Besi dingin itu menyentuh telapak tangan Malik. Ia berpegangan sekuat tenaga dan mulai melangkahkan kakinya bergantian. Terseok dan sangat sakit.
Peluh bahkan menghiasi keningnya. Padahal ruangan fisio terapi tempatnya sekarang berada menyalakan AC dengan suhu rendah.
"Bagus. Minggu depan kita lanjutkan lagi." Ucap terapis yang menangani Malik.
Sudah tiga bulan sejak kecelakaan terjadi. Kini kini Malik harus menjalani terapi agar bisa berjalan seperti dulu.
"Habis ini mau kemana?" Tanya Syabil yang kebagian giliran menemani sahabatnya.
Tidak seperti Malik, Syabil tangan Syabil sudah sembuh total.
"Makan." Jawab Malik.
Lelaki tampan itu duduk tegak di atas kursi roda. Sementara Syabil mendorongnya dengan hati-hati.
"Mau makan apa nih? Di bungkus apa makan di tempat?" Tanya Syabil lagi.
"Bungkus." Jawab Malik lagi.
Tiga bulan ini, mood Malik memang sering naik turun. Mungkin efek rindu.
Jadi Syabil yang sering menjadi asisten Malik hanya bisa menumpuk stok sabar.
Dengan telaten, lelaki itu membantu sahabatnya duduk di dalam mobil. Lalu melipat kursi roda dan menyimpannya di bagasi belakang.
"Lo masih marah sama si Pet?" Tanya Syabil dengan santai.
"Menurut lo?"
"Iya."
"Yaudah. Nggak usah tanya." Sewot Malik.
Menjadi Syabil itu berat. Sudahlah cintanya bertepuk sebelah tangan, masih harus jadi merpati pembawa pesan pula.
Malik dan Pelita sedang ada dalam fase perang dingin. Mereka tidak mau bicara secara langsung. Selalu menjadikan Syabil sebagai perantara.
Dua setengah bulan lalu, wanita itu berjanji untuk kembali secepatnya. Malik pikir, dua minggu kemudian Pelita kembali.
Masalahnya, bukan dua minggu. Bahkan dua bulan kemudian tidak ada tanda-tanda kalau wanita itu akan pulang.
Parahnya, seminggu lalu. Malik melihat storygram milik Pelita. Istrinya itu malah sedang liburan di Skotlandia dengan teman-temannya. Termasuk lelaki fotografer yang kelihatan naksir Pelita.
"Gue tau, gue itu sakit. Cacat pula. Tapi ya... nggak gitu juga." Curhat Malik.
Syabil membawa mobil sang sahabat dengan sangat hati-hati. Telinganya terpasang untuk mendengar unek-unek sang sahabat.
Nanti, ia akan menghubungi Pelita. Menyampaikan keluh kesah Malik pada wanita itu.
Di rumah, Malik juga masih uring-uringan. Sasarannya adalah sang adik. Maula.
"Iya gue tau kalau cacat. Tapi nggak gini juga dong posisi tidur gue." Gerutu Malik.
Inginnya mendumal, tapi Maula adalah adik yang baik. Ia mengerti keadaan sang kakak sekarang.
Kondisi tubuh Malik jelas mempengaruhi psikologisnya. Lelaki itu merasa tidak berguna. Ditambah harus tinggal jauh dari Pelita.
Fisik dan batinnya tersiksa secara bersamaan. Membuat Malik frustasi. Akibatnya, semua orang terdekat kena. Menjadi pelamliasan akan emosi-emosi dalam diri lelaki itu.
"Mi... ini nggak bisa dibiarin. Mas Malik bener-bener down." Maula merasa prihatin.
Mami mengangguk setuju. Sambil menatap Malik yang sudah tidur pulas ia menghela nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
JETLAG (Complete)
Fanfiction[Sequel Pelita] Siangku Malammu Malamku Siangmu Bahkan setelah perpisahan hari itu. Dekap hangat waktu itu. Belum memperjelas situasi mereka. Tiga tahun pun berlalu tanpa ada kata tentang 'kamu dan aku menjadi kita'. Waktu dan jarak. Apakah dua fak...