali lagi, dan tentu membuat Bulan jengah.
"Masih, Han. Mungkin sekitar 2 jam-an? I don't know...," jawab Bulan sambil menggandeng Jihan untuk menanjak ke arah Gunung Putri.
Jihan hanya mangut mangut. Gak mau begitu banyak nanya sekarang, karena demi apa, tubuhnya bener bener lemes. Kayak gak ada tenaga gitu.
"Bentar, kok lo jadi pendie- JIHAN, MATA LO BERDARAH!" Niatnya Bulan mau bertanya sekedar basa basi, malah dikagetkan dengan salah satu mata Jihan yang mengeluarkan banyak darah, bahkan sampai membuat perban yang melapisinya berubah warna.
Jihan yang sadar kalau pendarahan pada matanya belum juga berhenti, langsung menutupi bagian matanya dengan tangan. "Udah, lanjut aja. Gak usah mikirin mata gue."
Bulan menggeleng heboh. "Gimana gue gak mikirin, itu darahnya banyak lho, Han!" Bulan bahkan sampai teriak teriak kayak orang gila.
"Gak papa. Cuma berdarah biasa doang. Entar juga beku sendiri," bantah Jihan, membuat Bulan geram sendiri.
Dengan lembut, Bulan menarik tangan Jihan, lalu mendudukkan jelmaan Tupai itu di salah satu batu yang dapat dijadikan tempat duduk. Diambilnya air mineral, tisu, dan perban baru dari dalam tas ransel miliknya.
Jihan hanya diam dan tak banyak bergerak. Tupai itu hanya memandangi Bulan dengan tatapan bingung nyerempet ke bego. Bahkan, saat Bulan membuka perban di matanya, Jihan tetep seperti itu.
"Tahan. Bakalan rada perih ini," peringat Bulan sambil membasahi tisu dengan air, lalu diusapnya lembut di mata Jihan.
"Shhh... Pelan pelan, woi! Ini mata orang, bukan mata lo sendiri!" omel Jihan, membuat Bulan tersentak kaget.
"Heh, udah diobatin, malah ngomel." Gantian Bulan yang ngomel ke Jihan.
Jihan mengerucutkan bibirnya. "Habisnya lo ngobatin pake tenaga dalem, sih. Sakit, tahu!"
"Ya, maap." Bulan kembali mengobati mata Jihan, dan kemudian diperban dengan perban baru yang masih bersih.
Jihan langsug meraba matanya yang telah diperban, lalu tersenyum manis ke arah Bulan. "Makasih..."
Bulan mengangguk pelan. "Iya, sama sama. Tapi itu belum sepenuhnya selesai. Nanti sampai rumah, baru gue lanjutin ngobatinnya. Ini cuma biar lo gak kekurangan darah."
Jihan hanya mangut mangut saja.
"Ini kita langsung lanjut aja?" tanya Jihan, dan dibalas anggukan kepala oleh Bulan.
Baru aja Jihan mau berjalan mendahului Bulan, remaja dengan Hoodie hijau itu kembali menarik tangannya.
"Ada apa lagi?" tanya Jihan dengan nada malas. Hei, ini kalau gak jalan jalan, kapan nyampenya mereka ini?
Bulan gak menjawab, dia malah berjongkok dan memberi isyarat kepada Jihan untuk naik ke atas punggungnya.
"Hah? Lo mau gendong gue?" tanya Jihan sambil menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung.
Bulan menatap Jihan datar. "Jangan banyak nanya, naik aja langsung!"
"Tapi, kan... Yang sakit mata gue, bukan kaki gue." Jihan beralasan. Gak enak juga dia sama Bulan. Udah diobatin matanya, terus nanti dia juga bakalan numpang di rumahnya, sekarang Bulan mau gendong Jihan?
"Ck." Bulan berdecak pelan, lalu dengan paksa menarik tangan Jihan dan meletakkannya di atas pundaknya. Lalu dengan perlahan bangkit dengan Jihan digendongannya.
Jihan tersenyum samar. Rasa aneh aja gitu, dia dimanjain sama orang asing. Padahal biasanya sama orang terdekatnya, dia malah jarang. Berasa jadi tuan putri aja gitu.
"Kita berangkat, wushhhh!!" Jihan terkekeh pelan saat mendengar seruan riang dari mulut Bulan.
••••
Hari sudah sangat malam, namun Jihan dan juga Bulan juga sampai di rumah Bulan.
"Lan, kalau lo capek, lo turunin aja gue. Gue bisa jalan sendiri kok," ucap Jihan ketika menyadari bahwa langkah kaki Bulan mulai melambat.
Bulan menggeleng. "Gak. Gue gak capek kok," bantahnya.
"Kan, gue bilangnya kalau lo capek, bukan nanya lo capek apa enggak."
Inilah yang terjadi jika manusia ngeselin modelan Jihan bertemu dengan manusia ngeselin lainnya kayak Bulan. Auto adu mulut mulu setiap ketemu.
Bulan mau ngumpat tapi gak jadi. Dia gak mau Jihan yang berotak polos ini jadi mengerti kalimat umpatan. Jadilah, dia istighfar setiap saat. Lumayan, nambah pahala.
"Masih jauh, Lan?" Jihan kembali bertanya, membuat Bulan yang istighfar jadi berhenti sejenak.
"Gak terlalu jauh, sih. Tinggal beberapa jam lagi. Emangnya kenapa?" jawabnya.
"Gue gak enak aja gitu sama lo. Masa gue baru ketemu sama lo, tiba tiba langsung minta gendong, mana tempat tujuan kita masih jauh lagi." Jihan berucap dengan wajah ia sembunyikan dibalik punggung tegap Bulan.
Bulan mengulum senyum. Berusaha sebisa mungkin untuk tetap datar seperti biasanya. "Kagak apa, elah. Gue udah sering gendongin orang kayak gini."
Jihan menyembulkan kepalanya dari balik punggung tegap Bulan. "Lo udah sering? Pantes aja lo gak keberatan gendong gue."
Bulan mengangguk dengan semangat. "Gue dulu sering gendong adik gue. Felix namanya. Dia anak cacat, gak bisa jalan, makanya kalau ada apa apa selalu gue anterin dengan cara digendong," jelas Bulan, secara tidak sadar menceritakan tentang adik kecilnya yang mungkin seumuran dengan Jihan.
"Terus sekarang?" Jihan jadi penasaran sama adiknya Bulan. Apa mirip kayak Bulan gitu, atau enggak?
"Dia hilang. Gak tahu kemana. Mungkin udah sekitar 3 bulanan ini gak ada yang tahu dia kemana," jawab Bulan dengan nada lirih menyendu. Jihan jadi merasa gak enak karena udah nanya yang enggak enggak.
"Maaf-"
"Gak apa apa," potong Bulan dengan cepat. "Jangan minta maaf, lo gak salah."
Jihan tersenyum tipis mendengarnya, namun senyuman itu memudar saat mendengar kalimat selanjutnya yang terlontar dari mulut Bulan.
"Lagipula, ngapain lo minta maaf, belum lebaran ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream [Minsung]✔
FanfictionGerhana Jihandra Rafandra hanyalah seorang remaja yang lelah dengan hidupnya sendiri. Hidupnya itu kayak gak tenang aja gitu, setiap hari ada aja masalah yang datang silih berganti, seperti tak membiarkannya untuk tenang barang sesaat pun. Jihan le...