Happy Reading !!!
***
“Dev,”
Devina menoleh saat namanya di panggil. Dan sosok tampan yang kemarin memutuskannya berdiri tak jauh darinya, melayangkan senyum yang dulu sempat Devina sukai. Namun tidak untuk sekarang. “Ada apa?” tanya Devina dengan wajah tenang dan suara dinginnya.
“Mau pulang bareng gue?” tawar Gibran masih mempertahankan senyumnya.
“Enggak.” Jawaban sesingkat itu yang kemudian membuat senyum di bibir Gibran luntur seketika.
“Kenapa? Padahal gue mau ngajak lo balikan,” Gibran menghembuskan napasnya panjang, terlihat lesu. “Gue nyesel udah mutusin lo kemarin. Sebenarnya gue juga memang gak niat mutusin lo. Gue masih sayang sama lo, Dev,”
Tatapan yang Gibran berikan seolah menunjukan apa yang memang sebenarnya laki-laki itu rasakan. Namun Devina tidak tahu apa itu benar-benar tulus atau hanya sekedar modus untuk membuatnya luluh.
“Dan gue pun tahu lo pasti memiliki perasaan yang sama. Cuma gue satu-satunya yang lama pacaran sama lo, meyakinkan gue bahwa lo memang cinta sama gue. Tidak peduli berapa kali pun lo selingkuh dulu, karena kenyataannya cuma gue yang lo pertahankan.”
Apa yang Gibran katakan memang benar adanya, dan Devina sepertinya harus memberikan acungan jempol untuk sang mantan. Laki-laki itu tidak salah berucap bahwa memang dia yang Devina pertahankan hingga tiga bulan kemarin, tapi untuk cinta? Devina menggelengkan kepalanya dengan tegas, tidak sama sekali membenarkan itu. Devina hanya sekedar nyaman, dan kenyamanan itu tidak bisa di kaitkan dengan cinta. Perasaan itu belum pernah lagi ada setelah penghkianatan di berikan oleh kekasihnya dulu.
“Devina, lo mau kan jadi pacar gue lagi?” tanya Gibran dengan sorot mata lembut yang menipu. Dan jangan lupakan setangkai bunga mawar laki-laki itu persembahkan. Sama seperti tiga bulan lalu laki-laki itu menyatakan cintanya.
Devin yang baru saja datang menyaksikan pernyataan cinta itu hanya mengeluarkan dengusannya, merasa bosan. Berdiri beberapa langkah di belakang Gibran yang tidak menyadari keberadaannya. Sementara Devina masih mempertahankan ekspresi tenangnya, walau dalam hati ingin sekali memaki laki-laki tidak tahu diri di depannya.
“Bran, lo seharusnya tahu bahwa gue gak akan pernah kembali memungut apa pun yang sudah gue buang, apa lagi yang udah buang gue. Lo sadar bahwa hanya lo yang gue pertahankan paling lama ...” Devina tersenyum begitu tipis nyaris tak terlihat. “... tapi lo terlalu gak tahu diri kalau sekarang minta gue kembali. Dan satu hal yang harus lo tahu dan ingat, gue gak pernah cinta sama lo. Selama ini cuma lo yang gue pertahankan karena gue nyaman. Cinta itu belum sempat hadir, tapi lo sudah lebih dulu merusaknya. Mungkin kalau itu tidak terjadi, bisa aja cinta gue akan jadi milik lo. Sayangnya, lo bukan orang yang beruntung itu.”
Menepuk pundak Gibran sebanyak dua kali, Devina kemudian melayangkan senyumnya, setelah itu melenggang pergi menuju mobil Devin, di ikuti sang kembaran dari belakang, meninggalkan Gibran yang diam mematung dengan penyesalan dan rasa malu, karena ternyata ada beberapa orang yang menyaksikan aksi penolakan yang di dapatkannya, termasuk Sadewa yang memang mengikuti Devina tanpa sadar hingga parkiran, membuatnya semakin penasaran pada sosok cantik itu.
“Hari ini dua laki-laki yang lo buat patah hati, Sis.” Kata Devin begitu sudah berada di dalam mobil.
“Terus itu semua salah gue?” tanya Devina dengan kening berkerut.
Devin yang tidak ingin berakhir ribut dengan saudara satu perutnya itu pun memilih untuk menggelengkan kepala dan tidak lagi bicara hingga mereka sampai di rumah.
🐾🐾🐾
“Twins, makan malamnya sudah siap!” teriak sang mama dari bawah tangga. Dan tak lama pintu kamar yang bersebelahan itu terbuka secara bersamaan, menampilkan sosok tampan dan cantik yang melangkah akrab menuruni anak tangga.
“Selamat malam Mama sayang,” sapa kedua remaja kembar itu mengecup pipi Devi secara bersamaan. Membuat Devi tersenyum haru dan membalas kecupan di pipi anak-anaknya.
“Papa kalian sudah nunggu di meja makan, Mama mau panggilin kakak dulu.” Devi melangkah menuju kamar anak pertamanya yang masih juga betah mengurung diri di kamar.
Devina dan Devin belum juga pergi dari tempatnya, memilih menatap kepergian sang mama yang kemudian menghilang di belokan sebelah kiri lantai atas rumahnya.
“Jangan sampai Mama nangis lagi,” gumam Devina menundukan kepala, sedih mendapati kenyataan pahit yang di alami kakak tercintanya hingga membuat semua keluarga bersedih terlebih sang mama.
“Sesekali kita ajak Kak Dan liburan, Sis. Kalau dia gak mau, kita paksa aja. Setidaknya dia mau keluar dari kamar," usul Devin, yang kemudian di angguki Devina. Setelahnya mereka berdua pergi ke dapur menemui sang papa yang sibuk dengan game di ponselnya.
“Nanti main bareng sama Devin mau gak, Pa? Kita tanding.” Devin duduk di kursi sebelah kiri papa-nya, mengintip apa yang di mainkan orang tua menyebalkannya itu.
“Gak.” Jawab Levin singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.
“Kenapa? Takut kalah ya?” ejek Devin menaik turunkan alisnya.
“Papa gak pernah takut kalah, karena yang Papa takutkan itu amukan Mama kamu. Kalau Mama lihat Papa main game terus, bisa-bisa macan betina ngamuk. Itu lebih seram dari kekalahan.” Levin berkata sambil menengok kanan kirinya, takut sang istri mendengar dan berujung dengan menyuruhnya tidur di sofa.
Devina dan Devin kemudian menertawakan dengan begitu puasnya, cukup paham bagaimana orang tuanya yang selalu saja beradu argumen mengenai apa pun itu. Sang mama yang galak dan papa yang menjadi kucing manis jika berhadapan dengan istrinya selalu membuat Dania, Devina dan Devin geli. Orang tuanya memang seunik itu, dan ketiganya beruntung lahir dalam keluarganya yang sekarang ini.
“Kalian tertawain apa?” tanya Devi yang baru saja kembali dari kamar anak pertamanya, dan sudah dapat ketiga orang di meja makan itu tebak bahwa usaha Devi tidak berhasil.
“Ngetawain Papa yang ngatain Mama macan betina.” Jujur Devin yang langsung saja mendapat pelototan dari papanya.
“Papa menganggap Mama macan betina?” Devi berkacak pinggang menatap tajam suaminya yang menggaruk tengkuknya salah tingkah.
“Emang salah ya, Ma?” dengan polosnya Levin bertanya lalu kemudian memberikan cengirannya begitu tatapan istrinya semakin tajam dirinya terima. “Meskipun begitu, Mama tetap aja cantik. Selalu bikin Papa jatuh cinta.” Tambah Levin mengedipkan matanya genit, yang sukses membuat wajah Devi bersemu.
“Mama terlalu murahan, masa iya di gombalin dikit aja langsung luluh. Payah.”
“Kamu ngatain Mama murahan!” murka Devi menatap galak anak lelakinya yang tersentak kaget akibat gebrakan meja yang di lakukan sang mama.
“Mana ada. Mama salah dengar kali, jelas-jelas Devin bilang kalau Mama secantik bidadari.” Elak Devin mencari perlindungannya sendiri.
“Heleh dasar penjilat!” cibir Devina memutar bola matanya, lalu mulai mengambil nasi serta lauk yang tersedia di meja makan, tak ingin terlalu meladeni keluarganya yang kadang penuh dengan kebohongan dan tipu muslihat seperti yang barusan terjadi.
***
See you next part !!!
![](https://img.wattpad.com/cover/237649678-288-k131285.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
Novela JuvenilDevina yang sejak awal di nobatkan sebagai playgirl di Universitas Kebaperan, siapa sangka akan terjerat pada pesona sang dosen muda yang baru saja masuk dan langsung menjadi idola seluruh kaum hawa di Kebaperan termasuk dirinya. Hanya saja Davina t...