"Jihan!! Abang kembali~"
Jihan langsung menoleh ke arah Sean yang baru pulang dari kampusnya. Yang lebih muda hanya menjawab seruan riang Sean dengan senyuman.
Sean langsung mendekat ke arah Jihan, dan memperhatikan apa yang sedang adiknya lakukan.
"Lo lagi ngapain?" tanya Sean sambil menarik kursi, agar bisa lebih dekat dengan bangsal Jihan.
Jihan menoleh, dan menunjukkan buku sketsa di tangannya, masih dengan senyuman lebar terluas di bibirnya.
Sean yang penasaran, langsung mengambil alih buku tersebut, dan dibolak balikkan berkali kali. Untung aja gak ada gambar yang rusak akibat ulahnya.
Tangannya berhenti membolak balikkan halaman saat melihat sebuah gambar wajah seseorang yang sangat familier baginya.
"Ini siapa, dek?" tanya Sean sambil menunjuk ke arah halaman berlatar belakang hutan dengan dua laki laki berdiri dengan senyuman lebar di sana sana.
Jihan menoleh, dan ikut memperhatikan gambar yang dimaksud oleh Sean. Gambar Bulan dan juga Felix.
"Itu teman teman Jihan di alam mimpi," jawab Jihan dengan menggunakan bahasa isyarat.
Sean memperhatikan isyarat yang diberikan Jihan padanya dengan seksama. Lalu mengangguk paham.
"Siapa nama mereka?" tanya Sean lagi sambil membalikkan halaman tersebut, dan menemukan gambar lain dengan sosok yang sama, sosok Bulan.
"Bulan dan Felix. Mereka Kakak beradik." Jihan kembali menjawab dengan isyarat, namun kini tangannya bergerak lebih lambat, seiring dengan raut wajahnya yang berubah sedikit demi sedikit menjadi murung.
"Kok kayak kenal ya? Wajahnya familier gitu. Tapi dimana dan siapa orangnya?" gumam Sean, dan tidak dapat didengar oleh Jihan.
Menyadari gelagat sang adik yang sedikit aneh, Sean lantas meletakkan buku tersebut di atas nakas, lalu mengangkat dagu Jihan agar sang adik mau menatapnya.
"Lo kenapa?!" tanya Sean kaget saat melihat adik bungsunya menangis dalam diam.
Jihan segera mengusap air matanya dengan kasar, dan menggumamkan kata, "Gak apa apa. Cuma pengin nangis aja."
Sean gak percaya akan hal itu. Jihan bukan tipe orang yang cengeng, yang menangis tanpa sebab. Pasti ada sesuatu di balik semua ini.
"Gak mau cerita sama Abang?" tanya Sean sambil mengusap pelan air mata yang masih terus mengalir di pipi gembil tersebut.
Jihan hanya diam tak menjawab. Dia hanya menunduk sambil memainkan jari jarinya.
"Cerita aja, Han... Abang bakalan selalu dengerin cerita lo," bujuk Sean lagi.
"Tapi gimana caranya Jihan cerita? Jihan, kan gak bisa ngomong. Masa mau cerita pake bahasa isyarat?"
Nah, ini dia yang menjadi permasalahan utama. Jihan masih belum bisa ngomong, dan hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Terus gimana dia cerita ke Sean?
Sean menggaruk kepalanya yang gak gatal. Bingung juga, sama kayak Jihan.
Sean menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari objek objek yang dapat digunakan untuk digunakan menulis ceritanya.
Sebuah buku tulis kecil di atas sofa mengalihkan atensinya. Sepertinya Jihan bisa menggunakan notebook berukuran kecil tersebut.
"Ditulis aja, Han. Lo bisa nulis, kan? Tangannya udah gak sakit?" Sean menyerahkan notebook berwarna putih tersebut ke Jihan.
Jihan mengangguk, lalu mengambil notebook yang diberikan oleh Sean.
Cukup lama Jihan menulis di notebook tersebut. Berulang kali dia mencoret, karena salah tulis. Maklum, tangannya masih rada kaku buat nulis, jadi salah salah mulu.
Gak lama kemudian, yang lebih muda sudah selesai menulis dan menyerahkan notebook tersebut kepada Sean.
"Udah, Bang."
Sean membacanya dengan seksama, seolah tak ingin melewatkan satu katapun yang terpampang jelas di sana.
Jihan kangen sama Bulan sama Felix, bang... Mereka yang selalu nemenin Jihan di sana. Di alam mimpi.
Dulunya Jihan gak percaya kalau mereka itu cuma khayalannya Jihan. Tapi ternyata emang bener.
Jihan sedih, gak bisa ketemu mereka lagi. Gak bisa main sama kucing kucingnya Bulan lagi. Gak bisa dipeluk sama Ibunya Bulan...
Sean tersenyum, lalu mengangguk. Dia paham banget sama apa yang dirasakan Jihan sekarang ini.
Kayak, Jihan tuh udah dikasih harapan sama tiga orang itu, lalu tiba tiba harapannya dipatahkan. Jihan pasti kecewa. Walaupun sebenarnya itu bukan kehendak Bulan, Felix, maupun Ibu Bulan.
"Jihan kangen sama Bulan? Kangen Felix?" tanya Sean sambil menatap sang adik yang terlihat mengangguk pelan.
Sean tersenyum sekali lagi, lalu mengelus kepala Jihan dengan lembut. "Abang yakin, kalau Bulan yang dimaksud sama lo tuh ada di sini. Di dunia ini. Bahkan, lo sering lihat orangnya kok."
Jihan mendongak dengan mata berbinar. "Bulan yang asli tahu Jihan?" tanyanya dengan binar antusias yang terpancar jelas di kedua mata berbeda warna itu.
"Tahu. Bahkan tahu banget," jawab Sean lagi.
Wajah Jihan kembali murung, membuat Sean berpikir kalau dirinya salah ngomong.
"Abang gak bohong, kan? Abang bilang kalau Bulan yang asli ada di dunia ini, bukan sebatas menghibur Jihan, kan?" tanya Jihan dengan gestur tangan yang sedikit melambat, supaya Sean bisa menerjemahkan bahasa isyaratnya dengan jelas.
Yang lebih tua menggeleng dengan cepat. Gak mau adiknya itu salah paham.
"Gak kok. Abang gak bohong. Ini beneran. Abang aja tahu orangnya," bantah Sean.
Jihan hanya diam mendengar penjelasan Sean. Dia antara percaya atau enggak percaya. Si tupai itu tentu gak mau berharap banyak, karena bisa aja Sean berbohong.
Jihan belum bisa percaya lagi pada orang lain, sekalipun orang itu adalah kakak kandungnya sendiri.
(A/N):
Wah, performance kemaren gila banget sih. Itu bapak lider bikin jantungan aja.Btw, terima kasih banyak untuk para Stay yang bekerja keras bantuin SKZ di Kingdom. Alhamdulillah... SKZ menang juara satu. Bener bener gak nyangka aku..
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream [Minsung]✔
FanfictionGerhana Jihandra Rafandra hanyalah seorang remaja yang lelah dengan hidupnya sendiri. Hidupnya itu kayak gak tenang aja gitu, setiap hari ada aja masalah yang datang silih berganti, seperti tak membiarkannya untuk tenang barang sesaat pun. Jihan le...