Bagian 16: Debat-Debat Kecil

1.7K 219 15
                                    


Pelita mendengus sebal sambil menatap layar ponsel. Sementara seseorang di seberang sana memandangnya dengan tatapan datar. Kedua tangan gadis itu terlipat di dada. Pun sang lelaki yang terlihat di layar ponsel. 

"Terus gimana?" Tanya lelaki itu.

"Ya habisin kontrak flat dong. Enam bulan lagi." Ucap Pelita dengan enteng. 

Tatapan mata Malik yang biasanya tajam, kini semakin menghujam. Jelas tidak suka dengan keputusan Pelita. Gadisnya. 

"Cuma enam bulan gini... Eden udah siapin tempatnya. Lo tinggal nempatin. Minggu depan gue juga kesana bantu lo ngisi-ngisi tempat baru." 

"Ya ampun, Lik. Nanggung banget. Enam bulan doang." Gadis itu masih bersikeras.

"Terus enam bulan tinggal sama cowok asing? Nggak."

"Lo lupa? Perjanjian kita tuh nggak pakai ngatur-ngatur gini. Biarin gue atau semua batal." Ancam Pelita.

Sebuah seringai terbit di bibir Malik. "Telat. Bapak sudah kepalang ngebet gue jadi mantunya."

Gadis itu kembali mendengus kesal. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Pokoknya tidak menatap layar ponsel. 

"Atau... pindahan minggu depan. Gue bantu." 

"Lo juga ngapain sih ke sini? Kapan itu juga udah ke sini kan..."

"Beda konteks. Kemarin kangen dan cari kepastian. Minggu depan itu kewajiban."

Pelita berdecak. Bukannya tidak suka jika Malik datang lagi. Hanya saja ia merasa takut akan terjadi kecanggungan. You know, minggu depan status keduanya akan berubah secara drastis. Itu semua karena mulut Bara --adik Pelita, yang ember mengadu pada bapak tentang housemate barunya.

"Pokoknya gue pindah sesuai kontrak sama Mrs. Jules." Kalimat terakhir sebelum gadis itu memutuskan panggilan secara sepihak. 

Ia menghela napas. Rasanya sangat menguras emosi ketika harus terlibat percakapan dengan topik yang sama bersama Malik. Setiap hari, pembahasan masalah tempat tinggal menjadi yang utama. Selalu memicu perdebatan antara keduanya. 


Orang bilang, semakin dekat menuju hari pernikahan, maka akan ada banyak masalah karena lelah persiapan pesta. Tapi ini bukan masalah pesta. Toh tidak ada acara apa pun selain syukuran kecil-kecilan yang diadakan di rumah sana. Sementara Pelita mungkin akan sibuk di hari pernikahannya. Gadis itu ada jadwal pekerjaan di luar London selama dua hari. Pastinya akan melewatkan momen pernikahan yang digelar para orang tua di tanah air. 

Aneh.

Tapi gadis itu juga tidak suka perayaan. Pernah satu kali ia berpikir untuk tidak menikah saja kalau harus membuat perayaan. Jadi, menikah dengan cara ini sedikit banyak melegakan dirinya juga. 

.

.

.

Malik memasang dasinya dengan penuh emosi. Sudah satu minggu ini ia terus berdebat masalah tempat tinggal dengan Pelita. Gadis itu benar-benar keras kepala. Tetap bertahan dengan argumen, "kontraknya belum habis."

Walau lelaki itu berkali-kali bilang tidak apa-apa. Tetap saja Pelita menolak. Sayang katanya. Bisa rugi. Padahal tempat baru itu pun sudah Malik bayar untuk satu tahun penuh. 

Ia menghela napas. Konyol sebenarnya jika terus berdebat tentang hal yang sama. Tapi ia sendiri bingung, kenapa terus ngotot?

Khawatir tentu saja. Tapi Malik aware kalau itu berlebihan. Lagipula, tinggal satu rumah dengan lawan jenis di sana ya lumrah. Lelaki itu 100% percaya dengan Pelita. Tidak ada apa-apa. Toh gadis itu juga terlalu sibuk. Beberapa hari ini bahkan mengadu kalau selalu pulang larut karena sibuk. 

JETLAG (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang