Bab 57. Akhir Dari Masalah

866 56 11
                                    

Selamat Membaca !!!

***

"Tanggung jawab lo, Sis kerena udah buat anak orang gak sadarkan diri,” bisik Devin di tengah ketegangan yang menimpa Sadewa dan orang tuanya.

“Ck, bukan salah gue!” dengus Devina kesal karena sejak tadi kembarannya itu seolah mengompori.

“Udah jelas salah lo, Sis. Lagian lo orang sakit malah di ajak ke rooftop, mana di suruh loncat pula. Sadis tahu gak lo!”

“Berisik, Vin!” desis Devina, menatap tajam sang kembaran di sampingnya.

“Untung aja pingsannya tepat, coba kalau oleng dan ke arah yang satunya, bisa-bisa beneran tuh cewek tergeletak di lantai dasar,” ujar Devin yang sama sekali tidak menghiraukan gadis di sampingnya yang saat ini sudah geram ingin menelan orang hidup-hidup.

“Vin, Jangan sampai setelah ini lo yang gue dorong dari atap rumah sakit ini. Atau mau hotel di seberang biar lebih tinggi?”

Devin bergidik ngeri dan menggeser duduknya sedikit menjauh dari sang kembaran yang belakangan ini entah mengapa menjadi galak, kejam dan menyeramkan, juga bertambah tak punya hati. Ya tentu saja, lagi pula mana ada orang punya hati menyuruh orang sakit loncat dari atap. Devina sinting memang.

Entah sudah berapa lama mereka menunggu dalam keheningan di ruang rawat Sandra setelah Dokter memeriksanya dan menyatakan bahwa Sandra hanya kelelahan dan syok akibat aksi menegangkan di rooftop tadi, sampai akhirnya perempuan itu sadar dan semua orang dapat menghela napas lega terlebih Devina yang sedikit banyak merasa bersalah karena bagaimanapun memang dirinyalah yang salah karena sudah nekad membawa Sandra di saat tahu keadaan perempuan itu tidak dalam kondisi sehat.

“Maaf udah buat lo seperti ini,” ucap Devina sesal begitu sudah berdiri di samping ranjang pasien Sandra.

“Cih, sekarang aja lo minta maaf. Tadi aja nyuruh gue mati,” ujar Sandra sinis.

“Lo sendiri yang pengen mati, kalau-kalau lo lupa,” delik Devina kembali terpancing emosi, padahal ia sudah berbaik hati meminta maaf. Ck, dasar Tante-Tante menyebalkan!

“Ya, awalnya. Sebelum gue sadar bahwa mati ternyata semenyeramkan itu,” Sandra menundukkan kepalanya. “Gue kira kehilangan Sadewa akan lebih menyeramkan, tapi nyatanya mati lebih menakutkan berkali-kali lipat,” Sandra meringis pelan membayangkan kematian benar-benar menimpanya.

“Lo benar, Dev, cinta itu tidak bisa di paksakan, tidak bisa di pilih dan tidak bisa seenaknya. Sekeras apa pun gue berusaha meraih Sadewa, tetap saja gue gak bisa memilikinya. Sadewa ada, namun bukan tercipta untuk gue. Sekarang gue sadar bahwa apa yang diinginkan belum tentu itu yang Tuhan takdirkan. Thanks Dev, udah menyadarkan gue,” ucap Sandra dengan tulus, membuat kekesalan Devina luruh dan digantikan dengan sunyum penuh kelegaan.

“Baguslah kalau lo udah sadar,” ujar Devina dengan santai, walau dalam hati ia bersorak senang karena pada akhrinya gangguan itu tersingkirkan. “Setelah ini gak akan ngancam-ngancam cowok gue lagi untuk bunuh diri ‘kan?” sindir Devina yang di balas dengan kekehan kecil Sandra. Perempuan itu menggelengkan kepalanya cepat. Sandra lalu melirik ke arah Sadewa yang sejak tadi bungkam di sisi ranjangnya. Tatapan pria itu tajam dan sorot khawatir sekaligus kesal dapat dengan jelas Sandra lihat, membuatnya meringis, merasa bersalah.

“Maaf,” cicit Sandra merasa bersalah.

Setelah apa yang Devina ucapkan di rooftop tadi, Sandra sadar bahwa selama ini dirinya terlalu memaksakan kehendak, memaksakan Sadewa untuk mencintainya padahal sudah dengan jelas pria itu mengatakan bahwa Sandra nyatanya tak lebih dari sekedar sahabat dan saudara. Seharusnya Sandra beruntung karena Sadewa masih mau menganggap dirinya berarti. Namun cinta terlalu menutup matanya, hingga membuat Sandra buta sampai tidak menyadarai bahwa selama bersamanya Sadewa tidaklah bahagia, laki-laki itu terbebani atas semua sikapnya yang keras kepala dan pemaksa.

Pelabuhan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang