Bagian 8: What Are We?

1.8K 219 15
                                    

Langit sudah gelap ketika Pelita dan Malik turun dari London Eye. Mereka menuju kios souvenir dan membayar foto yang tercetak saat berada di atas tadi. Layanan dari London Eye memang begitu. Setiap sampai di puncak tertinggi, para wisatawan akan berpose dengan latar luas Kota London. Lalu kamera yang sudah terpasang di dalam akan otomatis mengambil gambar mereka.

"Kenang-kenangan." Pelita menyerahkan satu lembar foto yang tercetak.

Malik menerimanya. Lalu segera menyimpannya di dalam tas ransel kecil yang ia bawa sejak tadi.

Suasana di sekitar London Eye nampak semarak. Ada keramaian pasar malam. Berbagai penjula cinderamata, makanan, dan seniman jalanan berkumpul.

"Mau lihat-lihat?" Tawar gadis itu.

Malik mengangguk dan pasrah saja saat Pelita menggamit pergelangan tangannya untuk lebih mendekat ke keramaian.

"Gue mau makan kebab. Lo mau?" Tawar gadis itu ketika mereka berjalan mendekat ke sebuah stan penjual kebab. 

"Boleh." Malik lagi-lagi hanya bisa menurut. 

Mereka pun memesan dua kebab dan memakannya sambil duduk di kursi yang sudah di siapkan. Sambil memandangi keramaian malam. Padahal ini bukan hari libur. Bayangkan jika di hari libur. Seberapa banyak orang akan tumpah ruah ke tempat itu. 

"Lo sering ke sini?" Tanya Malik.

Pelita menggeleng. "Jarang. Gue kalo udah pulang kantor, bawaannya capek. Pengen tidur." 

"Tapi kok sering begadang?" Cibir lelaki itu.

"Kapan? Enggak."

"Itu biasa chat atau VC-an? Pas tengah malem kan?"

"Itu kan lo duluan yang hubungin gue." 

"Padahal nggak apa-apa kalau nggak di bales."

"Oke, lain kali gue nggak akan bales chat atau angkat VC dari lo."

"Jangan gitu dong, Lit." 

Ya... setelah keterdiaman Pelita tadi di atas London Eye, Malik bersyukur gadis itu mau bicara lagi. Entahlah apa yang mengganjal hati seorang Pelita hingga menjawab 'love you too' terasa sangat sulit.

Bukannya tidak cinta. Jelas sekali ia mencintai Malik. Tapi rasanya asing. Itulah yang membuat gadis ini sedikit berubah. Tidak lagi heboh dan menanggapi setiap kata-kata Malik, pun Syabil di Indonesia sana. Seperti lebih berhati-hati. Sejak mengetahui bagaimana perasaan para sahabat terhadap dirinya. Terasa aneh. 



Malam merayap dan udara terasa semakin dingin. Tidak ingin terlalu larut dan terhambat hujan yang sepertinya siap untuk jatuh kapan saja, Malik mengajak Pelita untuk kembali pulang. 

"Lo tau jalan ke tempat grandpa kan?" Tanya gadis itu. 

"Lo nggak nganterin gue?" Lagi Malik malah bertanya.

Gadis menatap sahabat yang di cintanya dengan tatapan tajam, "harusnya sih gue yang di anter. Tapi kan lo nggak tau jalan. Lagian tempat grandpa lo deket banget dari sini. Tempat gue malah jauh."

Oke oke... itu tadi sebenarnya hanya candaan Malik, tapi malah mendapat semburan gerutu dari sang gadis. 

"Canda." Gumam lelaki itu. 

"Ya udah. Kereta gue bentar lagi." Ucap Pelita.

Mereka berdiri di depan pintu masuk stasiun bawah tanah. Pelita segera turun, namun tangan Malik dengan cepat menahannya.

JETLAG (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang