Jihan menatap tangan kirinya. Bukan memperhatikan tangannya, melainkan sebuah benda yang melingkarinya. Gelang dengan liontin matahari.
Si tupai itu gak tahu pasti darimana, kapan, dan siapa yang memasangkan gelang tersebut. Bisa jadi anggota keluarganya atau orang lain. Tapi Jihan gak yakin akan hal itu.
"Jihan..."
Si manis itu langsung menoleh dan mendapati Ayesha, sang Mama duduk bersimbuh di samping bangsalnya. Perasaan Jihan gak enak.
Dengan bahasa isyarat seadanya, Jihan bertanya, "Ada apa, Ma?"
Mamanya tak langsung menjawab, malah menggenggam tangan Jihan dengan erat, lalu mengecup punggung tangan itu dengan lembut.
Jihan jadi bingung.
"Maafin Mama ya, sayang... Mama udah jahat sama kamu," ucap Ayesha tulus, membuat Jihan tercengang.
Benarkah sosok dihadapannya ini adalah Mamanya? Jihan jadi ragu.
"Mungkin kata maaf gak cukup buat kesalahan kesalahan Mama di masa lampau. Tapi Mama janji, Mama akan berusaha memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih baik," lanjut Ayesha, membuat Jihan langsung speechless.
"Mama..."
Ayesha tersenyum, lalu membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapan hangatnya.
Jihan yang gak terbiasa sama kelakuan baik dari sang Mama, hanya bisa membalas pelukan tersebut dengan gerakan sedikit kaku.
"Jihan udah maafin Mama dari dulu, Ma..."
Ayesha berusaha untuk menerjemahkan bahasa isyarat yang dibuat oleh Jihan barusan. Dan tak lama, senyum manisnya terbit.
Ayesha kembali merengkuh sosok tupai tersebut. Melingkupinya dengan dekapan penuh kehangatan dan juga rasa nyaman.
Cukup lama mereka berpelukan seperti itu. Baik Jihan, maupun Ayesha, keduanya sama sama tak ingin melepaskan pelukan tersebut. Mereka terlalu berlarut larut dalam kenyamanan.
Sampai satu suara menginterupsi keduanya.
Sontak Ayesha menoleh ke belakang, ke arah pintu ruang inap Jihan.
Di sana tampak seorang suster dengan wajah cantiknya tersenyum kepada keduanya. Suster itu membawa makanan untuk Jihan dengan meja beroda.
"Ini sarapan untuk pasien Jihan. Dihabiskan ya. Dan untuk obatnya, silahkan diminum setelah selesai makan," jelas sang suster, dan dibalas anggukan kepala oleh Ayesha.
"Terima kasih banyak, sus," jawab Ayesha.
Suster dengan wajah cantik tersebut pun keluar dari ruang inap Jihan, menyisakan Jihan bersama dengan Mamanya.
"Mau Mama suapin?" tanya Ayesha sambil mengangkat sendok berisi bubur hangat ke arah mulut Jihan.
Jihan mengangguk sebagai jawabannya, lalu membuka mulutnya untuk menerima suapan dari Ayesha.
Satu, dua, hingga suapan terakhir Jihan terima dengan penuh kelembutan. Tupai itu ingin menangis saja rasanya. Selama ini, dia gak pernah diperlakukan seperti ini oleh sang Mama, jadi rasanya begitu nyaman bagi Jihan.
"Minum obatnya dulu, Jihan... baru tidur. Nanti kamu gak sembuh sembuh lho, kalau gak minum obat," bujuk Ayesha, kala melihat Jihan menutupi tubuhnya dengan selimut, enggan meminum berbagai obat-obatan beraneka warna tersebut.
"Gak ada obat bentuk lain ya, Ma?" Jihan bertanya dengan kepala menyembul di balik selimut, lalu menggerakan tangannya untuk menggunakan bahasa isyarat.
Ayesha jadi gemas melihat kelakuan sang anak yang kelewat imut itu.
"Gak ada, sayang. Emangnya Jihan mau obat yang kayak gimana?" Ayesha bertanya, membuat Jihan berpikir sejenak.
"Yang bentuk jeli gak ada ya?" tangan Jihan bergerak membentuk sebuah kalimat pertanyaan, dan dibalas gelengan beserta kekehan pelan dari sang Mama.
"Gak ada, Jihan. Itu mah obat buat anak kecil. Kamu, kan udah besar," jawab Ayesha lagi, membuat si anak mengerucutkan bibirnya.
"Jihan gak mau minum obat itu!" Dan ternyata, si anak merajuk dan enggan minum obat.
Ayesha menghela napas pelan, lalu menyibakkan selimut yang menutupi seluruh tubuh Jihan hingga ke kepala.
"Emangnya kenapa, hm? Kenapa Jihan gak mau minum obat? Jihan gak mau sembuh?" Ayesha bertanya sambil mengelus pelan surai cokelat muda anak bungsunya itu.
"Obatnya pahit...," jawab Jihan, membuat Ayesha mengulum senyum gemasnya.
Sungguh, Jihan terlalu manis untuk dirinya. Bisa bisa, Ayesha kena diabetes setiap kali melihat Jihan.
"Gak pahit kok. Nanti setelah minum obat, Jihan minum madu. Biar gak pahit." Ayesha masih berusaha membujuk anak bungsunya yang ternyata masih sedikit bersifat kekanak-kanakan.
Jihan berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan.
Ayesha langsung meraih beberapa butir obat yang disiapkan oleh suster tadi. Obat pertama pun langsung dimasukkan ke dalam mulut mungil Jihan, dan langsung ditelan dengan bantuan air putih.
Jihan langsung melet melet karena kepahitan. Dia sebelumnya gak pernah minum yang namanya obat kimia, kadi sekalinya minum langsung kepahitan.
Ayesha dengan sigap memberi sesendok madu ke dalam mulut Jihan supaya tuh anak gak melet melet mulu kayak ular.
Dan acara minum obat pun berlangsung cukup lama, dikarenakan Jihan yang menolak untuk minum obat lagi.
30 menit setelahnya, Jihan baru selesai meminum seluruh obat yang berjumlah kurang lebih 6 atau 7 butir itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream [Minsung]✔
FanfictionGerhana Jihandra Rafandra hanyalah seorang remaja yang lelah dengan hidupnya sendiri. Hidupnya itu kayak gak tenang aja gitu, setiap hari ada aja masalah yang datang silih berganti, seperti tak membiarkannya untuk tenang barang sesaat pun. Jihan le...