Bulan, Felix, dan Sirius gak bisa berbuat banyak. Apalagi saat ngelihat keadaan Jihan yang semakin memburuk, mereka tetep gak bisa berbuat apa apa.
"Kamu udah ngasih tahu Jihan tentang itu?" tanya Sirius kepada Bulan yang lagi nyeduh teh.
"Niatnya sih kemarin, Bu. Tapi Jihannya gak bisa diajak ngobrol. Dia diem terus, bahkan seolah nganggep Bulan gak ada...," jelas Bulan dengan nada sendu.
Bulan jujur aja, rada sedih. Seharusnya hari hari terakhir Jihan di sini, malah justru dihabiskan dengan berdiam diri. Padahal Bulan udah buat jadwal untuk mengajak Jihan jalan jalan ke spot tertentu di desa.
Tapi sekali lagi, semua tertunda. Jangankan mengajak Jihan jalan jalan, untuk berkomunikasi aja sulit.
"Kamu harus cepetan ngasih tahu dia, Lan. Atau gak bakalan ada lagi Jihan di dunia ini. Inget, Lan, nyawa Jihan yang jadi taruhannya. Ibu gak kepengen orang orang terdekatnya tersakiti karena kita telat ngasih tahu dia," peringat Sirius, dan diangguki pelan oleh Bulan.
"Bulan usahakan ya, Bu. Tolong bantu doa biar Jihan mau ngomong lagi sama Bulan." Bulan berucap dan langsung diangguki oleh Sirius.
Bulan kembali berjalan menuju kamar Jihan dengan nampan berisi makanan dan juga teh seduh.
Diketuknya pelan pintu kayu tersebut. Menimbulkan bunyi yang terdengar cukup keras.
Tok... Tok... Tok...
"Han, gue boleh masuk?"
Kalau biasanya Jihan gak akan menjawab sepatah katapun, maka kali ini berbeda. Jihan menjawab.
"Masuk, Lan...." Jawaban yang terdengar samar samar dari dalam kamar itu membuat Bulan mengembangkan senyumannya.
Jihan udah mau berkomunikasi lagi dengan dia.
Cklek..
Pintu dibuka pelan, menampilkan sosok Jihan yang muka bantal dan rambut acak acakan sedang duduk di pinggiran kasur.
"Makan dulu, Han. Lo kemarin sore belum makan soalnya," titah Bulan sambil menyodorkan sesendok nasi goreng.
Jihan menoleh dan mengangguk, lalu memakan nasi goreng tersebut.
"Lan, gue mau nanya..." Suara Jihan yang menyapa rungu Bulan, sontak membuat gerakan yang lebih tua terhenti.
Bulan menatap Jihan dengan tatapan bertanya. "Kenapa? Mau nanya apa?"
Jihan memutar posisi duduknya. Kini, si tupai itu menghadap ke arah Bulan.
"Kalau gue gak kembali ke dunia gue, gue bakalan pergi selamanya?"
Bulan tersentak karena pertanyaan Jihan. Gak nyangka kalau si tupai mungil itu akan bertanya tentang sesuatu yang bahkan belum sempat dia kasih tahu.
"Darimana lo tahu?" Bukannya menjawab, Bulan malah melontarkan pertanyaan, membuat Jihan menatapnya kesal.
"Cukup jawab enggak atau iya aja susah bener," gerutu Jihan sambil mengambil alih piring berisi nasi goreng tersebut dari tangan Bulan, lalu memakannya.
"Um.... Sebenarnya, iya, Han..." Bulan menjawab dengan suara yang terlampau kecil. Untung aja Jihan masih denger.
Jihan kembali menatap Bulan. "Gue juga bakalan pergi selamanya dari dunia ilusi ini?" tanya Jihan lagi, dan hanya bisa dijawab dengan anggukan kepala oleh Bulan.
"Dan kalau gue balik ke dunia gue yang sebenarnya, kita gak bakalan bisa bertemu lagi?"
Kali ini Bulan gak menjawab. Gak ada gelengan kepala, maupun anggukan. Hanya diam, seolah enggan untuk menjawab.
Jihan menghela napas pelan. Sedikit kecewa karena pertanyaan terakhir--yang merupakan pertanyaan yang paling ia tunggu tunggu jawabannya--malah berakhir tak terjawab.
"Ya udah kalau lo gak mau jawab." Pada akhirnya, Jihan gak bisa memaksa Bulan untuk menjawab pertanyaannya itu.
Bulan tetap diam. Dia lebih memilih memperhatikan Jihan yang sedang makan, daripada bercerita panjang lebar.
"Lo tahu gimana caranya gue bisa balik lagi ke dunia gue yang asli?" Jihan bertanya, masih dengan mulut penuh dengan nasi goreng.
Bulan mengerjapkan matanya sesaat. Dia gak salah denger, kan? Jihan beneran mau balik ke dunia aslinya?
"L-lo serius mau balik ke dunia lo?" Bulan malah berbalik tanya.
Jihan mengangguk samar. "Bagaimanapun, tempat gue bukan di sini. Gue harus balik ke dunia gue."
Bulan mengangguk paham.
"Gue harap... Gue bisa ketemu lo lagi di dunia yang sebenarnya. Gue gak yakin sih, kalau lo itu beneran ada atau cuma ilusi semata," ucap Jihan sambil memperhatikan Bulan dengan lamat.
Mungkin akan sedikit susah untuk berpisah dengan sosok yang sudah ia anggap lebih dari saudara itu. Tapi mau bagaimana lagi? Jihan harus melakukannya.
"Gue juga gak yakin apakah diri gue ada di dunia asli lo atau nggak. Tapi kalau gue ada, gue yakin, diri gue yang asli bakalan tahu lo. Dan lo, pasti tahu dia juga," sahut Bulan.
"Gue harap gitu."
Bulan lalu menggenggam erat tangan Jihan. "Biarin gue megang tangan lo. Waktu lo di dunia ini tinggal sebentar lagi, dan gue gak pengin ngelupain kehangatan di tangan lo."
"Hm. Kalau gitu, pegang terus tangan gue sampe saat dimana gue bakalan pergi tiba."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream [Minsung]✔
FanfictionGerhana Jihandra Rafandra hanyalah seorang remaja yang lelah dengan hidupnya sendiri. Hidupnya itu kayak gak tenang aja gitu, setiap hari ada aja masalah yang datang silih berganti, seperti tak membiarkannya untuk tenang barang sesaat pun. Jihan le...