Chapter 18 - Pinggir Sungai

241 40 1
                                    

"Pfttt... Hahahahaha! Muka lo lucu banget!" Bulan tertawa dengan kerasnya saat melihat muka cengo Jihan.

Jihan yang tadinya memasang muka cengo yang terlihat gak paham, kini berubah menjadi cemberut kecil dengan pipi digembungkan.

Bulan masih tetap tertawa, bahkan tawanya lebih keras lagi setelah melihat raut wajah Jihan berubah jadi cemberut.

"Ah, lo mah becanda mulu! Gak like gue. Kirain tadi itu beneran....," rajuk Jihan sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Bulan memberhentikan tawanya yang makin menjadi jadi. Dia kini memandangi Jihan yang tampak enggan untuk menatapnya balik.

Yang lebih tua tampak mengulum senyum gemas. Ngelihat Jihan yang sedang bersedekap dengan pipi digembungkan dan juga bibir yang cemberut tentu membuat Bulan semakin dilanda kegemasan tingkat tinggi.

Grep...

"Bulan!!" Jihan meronta ronta saat Bulan mencubit pipinya pelan, lalu ditarik tarik ke sembarang arah.

"Gue gemes sama lo, Han!!" ucap Bulan sambil terus menerus menarik narik mochi yang menjelma menjadi pipi berlemak.

Jihan hanya pasrah pas pipinya ditarik tarik kayak tali tambang.

Cukup lama Bulan narik narikin pipi gembul tersebut. Untung aja pipi Jihan gak tambah melar.

Karena udah capek, Bulan pun berhenti dan menjauhkan tangannya dari pipi Jihan. Jihan mendengus pelan, lalu menatap Bulan dengan tatapan malasnya.

"Udah selesai nyubitin pipi gue?" tanya Jihan, sarkastis.

Bulan cuma haha hehe sambil menganggukkan kepalanya.

"Yok ah, lanjutin perjalanan lagi. Takutnya Felix nungguin." Jihan langsung mengambil langkah dan berjalan lebih dulu.

Bulan ikut berjalan, namun memilih untuk tetap di belakang Jihan.

"Han, jangan cepet cepet jalannya! Gue jangan ditinggal!" rengek Bulan sambil berlari lari kecil untuk menghampiri Jihan.

"Huft... Lo kelamaan!!" Jihan merengut sambil menghentak hentakan kakinya layaknya anak kecil yang lagi ngambek.

"Ngambek nih ceritanya?" goda Bulan, membuat Jihan tambah mecucu.

"Hu'um." Jihan hanya berdeham dengan nada yang lucu.

Bulan hanya bisa mengulum senyumnya. Jihan terlalu manis, dia jadi diabetes.

"Kok lo jalannya cepet cepet banget sih, Han?" tanya Bulan saat menyadari Jihan sudah membuat jarak dengan cara berjalan lebih dulu.

"Gue cuma pengin Felix cepet cepet ketemu!" jawab Jihan, tanpa menoleh sedikit pun.

"Kenapa lo pengin banget ketemu Felix?" tanya Bulan lagi.

Jihan menoleh sekilas, lalu melengos pelan. "Karena Felix adik lo."

"Hah? Maksudnya?"

Jihan berhenti, lalu membalikkan tubuhnya menghadap Bulan. "Kebahagiaan lo ada di Felix. Dan kebahagiaan gue ada di lo. Jadi kalau lo bahagia, gue juga bahagia."

Hati Bulan merasa menghangat. Entah kenapa, ucapan Jihan berpengaruh besar terhadap hatinya.

Jihan tersenyum kecil saat melihat Bulan mematung dengan wajah tak percaya.

Yang lebih kecil langsung berlari ke arah Bulan, lalu menarik tangan Bulan dengan kencang. Bulan jadi hampir terhuyung ke depan.

"Pelan pelan, Han!!" Bulan berseru dengan lantangnya. "Entar jatu-"

Bruk!!

"Nah, kan, jatuh beneran," ucap Bulan dengan nada malas.

Jihan tidak menampilkan wajah melasnya, membuat Bulan jadi gak tega.

"Ck. Udah dibilangin, jangan lari lari. Jadi jatuh, kan!" Sisi emak emaknya Bulan kembali muncul ke permukaan, dan Jihan hanya bisa terkekeh, karena memang tujuan dia berlari supaya dia bisa jatuh dan Bulan kembali menjadi emak emak rempong.

"Bisa jalan?" tanya Bulan sambil mengobati luka kecil tersebut.

Jihan menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Kenapa lo terlahir jadi cowok ya?" tanya Jihan tiba tiba, membuat Bulan menghentikan kegiatannya. "Kan, lo lebih cocok jadi perempuan," lanjut Jihan.

Bulan mendengus pelan.

"Lo orangnya khawatiran, suka ngomel, ribet, cengeng. Gue rasa, lo lebih cocok jadi emak emak."

"Ini mau ngehina apa gimana sih?" Bulan bertanya dengan wajah sepetnya. Masa iya, dia lebih cocok jadi emak emak?

Jihan terkekeh pelan. Lucu aja ngelihat wajah Bulan yang sepet itu.

"Gak usah ketawa!" bentak Bulan, membuat Jihan mingkem.

Suasana pun berubah hening, dikarenakan Jihan yang fokus memandangi luka di kakinya yang ternyata gak sekecil yang dia kira. Sedangkan Bulan, anak itu fokus mengobati luka Jihan.

"Udah. Ini mau lanjut atau mau istirahat dulu?" tanya Bulan sambil mendongakkan kepalanya untuk menatap Jihan.

"Menurut lo enaknya gimana?" Jihan malah berbalik tanya.

"Istirahat dulu aja. Takutnya kaki lo masih sakit."

Jihan ingin menolak, namun tak jadi ketika Bulan memasang wajah lelah. "Dan gue capek soalnya," lanjut Bulan.

"Istirahat dimana?" tanya Jihan sambil berusaha bangkit dari duduknya.

Bulan tampak menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari spot yang bisa digunakan untuk istirahat sejenak.

"Di sana aja yuk," tunjuk Bulan pada sebuah sungai di tengah tengah hutan. Jarak sungai itu dengan tempat mereka berada juga gak terlalu jauh.

Jihan mengangguk. Pinggiran sungai tersebut gak begitu bahaya kalau dipake duduk duduk sebentar.

"Ya udah, ayo," ajak Jihan sambil berjalan di samping Bulan.

Keduanya berjalan beriringan menuju sungai tersebut.

Gak butuh waktu lama untuk keduanya sampai di pinggiran sungai yang berukuran tak terlalu besar tersebut.

Jihan dengan iseng berkaca pada air sungai yang cukup jernih tersebut. Ia bisa melihat wajahnya sendiri di sana.

Namun ada yang janggal di penglihatan Jihan.

"Lan, kenapa muka lo gak kelihatan di sungai ya? Padahal lo juga lagi ngaca..."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lucid Dream [Minsung]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang