Di pagi buta bahkan matahari pun masih nyenyak dalam peraduannya. Dua pintu kamar yang bersebelahan satu sama lain terbuka secara bersamaan. Menampilkan wajah bantal kedua orang yang keluar dari sana.
"Morning." Sapa Malik lebih dulu. Namun Pelita tidak menjawab. Gadis itu melengos ke arah dapur untuk mengambil air minum.
Helaan napas terdengar dari mulut Malik. Lelaki itu mengusak rambutnya yang masih sangat berantakan dengan frustasi.
"Sorry." Ucap lelaki itu. Entah ini yang ke berapa kali. Lima mungkin?
Tatapan mata Pelita masih tajam dan dingin. Gadis itu seperti tidak menganggap keberadaan Malik di rumahnya.
"Lit." Usaha lelaki itu tidak juga habis. Ia menatap punggung Pelita yang sekarang menyalakan kompor untuk masak air.
"Sorry kalo gue lancang." Malik terus bicara.
Mendengar itu Pelita berbalik dan menatap Malik masih dengan tatapan dingin dan tajam.
"You did." Akhirnya ada tanggapan.
Baiklah, apa yang sebenarnya terjadi pada dua insan saling mencinta ini semalam. Mari kita putar waktu sebentar saja.
Malik memeluk erat Pelita. Menyalurkan segala rindunya. Walau gadis itu sama sekali tidak membalas pelukan. Pun mengucapkan 'miss you too'. Tapi tidak adanya penolakan sudah cukup bagi pemuda dua puluh lima tahun itu.
"Bisa nggak lo pulang aja ke Indonesia? Biar gue nggak kangen kebangetan kayak gini?" Ucapan penuh harap dari lelaki itu.
Dirasanya kedua tangan Pelita mendorong dada. Berusaha agar pelukan itu terlepas.
"Pulang kata lo? Cuma supaya lo nggak kangen?" Pelita memutar bola matanya.
"Bukan gitu... lo juga kan udah selesai kuliah? Katanya pengen ngajar aja kayak bapak sama ibu lo?"
"Itu kan dulu baru rencana. Nyatanya di sini gue masih enjoy. Lo dateng-dateng ngomong gitu cuma buat diri lo. Egois bukan sih namanya?"
"Maksud gue buk..."
Belum selesai Malik menjelaskan, Pelita langsung masuk ke dalam kamar temannya. Membanting pintu dengan keras.
Dan ia sadar, sudah melakukan sebuah kesalahan besar.
Pelita tidak seperti gadis kebanyakan yang akan silau dengan apa yang Malik punya. Bukan hanya tampang, tapi juga limpahan materi keluarga yang jelas lelaki itu dapat bagiannya.
Menjadi wanita Malik sepertinya tidak perlu lelah bekerja. Namun gadis satu ini sangat berbeda. Ia tidak suka jika berdiam diri. Segalanya harus ia kerjakan jika masih mampu.
Mungkin didikan dari sang orang tua memang sudah mendarah daging dalam diri gadis itu. Kedua orang tua Pelita adalah pekerja keras yang punya passion besar pada bidang pekerjaan mereka. Tidak heran jika anak-anaknya juga seperti itu.
Ucapan Malik semalam seperti memantik ego dalam diri Pelita. Sesuatu yang membuatnya merasa di remehkan menjadi karena hidup sebagai wanita.
"Gue salah. Salah banget. Gue juga egois. Egois banget malah." Lanjut Malik. Wajahnya menyiratkan penyesalan.
"Oke." Ucap Pelita setengah hati. "Gue maafin." Ia berbalik dan sekarang memasukkan beberapa sendik oatmeal ke dalam panci berisi air mendidih. "Karena lo udah rela jauh-jauh ke sini." Lanjutnya.
Senyum lebar terbit di bibir Malik. Rasanya ia ingin sekali memeluk Pelita dari belakang. Namun ia menahan diri.
Jangan macem-macem, Lik. Bukan mahrom. Lo meluk dia semalem aja udah kelewatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JETLAG (Complete)
Fanfiction[Sequel Pelita] Siangku Malammu Malamku Siangmu Bahkan setelah perpisahan hari itu. Dekap hangat waktu itu. Belum memperjelas situasi mereka. Tiga tahun pun berlalu tanpa ada kata tentang 'kamu dan aku menjadi kita'. Waktu dan jarak. Apakah dua fak...