Happy Reading!!
***
"Bagus ya kalian, main dari pagi sampai gak ingat waktu dan pulang semalam ini?” Devin menatap tajam kedua orang yang baru saja turun dari mobil dengan tangan terlipat di depan dada. “Kenapa gak sekalian gak pulang aja lo, Sis?” delik Devin.
Devina hanya memutarkan bola matanya, malas mendengar omelan adik kembarnya itu. Melangkah melewati Devin dengan Sadewa yang mengekor di belakangnya.
“Devina, gue belum selesai ngomong, woy!” teriak Devin yang tidak sama sekali kembarannya itu hiraukan.
Menghentakkan kakinya kesal, Devin kemudian menyusul kedua orang itu masuk ke dalam rumah.
“Sejak kapan lo anteng banget main sama cowok sampai seharian gini?” Devin melanjutkan omelannya seraya duduk di samping sang kembaran. Tidak lupa juga melayangkan tatapan membunuh pada Sadewa yang duduk tenang di sofa single.
“Gue teleponin lo ratusan kali, gak ada satu pun yang lo respons. Ke mana sebenarnya lo di bawa dosen nyebelin lo itu? Kenapa juga gak bales pesan gue, lo tahu gue khawatir?” omel Devin seperti cacing kepanasan, sementara empat orang di ruang tengah itu hanya memperhatikan dengan raut datar.
“Lo gak biasanya kayak gini, main-main tanpa gue. Jika pun sama cowok lo, lima menit aja lo udah hubungin gue minta jemput. Hari ini kenapa bisa sampai malam? Ke mana aja lo pergi? Lo gak di apa-apain ‘kan sama dosen lo itu?” tunjuk Devin ke arah Sadewa dengan delikkan tajamnya. “Lo gak di paksa dia kan, Sis? Lo masih perawan ‘kan—"
Pletak.
Remot tv melayang mengenai kepala Devin, membuat laki-laki itu menoleh tak terima pada si pelaku yang memberikan tatapan tajamnya.
“Sembarangan aja lo kalau ngomong! Gini-gini gue cewek baik-baik walaupun mantan gue dimana-mana.” Devina melayangkan delikannya.
“Ya gue kan cuma mastiin aja, Sis. Lagian lo gak biasanya main sampe lupa waktu gini, sejak pagi gak ada hubungin gue juga lagi!” kesal Devin seraya memberikan dengusannya.
Sadewa setia menjadi menonton bersama Levin dan Devi yang sepertinya tidak berniat melerai anak-anaknya itu.
“Kamu harus terbiasa melihat hal yang seperti ini, Nak Sadewa,” Devi menggunakan dagunya untuk menunjuk kedua anaknya yang kini tengah beradu mulut yang sesekali diselingi dengan pukulan bantal sofa, juga Devina yang sesekali melayangkan jambakkannya di rambut lebat Devin. Saudara kembar itu sudah seperti kucing dan tikus jika bersatu seperti ini.
“Akan saya biasakan, Tante,” kata Sadewa di susul kekehan kecilnya.
Melirik jam di pergelangan tangannya, Sadewa kemudian menatap Levin serta Devi bergantian dan berpamitan untuk pulang. Tidak lupa Sadewa meminta maaf karena sudah membawa anak gadisnya hingga malam seperti ini. Meskipun belum terlalu larut malam juga sebenarnya, tapi tetap saja, Sadewa yang mengajak Devina main tentu berkewajiban untuk meminta maaf juga berterima kasih atas izin dan kepercayaan yang di berikan orang tua dari gadisnya itu.
Sadewa bukan tipe laki-laki yang mengajak anak gadis orang begitu saja. Tolong di ingat bahwa Sadewa tidak sepengecut itu. Ia lebih dulu meminta izin Levin membawa anaknya dan tidak lupa menyebutkan tujuan mereka pergi. Itulah alasan kenapa Levin dan Devi tidak mengomel seperti Devin.
“Habis ini kamu mandi lalu istirahat,” Sadewa mengusak rambut panjang Devina lembut. “Aku pulang dulu, besok pagi ke sini lagi jemput kamu, kita ke kampus bareng. Kali ini gak akan ada adegan aku relain kamu berangkat sama pria lain, termasuk adik kamu.” Lanjut Sadewa melirik sekilas ke belakang Devina, dimana sosok kembaran dari gadisnya berdiri tidak jauh dari posisi mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/237649678-288-k131285.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
Teen FictionDevina yang sejak awal di nobatkan sebagai playgirl di Universitas Kebaperan, siapa sangka akan terjerat pada pesona sang dosen muda yang baru saja masuk dan langsung menjadi idola seluruh kaum hawa di Kebaperan termasuk dirinya. Hanya saja Davina t...