Malik berjalan mondar-mandir dengan ekspresi cemas. Sesekali ia menggigit kuku jarinya dan menatap pintu kaca di depannya.
Meski hari masih terlalu pagi dan belum tidur sejak semalam, ia tidak tampak mengantuk sama sekali. Sebaliknya, malah bersemangat dibalik rasa cemasnya itu.
Dari tempatnya berdiri lelaki itu bisa melihat siluet orang yang berjalan mendekati pintu. Benar saja, tak lama kemudian pintu itu terbuka. Menampakkan seorang dokter yang tersenyum sumringah.
"Selamat ya, bayinya lahir dengan sehat dan ibunya juga dalam kondisi sangat baik," kata dokter itu.
Kecemasan tadi berubah menjadi kebahagiaan tiada tara. Malik sampai meneteskan air mata haru. Apalagi saat lelaki itu akhirnya bisa melihat bayi mungilnya.
Ia masih menangis haru ketika mengadzani bayi kecil itu. Malik menggendongnya penuh kehati-hatian dan begitu sayang.
Setelah tujuh tahun usia pernikahannya bersama Pelita, akhirnya mereka dikarunia seorang bayi cantik.
"Hai sayang," ujar Malik dengan suara kecil. Setelah itu ia menyerahkan bayi tersebut pada perawat. Sebagai suami, ia juga haru melihat kondisi istrinya, Pelita.
Di ruang perawatan VIP itu ia melihat sosok Pelita terbaring. Selang infus terpasang di lengannya. Wanita itu menoleh saat Malik masuk ke dalam. Mereka saling menatap dan tersenyum.
Rasa khawatir lelaki itu terangkat sepenuhnya. Ia tahu kalau Pelita bisa mengatasi semua. Ia selalu yakin dengan kekuatan yang dimiliki sang istri.
"Makasih, Love," ucap lelaki itu. Ia memeluk Pelita dengan erat.
Masih jelas dalam ingatannya, bagaimana semalam Pelita menahan sakit. Wajahnya begitu pucat ketika Malik pulang dari kantor. Darah mengalir deras sampai membasahi sebagian baju wanita itu.
Ia pikir akan kehilangan Pelita dan bayi mereka malam tadi. Tapi Tuhan Maha Baik masih menyayangi Malik. Doa-doanya terkabul dan kini dua orang yang sangat ia cintai masih berada di sisinya.
"Ih, jangan erat-erat peluknya. Masih sakit, Lik," tegur Pelita dengan suara yang masih lemah.
Tentu Malik segera melepas pelukannya. Lalu mengambil kursi dan duduk di sisi ranjang. Tidak lupa tangannya menggenggam erat jemari Pelita.
Bahkan setelah tujuh tahun terikat, cara pandang Malik masih sama. Matanya selalu berbinar penuh cinta saat menatap Pelita.
"Tapi kamu beneran udah nggak apa-apa kan?" Tanya Malik. Memastikan kalau sang istri benar-benar dalam keadaan baik.
"Apanya yang nggak apa-apa? Ini biusnya udah mulai hilang. Sakit bekas operasi," dumal Pelita.
Malik hanya bisa meringis. Ia menggenggam erat jemari sang istri, ibu dari putrinya yang baru saja lahir.
Ngomong-ngomong, para orang tua dan sanak saudara belum datang. Malik sengaja tidak menghubungi mereka saat sedang genting. Ia menelpon mami dan mertuanya saat Pelita masuk ruang operasi.
Menurut kabar yang dikirimkan adiknya, mami dan papi sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Demikian pula dengan bapak dan ibu.
Benar saja, tidak lama kemudian ruang perawatan itu menjadi ramai. Para nenek dan kakek tampak berbahagia. Bapak sendiri sangat tidak sabar ingin melihat cucu pertamanya.
"Cantiknya..." ucap mami begitu bayi mungil itu diantarkan ke kamar dari ruang bayi.
"Namanya siapa?" Tanya ibu.
"Dee," jawab Pelita. "Dandelion."
Sepasang orang tua baru itu saling pandang dan tersenyum. Mereka hanya menonton para orang tua yang ingin menggendong cucu mereka secara bergiliran.
Antusias bapak yang paling terlihat. Mungkin karena Dee adalah cucu pertama bagi beliau. Sementara mami dan papi sudah punya tiga cucu dari dua kakak Malik.
"Bapak kamu nih, selalu bucin sama anak-anak perempuannya. Berlanjut ke cucunya juga," ujar ibu.
Malik dan Pelita maklum. Terlebih Malik, ia akhirnya bisa merasakan apa yang selama ini bapak rasa. Kasih sayang dan insting seorang ayah yang ingin melindungi putrinya begitu kuat menguar.
Sepertinya Malik akan menjadi papa protektif ke Dee. Namun Pelita pasti tidak akan membiarkan hal itu.
Pelita ingin mencontoh bagaimana ibu mendidik dirinya dan para saudara. Ia ingin Dee tumbuh menjadi anak kuat yang bebas melakukan apa saja minatnya. Tentu dalam koridor wajar.
Satu jam berlalu dan kamar menjadi sunyi. Para nenek dan kakek memutuskan pulang untuk memberi waktu bagi Pelita beristirahat. Saudara-saudara lainnya sih sepakat menengok besok atau nanti setelah mereka pulang ke rumah.
"Love," panggil Malik.
"Ya?"
"I love you so much."
Mendengar itu Pelita terkekeh. Malik tidak pernah lupa untuk mengatakan hal itu sejak dulu. Mungkin orang-orang akan berpikir kalau mereka adalah pengantin baru. Padahal sudah menikah selama tujuh tahun. Hampir satu dekade lalu.
"Me too." Balas wanita itu. Ia menggenggam jemari Malik dengan erat.
Lelaki itu tersenyum cerah. Kemudian mencondongkan tubuhnya agar bisa mencium bibir sang istri. Namun gerakan itu terhenti.
Suara rengekan dan berubah menjadi tangis kencang membuat Malik berubah arah. Alih-alih mencium istrinya, ia menghampiri boks Dee. Menggendong bayi merah itu dengan gerakan agak kaku dan menimangnya sebentar sebelum ia serahkan ke Pelita untuk diberi ASI.
Tampaknya pasangan itu kini dihantam realita. Kesibukan mereka akan bertambah dengan hadirnya si kecil Dee.
..
..Yeay! Bonus chapter! Oke, ini sepertinya bonus terakhir untuk cerita ini.
Terima kasih untuk kalian yang sudah baca dan mendukung cerita ini dengan vote dan berkomentar. Semuanya jadi pemicu semangatku untuk terus nulis sampai bisa menyelesaikan cerita ini. Terima kasih banyak!
KAMU SEDANG MEMBACA
JETLAG (Complete)
Fanfiction[Sequel Pelita] Siangku Malammu Malamku Siangmu Bahkan setelah perpisahan hari itu. Dekap hangat waktu itu. Belum memperjelas situasi mereka. Tiga tahun pun berlalu tanpa ada kata tentang 'kamu dan aku menjadi kita'. Waktu dan jarak. Apakah dua fak...