Jihan menatap dua sosok yang kini juga sedang menatapnya dengan mata berlinangan air mata. Entah benar mereka menangis, atau hanya sebatas akting belaka.
Si tupai itu berdecak kesal kalau melihat ekspresi yang menyiratkan kesedihan yang mendalam dari keduanya. Entahlah, dia jadi merasa kesel aja gitu.
"Kenapa kalian nangis?" tanya Jihan pada akhirnya, walaupun wajahnya masih mempertahankan wajah datarnya.
Sean dan Brian gak menjawab sama sekali. Mereka tampak menundukkan kepala masing masing sambil menahan isak tangis.
"Hei, jawab gue!" Intonasi suara Jihan mulai menaik, bahkan hampir membentak.
Namun, sekeras apapun suara Jihan, mereka juga tak menjawab. Bukan jawaban yang Jihan dapatkan, melainkan isak tangis yang makin mengeras.
Raut wajah Jihan mulai melunak, walaupun masih dingin seperti sebelumnya.
"Kalian kenapa, hah? Dateng dateng malah nangis," tanya Jihan sekali lagi dengan wajah dongkolnya.
"Jihan...." Bertepatan dengan suara lembut Sean yang menyapa rungu, Jihan kemudian tersentak.
Matanya terbuka lebar. Ternyata, dia hanya bermimpi.
"Jihan, Jihan... Ngapain juga lo berharap dikangenin sama orang orang kayak mereka?" gumam Jihan, lalu tertawa remeh. Meremehkan dirinya sendiri yang bisa bisanya berharap segitu tingginya untuk dirindukan oleh dua sosok tersebut.
Tupai mungil itu tampak menoleh ke kanan dan ke kiri, mendapati dirinya masih berada di kamarnya yang ia tempati kemarin.
"Bulan kemana?" Pertanyaan itu muncul ketika dirinya tak mendapati Bulan di sampingnya.
Dengan bergegas, Jihan mencari Bulan di halaman belakang rumah, tempat favorit Bulan ketika sedang bosen.
Dan benar saja, Bulan sedang berdiri dengan tangan membawa sebuah mangkok berisi makanan kucing, mirip whiskas gitu sih.
"Lan?" Bulan menoleh ketika mendengar Jihan memanggilnya.
"Lah, udah bangun? Kirain mau tidur terus?" sindir Bulan, membuat Jihan hanya bisa cengar cengir. "Puas tidurnya, hm?"
"He'em." Jihan berdeham pelan sebagai jawabannya. "Lagi ngapain?" tanyanya sambil berjalan mendekati Bulan.
Bulan tersenyum tipis. "Biasa. Ngasih nih kucing kucing biadap makanan."
Plak!!
Bulan meringis pelan kala sebuah tangan kurus menampol kepalanya. Sudah dapat dipastikan bahwa pelakunya tidak lain adalah Jihan.
"Kenapa gue dipukul?" tanya Bulan sambil mengelus kepalanya dengan brutal.
"Lo ngomong gak difilter dulu. Kasihan tuh kucing kucing manis, gak kasihan sama kokoro mereka?" omel Jihan, membuat Bulan mendengus.
"Lo sih gak tahu. Kucing kucing mah gak ada manis manisnya. Galak bener, gue aja sering dikacangin, kalau gue gangguin, mereka langsung nyakar. Heran, udah dikasih makan, malah ngelunjak. Itu kucing gak punya akhlak apa begimana?" Bulan malah ngomel ngomel gak jelas, membuat Jihan gantian mendengus kesal.
"Kalau kucing punya akhlak, entar lonya yang kena spot jantung," celetuk Jihan, membuat Bulan terdiam mengiyakan.
Kini, Jihan tak lagi banyak bicara. Dia hanya diam sambil mengelus kucing kucing Bulan bergantian. Mulai dari yang berwarna oren kecoklatan sampai yang berwarna abu abu, semuanya dia elus tak terkecuali.
Bulan juga sama sama diemnya dengan Jihan. Ya, alasannya karena dia lagi motongin kuku Soonie. Kalau dia ngobrol sama Jihan, yang ada malah kumisnya Soonie yang dia potong.
"Kenapa diem aja?" Bulan yang udah selesai melakukan kewajibannya, kini bertanya kepada Jihan yang masih asik bermain dengan Dori--kucing mungil berwarna abu abu milik Bulan.
Jihan mendongak dikarenakan posisi Bulan yang sedang berdiri, sedangkan dirinya sedang berjongkok.
"Enggak. Emangnya kenapa?" jawab Jihan sambil melengos pelan.
"Ya... Gak kenapa napa sih. Cuma aneh aja gitu, ngelihat lo yang biasanya berisik kayak ruang karaokean jadi diem kayak patung gini."
Entah kenapa, ucapan Bulan tadi membuat Jihan sedikit emosi. "Heleh... Lo juga sama kali, Lan. Berisik juga."
Bulan terkekeh pelan. Dia senang karena bisa membuat Jihan yang kalem jadi rada berisik kayak sekarang ini.
"Btw, lagi ada masalah? Sorot mata lo keliatan beda," tanya Bulan lagi sambil ikutan berjongkok di sebelah Jihan.
Jihan menoleh dengan kening berkerut. "Beda gimana?"
Bulan menggeleng pelan. "Beda aja gitu. Gue gak ngerti bedanya di mana, tapi sekarang lo keliatan gak semangat."
Jihan mengangguk, lalu membuang mukanya pelan. "Emang keliatan ya?"
"Hm?" Bulan menoleh, berusaha menatap mata Jihan.
"Emangnya keliatan ya kalau gue rada beda hari ini?" tanya Jihan, mengulangi pertanyaannya sambil memperjelasnya.
Bulan mengangguk samar. "Iya, keliatan."
"Lo percaya gak, kalau gue ketemu sama Kakak dan Papa gue, terus gue ngelihat mereka nangisin gue tanpa alasan yang jelas?" tanya Jihan tiba tiba, dan langsung dibalas oleh Bulan.
"Terus kalau mereka nangisin lo, kenapa? Emangnya gak boleh?" Bulan bertanya, dan dibalas gelengan kepala Jihan.
"Aneh. Mereka gak pernah nangisin gue sebelum ini. Kakak gue emang sempet nangisin gue karena gak sengaja mukul gue waktu itu, tapi kali ini tangisannya beda. Kayak lebih sedih daripada biasanya," jelas Jihan.
"Wajar kalau mereka nangis," gumam Bulan, dan tak bisa didengar dengan jelas oleh Jihan.
"Hah? Apaan?" Jihan menoleh dengan wajah bertanya.
Bulan jadi gelagapan sendiri. "Bukan apa apa," bantahnya, lalu melengos pelan saat melihat raut wajah tak percaya dari Jihan.
"Ada apaan sih?" Jihan jadi penasaran sendiri.
"Gak ada apa apa, Han!"
Jihan menggeleng pelan, lalu bangkit dari jongkoknya. "Btw, besok kita cari Felix yuk? Gue gak sabar mau ketemu dia secara langsung."
"Besok?" tanya Bulan dengan mata berbinar.
Jihan mengangguk mantap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream [Minsung]✔
Fiksi PenggemarGerhana Jihandra Rafandra hanyalah seorang remaja yang lelah dengan hidupnya sendiri. Hidupnya itu kayak gak tenang aja gitu, setiap hari ada aja masalah yang datang silih berganti, seperti tak membiarkannya untuk tenang barang sesaat pun. Jihan le...