"Ma, Mama gak makan? Ini udah sore lho...." Sean menyodorkan sterofoam berisi nasi goreng yang baru ia beli di kantin rumah sakit.
Ayesha--sosok yang dimaksud Sean--menggeleng pelan. "Mama gak laper," tolaknya, lalu kembali memperhatikan sosok mungil yang masih terbaring lemah sampai sekarang ini. Siapa lagi kalau bukan Jihan?
Sean menghela napas pelan. "Sean tahu Mama khawatir sama keadaan Jihan. Tapi jangan sampai lupa makan. Nanti kalau Mama sakit, Jihan bakalan sedih," nasihatnya, namun tak membuat sang Mama menurut.
Cklek...
Sean menoleh ke arah pintu ruang inap Jihan yang terbuka. Mendapati sang Papa baru pulang dari kantor, masih dengan kemeja putih dan jas hitam melekat di tubuh.
"Jihan belum bangun juga? Apa kata dokter?" tanya Brian sambil mendekat ke bangsal yang ditempati oleh anak bungsunya itu.
Sean menunduk. "Dokter bilang, kalau sampai nanti malam Jihan gak bangun juga.... Kita harus mempersiapkan kemungkinan terburuk," jawabnya dengan nada lirih.
Brian menghela napas pelan, lalu mengusak surai cokelat Jihan yang mulai memanjang karena gak dipotong.
"Kapan kamu bangun, nak? Apa gak capek tidur lebih dari 1 tahun lamanya? Apa kamu gak kangen sama kita, hm?" Brian bertanya dengan suara sangat lembut.
Tak ada jawaban dari Jihan. Mata tersebut masih terpejam erat. Mulutnya pun terkunci rapat.
Brian menghela napas pelan. Sean pun sama.
"Papa mending mandi dulu aja. Biar Sean yang jagain Jihan," ucap Sean, dan diangguki oleh Brian.
Brian menoleh ke arah Ayesha yang masih berada di tempatnya. Masih dengan tatapan terfokus pada objek yang sama.
"Sha, makan dulu gih. Kasihan Sean udah beliin kamu makanan." Ayesha menggeleng sebagai jawabannya. Matanya masih lekat, menatap Jihan. Tangannya pun menggenggam erat tangan si anak bungsu.
"Sha, aku tahu kamu takut kehilangan Jihan, apalagi setelah mendengar penjelasan dari dokter. Tapi kamu gak boleh kayak gini." Brian masih berusaha untuk membujuk Ayesha.
Pada akhirnya, Ayesha menurut dan memakan nasi goreng di sofa ruang inap.
Sean kini duduk tepat di samping bangsal yang Jihan tempati. Sesekali mengelus rambut Jihan, ataupun menggenggam erat tangan Jihan, seolah menyakinkan sang adik bahwa banyak orang sedang menunggunya kembali.
Sean gak sengaja menangkap kelopak mata Jihan yang mulai bergerak pelan.
"Ma, Ma, Ma!! Jihan sadar!!" serunya heboh, membuat Ayesha hampir tersedak karena kaget.
Ayesha langsung beringsut mendekat ke arah Jihan, sedangkan Sean langsung menekan tombol merah di belakang bangsal Jihan.
"Jihan... Kamu denger Mama, nak? Bangun, sayang..," pinta Ayesha dengan suara lembut yang sepertinya gak pernah Jihan dengar sebelumnya.
••••
Mata Jihan mulai terbuka pelan. Namun, pandangannya belum bisa fokus. Masih burem akibat terlalu banyak cahaya yang masuk ke retina matanya.
Suara lembut seorang wanita menyapa rungunya. Jihan gak yakin apakah itu Ayesha, Mamanya atau bukan. Tapi Jihan berharap bahwa itu memang sang Mama.
Seiring waktu berjalan, pandangannya mulai menjelas, dan Jihan sadar kalau sosok di hadapannya adalah Mamanya. Berdiri di hadapannya dengan wajah pucat dilengkapi tatapan cemas. Raut wajah yang selama ini Jihan dambakan.
"Jihan sudah sadar?" Suara lain yang sedikit familier menyapa rungu Jihan. Walaupun familier, Jihan yakin bahwa suara barusan bukanlah suara dari salah seorang di keluarganya.
"Udah. Sekitar 5 menit yang lalu." Jihan yakin bahwa suara barusan adalah sang Kakak, Sean.
"Biar saya periksa dulu. Bisa tolong geser sedikit."
Sean bergeser sedikit, memberi celah pada sang dokter untuk memeriksa sang adik.
Jihan menatap dokter tersebut dengan lekat. Entahlah, hatinya berkata bahwa dokter ini adalah sosok yang istimewa. Dan Jihan gak tahu arti dari istimewa itu apa.
Dokter Dian tersenyum ke arah Jihan sambil melepas beberapa alat medis di tubuh Jihan, lalu memeriksa si pasien itu.
Jihan hanya diam sambil terus menatap lekat manik kembar sang dokter yang terhalang dengan kacamata bulat.
Dan dokter Dian pun gak keberatan ditatap oleh Jihan sampai selekat itu.
"Jihan, bisa keluarkan suaramu?" tanya dokter Dian lembut, membuat Jihan tersadar dari lamunannya, lalu mengangguk ragu.
Mulut mungil tersebut terlihat terbuka sedikit. Namun bukan suara Jihan yang mereka dengar, melainkan hanya keheningan.
Menyadari raut wajah Jihan yang berubah, sosok yang lebih tua tersebut lantas bertanya kembali. "Tenggorokanmu masih sakit?"
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan kepala dari Jihan.
"Bisa tolong buka mulutmu lebih lebar? Saya ingin mengecek terlebih dahulu." Jihan langsung menurut, dan membuka mulutnya lebih lebar.
Dokter tersebut memperhatikan dengan bantuan senter kecil di tangannya.
"Sepertinya ada sedikit masalah di pita suaranya. Mungkin karena efek terlalu lama tak digunakan," jelas dokter itu sambil mematikan senter kecil di tangannya. "Pita suaranya terlalu lemah untuk digunakan."
"Lalu, apa ada cara untuk mengembalikan pita suaranya seperti dulu lagi? Berapapun biayanya, saya tak masalah, asalkan Jihan bisa kembali berbicara seperti sediakala," tanya Brian kepada dokter muda itu.
"Satu satunya cara untuk sekarang ini adalah meminum obat dan juga terapi. Walaupun tidak menyembuhkan sepenuhnya, setidaknya itu bisa mempercepat masa pemulihannya," jawab Dokter Dian, membuat Brian mengangguk.
"Berapa biayanya? Biar saya bayar sekarang juga."
Dan diluar dugaan, Dokter Dian menggeleng sebagai jawabannya. "Tidak perlu dibayar, saya yang akan menanggung biayanya."
Brian sontak menatap dokter di hadapannya dengan tatapan tak percaya. "Dokter yakin? Kalau harus membayar semahal apapun, saya gak masalah, dok. Ini juga demi anak saya."
Dokter tersebut tersenyum dan menggeleng kembali. "Tidak perlu."
Sean menatap teman SMAnya dengan tatapan bertanya. Namun sedetik kemudian, dia tampak mengulum senyum yang akan terbit di bibirnya. Sepertinya Sean tahu alasan dibalik semua ini.
(A/N):
Ada yang bisa nebak, siapa Dokter Dian itu? Kalau kalian teliti, pasti kalian bisa nebak.Btw, Dokter Dian ini pernah muncul di salah satu chapter. Chapter awal awal kalau gak salah. Mungkin beberapa dari kalian masih inget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream [Minsung]✔
FanfictionGerhana Jihandra Rafandra hanyalah seorang remaja yang lelah dengan hidupnya sendiri. Hidupnya itu kayak gak tenang aja gitu, setiap hari ada aja masalah yang datang silih berganti, seperti tak membiarkannya untuk tenang barang sesaat pun. Jihan le...