Hari sudah sangat gelap, matahari pun telah bersembunyi dibalik rumahnya. Bagi sebagian siswa, berada di dalam rumah adalah opsi terbaik, tapi lain ceritanya bagi Jihan.
Berada di dalam rumah ketika malam sudah menghampiri langit sama saja berada dalam neraka jahanam. Sekiranya seperti itu ibaratnya.
Keluarga Rafandra kini sedang berkumpul mengelilingi meja makan. Tidak semuanya sih, hanya Jihan, Mama, dan Sean, alias kakak dari Jihan. Papa lagi sibuk sama kerjaannya, jadi kemungkinan bakalan pulang malam.
Jihan mengambil nasi tiga sendok dan juga secuil sosis ayam yang digoreng lalu diberi mayonaise di atasnya.
Mama tersenyum saat melihat kejadian tersebut. Ya, setidaknya, berat badan Jihan tidak akan bertambah karena makanan.
"Jihan gak mau nambah?" tanya Sean, lebih tepatnya meledek. Sean juga tahu kalau Jihan sebenarnya ingin makan banyak, tapi gak diperbolehin oleh Mama.
Jihan mendongak, lalu menggeleng pelan.
Mama mengelus surai coklat Jihan sambil tersenyum manis. "Mama bangga sama kamu, nak. Lanjutkan, semoga saja dengan begini, pihak entertainment mau memilihmu sebagai bintang iklan."
Ya, satu hal yang belum dijelaskan di prolog, Mama sangat terobsesi dengan kehidupan mewah nan glamor khas selebriti di luaran sana. Bahkan, sang anak pun mau tidak mau harus mengikuti keinginannya, menjadi orang terkenal yang banyak uangnya.
Untung saja, Sean pandai mengelak, jadilah dia gak berkecimpung dalam bidang entertainment. Beda lagi dengan Jihan, anak itu gak bisa mengelak sedikit pun, kalaupun bisa, ujung ujungnya dia kena pukul sama panci.
"Btw, besok kamu jadi audisi?" Nah, ini dia pertanyaan yang paling dihindari sama Jihan.
Jihan mengangguk ragu. Dia sebenarnya gak mau, tapi kalau gak mau, entar ada panci melayang ke arah kepalanya. Bisa bahaya entar.
"Bagus, lah kalau begitu. Setidaknya dengan begitu, kamu gak jadi beban keluarga." Mama berucap dengan santainya, tak menghiraukan Jihan yang membeku ditempat.
Menyakitkan? Memang. Ucapan Mama kadang gak difilter dulu, membuat siapa saja yang mendengar pasti akan tersinggung, tak terkecuali Jihan.
Sean mengirim kode ke Jihan untuk berani memberontak atau setidaknya menolak sekali. Tapi sekali lagi, Jihan mengirimkan isyarat bahwa dia gak punya nyali untuk itu.
Di antara tiga orang di keluarganya, Sean adalah satu satunya orang yang masih manusiawi bagi Jihan. Dia sering bantuin Jihan, selalu menyemangati Jihan atau sekedar ngasih saran. Tapi terkadang, emosinya tak terkendali, jadi dia marah sama siapa, yang kena ujung ujungnya Jihan juga.
But, it's okay. Karena setelah lepas kendali, biasanya Sean bakalan mohon ampun ke Jihan seminggu full, tanpa terkecuali. Karena memang, semua itu diluar kendalinya Sean. Jihan paham akan hal itu.
"Jangan lupa, kalau kamu lolos audisi, uang gaji bintang iklan kamu harus bayar ke Mama. Sekedar buat donasiin baju baru buat Mama." Jihan hanya bisa menghela napas pelan, dan mengangguk saat mendengar celotehan Mama.
Pukk...
Jihan menoleh ke arah bawah. Ada selembar kertas kecil yang mendarat di pahanya.
Dibukanya kertas tersebut, dan menampilkan tulisan acak acakan khas Sean di dalam kertas tersebut.
"Jangan dimasukkan ke dalam hati. Mama emang kayak gitu."
Inilah satu alasan kuat mengapa Jihan masih bertahan di kehidupan yang kejam ini. Karena masih ada Sean yang tak henti hentinya menyemangatinya.
"Semangat!" bisik Sean pelan sambil diiringi dengan senyuman manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream [Minsung]✔
FanficGerhana Jihandra Rafandra hanyalah seorang remaja yang lelah dengan hidupnya sendiri. Hidupnya itu kayak gak tenang aja gitu, setiap hari ada aja masalah yang datang silih berganti, seperti tak membiarkannya untuk tenang barang sesaat pun. Jihan le...