Mata Pelita yang selalu memancarkan dingin itu menatap tajam ke arah seseorang.
"Ampun, Pet. Sumpah! Gue nggak ngebut-ngebutan. Lo kan tau, gimana gue kalo lagi boncengan?" Syabil menangkup kedua telapak tangannya. Mohon ampun. Sementara Malik berbaring setengah duduk di atas kasur. Menjadi penonton cek-cok antara sahabat dan istrinya.
"Lo tuh udah hampir bikin gue jadi janda. Tau nggak?" Ucap wanita itu dengan galak.
"Lah? Lo berasa jadi istri? Gue pikir... aw! Ampun, Pet!" Pukulan bertubi-tubi mendarat di bahu Syabil.
"Item nggak salah. Emang ada mobil yang nyerempet kita. Mepet banget padahal kita jalan di pinggir. Sekarang yang penting aku kan di sini. Nggak apa-apa." Ujar Malik sambil berusaha tersenyum walau rahangnya masih terasa sakit setelah membentur aspal.
Tatapan mata Pelita masih sama tajam seperti saat menatap Syabil.
"Sori, urusan kita juga belum selesai ya... Tuan Malik. Jangan ikut campur dulu tentang yang ini."
Pelita jelas masih marah tentang kejadian di Jogja waktu itu. Ia butuh penjelasan dan menyelesaikan segalanya dengan benar. Sebelum kembali ke London tentunya.
"Bang, yang besuk lo banyak. Kok malah ngejogrok di sini? Gangguan pasutri ayang-ayangan aja, lau!" Sayfiq --adik Syabil-- muncul di ambang pintu. Kemudian menarik lengan sang kakak agar keluar dari ruang rawat Malik.
"Aw! Sakit bego!" Rutuk lelaki itu saat adiknya menarik bagian tangan yang retak.
Pintu menutup. Membiarkan Pelita berduaan dengan Malik dalam kamar rawat VIP itu.
Keheningan menyerang. Keduanya sibuk dengan fikiran masing-masing.
Sudah dua hari sejak Malik sadar keadaannya jauh lebih baik. Walau tangan dan kaki lelaki itu terbalut perban.
Kedua kaki Malik patah, pun tangan kirinya. Belum lagi lebam-lebam di wajah dan luka di besar di kepala.
Pelita menghela nafas. Ia duduk di kursi samping ranjang. Mencari kesibukan dengan mengupas apel.
"Gue mau pulang. Ntar gantian yang nunggu. Katanya giliran Maula malam ini." Ucap wanita itu. Ia sama sekali tidak menatap mata Malik. Fokus pada apel di tangannya.
"Love. Terima kasih. Kamu pulang buat aku." Tangan kanan lelaki itu mengelus pipi Pelita dengan lembut. "Maaf ya..."
Kepala wanita itu mendongak dan akhirnya menatap Malik.
"Gue... gue takut waktu itu."
Malik mengangguk lalu meminta Pelita lebih mendekat. Tangan kanannya yang sehat merengkuh tubuh Pelita. Membawanya dalam dekapan yang sangat mereka rindukan satu sama lain.
"I'm here. I'll always be here." Bisik lelaki itu. Ia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Pelita. Menghirup aroma tubuh wanitanya yang sangat ia rindu.
Detak jantung Pelita terasa tidak beraturan. Ia juga rindu. Ia takut akan kehilangan. Wanita itu mengeratkan pelukannya. Lalu tanpa terasa air mata meluncur ke pipinya.
"Ke rumah mana? Mami apa ibu?" Tanya lelaki yang masih terbaring lemah itu ketika sang istri membereskan barang-barangnya.
"Ibu. Barang-barang gue kan di sana semua." Jawab Pelita.
Wajah wanita itu terlihat sangat lelah. Bercak air mata yang mengalir dari dua hari lalu bahkan masih berjejak. Mata yang selalu berhasil membuat Malik bertekuk lutut, membengkak.
"Jangan liat-liat gitu. Muka gue berantakan." Hardiknya.
Malik terkekeh disusul ringisan karena seluruh tubuhnya sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
JETLAG (Complete)
Fanfiction[Sequel Pelita] Siangku Malammu Malamku Siangmu Bahkan setelah perpisahan hari itu. Dekap hangat waktu itu. Belum memperjelas situasi mereka. Tiga tahun pun berlalu tanpa ada kata tentang 'kamu dan aku menjadi kita'. Waktu dan jarak. Apakah dua fak...