Chapter 29 - Refreshing

311 41 0
                                    

Bosen.

Satu kata yang cocok menceritakan bagaimana kabar Jihan hari ini.

Ya, gimana gak bosen, coba? Jihan gak dibolehin keluar ruang inap--pengecualian kalau harus terapi bicara atau terapi jalan--sama orang tuanya dan juga Sean. Padahal, dokter Dian mah boleh bolehin aja.

Dengan muka murung, bibir sedikit dimajukan, Jihan menggeleng menolak sarapan paginya.

Brian--yang kebetulan lagi libur, karena hari ini hari minggu--hanya bisa menghela napas pelan.

"Kenapa gak mau makan? Nanti kalau kondisi kamu ngedrop gimana?" tanya Brian sambil beralih duduk di pinggir bangsal Jihan.

Sang anak tetep diem. Mogok bicara. Eh, bentar, emang dia gak bisa bicara, kan?

"Papa salah apa? Kok Jihan jadi murung gini?" tanya Brian lagi, sambil menggenggam kedua tangan Jihan, lalu digerak gerakin asal.

Jihan menggeleng pelan. Tapi masih dengan raut wajah yang sama. Murung tapi jatuhnya malah gemesin.

"Kalau Papa ada salah, bilang dong. Papa, kan juga manusia, kadang gak ngerti letak kesalahannya dimana, jadi kamu harus terus terang kalau ada apa apa. Oke?"

Jihan hanya mengangguk dengan malasnya. Plis, dia lagi ngambek, kenapa harus diajak ngomong sih?

Tapi berhubung Jihan lagi laper, jadilah tuh anak milih buat nyerah dan ngeakhirin acara ngambeknya. Ngebuat sang Papa langsung girang bukan main karena sang anak udah mau makan lagi.

"Eits... Papa suapin. Kamu diem aja." Brian menjauhkan mangkok berisi bubur hambar tersebut dari jangkauan tangan Jihan.

Jihan cemberut, lalu mau gak mau ngangguk. Ya, daripada nanti dia gak makan, mending nurut aja lah.

Satu, dua, hingga suapan terakhir berjalan dengan lancar. Gak ada masalah--kecuali masalah Jihan yang keselek karena Brian nyuapinnya gak sabaran.

Walaupun masih menjadi pertanyaan besar dibenak Brian, mengapa anaknya jadi cemberut berkepanjangan?

Dan satu hal langsung terpintas di benaknya. Pasti ini yang menjadi penyebab kenapa Jihan murung terus belakangan ini, terutama hari ini.

"Jihan mau jalan ke taman rumah sakit?" tanya Brian, dan langsung mengundang tatapan berbinar dari Jihan.

Hamdalah, ternyata Brian orangnya pekaan.

Si anak langsung mengangguk angguk dengan semangatnya. Persis kayak pajangan yang biasanya ada dimobil mobil.

"Tapi Papa izin dulu ke dokter ya.. Takutnya gak boleh," lanjut Brian, dan langsung diangguki oleh Jihan.

Cklek...

Bertepatan dengan itu, pintu ruang inap Jihan terbuka pelan. Menampilkan sosok dengan jas putih melekat di tubuhnya. Siapa lagi kalau bukan dokter Dian?

Gak ada alasan khusus mengapa dokter Dian sering mampir ke sini. Palingan kalau ditanya, pemuda itu pasti menjawab dengan santainya, "Cuma mau meriksa Jihan doang kok", " Iseng aja. Gak ada kerjaan soalnya.", atau "Mau ngobrol sama Sean."

Padahal ada maksud terselubung dibalik itu.

"Eh, Dokter Dian. Selamat pagi, dok," sapa Brian sambil tersenyum sumringah pada dokter yang berhasil menyelamatkan nyawa Jihan pada saat itu.

Tentu, Brian merasa berhutang budi pada sosok dokter muda tersebut.

"Selamat pagi juga, Tuan Han," sapa Dokter Dian, membalas sapaan Brian.

Lucid Dream [Minsung]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang