Bagian 11: Konsultasi

1.6K 212 17
                                    


Langkah kaki Malik berjalan dengan gontai. Seharian ini ia harus mengerjakan pekerjaan yang menumpuk. Beberapa rekannya sedang mengambil cuti, sehingga lelaki itu harus mengerjakan porsi pekerjaan lebih banyak dari seharusnya.

Langit sudah gelap ketika akhirnya Malik masuk ke dalam bus yang berdesakan. Ia berdiri, mempersilakan para wanita agar duduk di kursi.

Satu jam berjibaku di jalanan padat dan penuh penumpang, akhirnya lelaki itu bisa bernapas lega. Ia tiba di halte tujuan. Kemudian berjalan lagi memasuki perumahan di mana isinya adalah rumah berukuran besar dan mewah.

Dulu, Malik tidak begini. Ia membawa mobil ke mana saja. Jarang sekali berjalan. Hanya ketika akan lulus kuliah, lelaki itu membiasakan diri menggunakan kendaraan umum. Seperti sekarang.

"Baru sampai, Mas?" Sapa Pak Udin -satpam rumah keluarga Malik.

"Iya, Pak." Tanggap lelaki itu. "Orang rumah udah pada pulang?"

"Tuan Papi sama Mas Rio belum. Tapi Nyonya Mami sama Mas Maula ada kok." Jelas pria berusia empat puluhan tahun itu.

"Oke deh, Pak. Makasih." Ucap Malik sebelum akhirnya lanjut berjalan menuju dalam rumah.

Seperti hari biasanya. Bangunan yang ia sebut rumah itu selalu sepi. Kosong. Luas dan megah namun penghuninya super sibuk, tentu membuat rumah tersebut mirip seperti kosong.

Sambil menjinjing sepatu kerjanya, Malik melangkah. Namun berhenti saat melihat sosok mami sedang mengupas buah-buahan di ruang makan.

"Malik? Baru pulang?" Tanya Mami.

"Iya, Mi."

Urung naik tangga menuju lantai dua rumah. Lelaki tampan itu meletakkan sepatu di anak tangga terbawah. Setelah itu menghampiri mami.

"Sudah makan?" Tanya wanita yang masih terlihat cantik di usia lima puluhannya.

"Sudah, Mi." Jawab Malik. Ia duduk di seberang sang mami sambil mencomot satu melon potong kotak.

"Kayaknya Papi sama Mas kamu juga sibuk ya..."

"Gitu deh." Lelaki itu kini memakan satu buah strawberry. "Mi." Panggilnya.

"Ada apa ganteng?"

Tangan Mami Dira sudah berhenti sepenuhnya dari kegiatan mengupas dan memotong buah-buahan.

"Menurut mami, kalau Malik nikah umur segini gimana?"

"Nggak gimana-gimana. Umur kamu lan sudah cukup. Kenapa? Kamu mau nikah?"

Malik mengusap tengkuknya. Ia menggigit bibir bagian bawah. Pertanda sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Kalau boleh, ya Malik mau nikah di umur segini." Ucap lelaki itu akhirnya.

"Boleh-boleh aja. Kelamaan sih kalau harus nunggu Rio. Mami ribet ngelihat dia milih-milih cewek."

Malik terkekeh. Kakaknya memang begitu. Beruntung dengan apa pun kecuali masalah asmara. Kasihan.

Namun ia segera menepis pikiran mencibir sang kakak. Karena kisah asmaranya pun bisa di bilang miris.

Teringat lagi tentang pembicaraan pagi tadi. Ia dengan lancar mengajak Pelita menikah. Bukan pacaran, tapi menikah. Lewat sambungan telpon pula!

"Jadi, kamu mau nikah? Sama siapa? Pelita?"

Lelaki bertubuh tinggi bak model serta wajah tampan bagai dewa yunani itu mengangguk kecil.

"Malik pikir, LDR kalau statusnya pacaran lebih riskan. Kalau menikah kan, jelas ikatannya."

Well, itu bukan murni pemikiran Malik. Sedikit banyak sang sahabat -Syabil, memberi arahan juga nasihat hingga ia memikirkan jalan ini.

JETLAG (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang