15. Terjebak

1.1K 73 0
                                        

Happy Reading !!

***

Devina terpaksa harus mengabaikan bunyi dalam perutnya karena tidak sempat untuk mengisinya terlebih dulu. Waktunya tidak lagi banyak untuk makan, karena mata kuliah selanjutnya akan segera di mulai beberapa menit lagi, dan Devina hanya bisa menitip roti coklat kesukaannya melalui pesan singkat pada Miranda yang kebetulan masih berada di kantin. Beruntungnya sahabatnya itu tidak lupa, dan justru berbaik hati dengan sekaligus membelikannya minuman yang sempat Devina lupakan.

Memakan habis dua bungkus roti isi, cukup untuk mengganjal perutnya, setidaknya hingga jam kuliahnya selesai. Tiga jam ke depan.

"Di kasih hukuman apa lo sama si tampan?" tanya Miranda yang kini menengok ke belakang, begitu memastikan bahwa dosen tua yang lima menit lalu masuk ke kelas itu sudah fokus pada papan tulis di depan.

"Makan malam." Jawab Devina singkat, tanpa mengalihkan tatapannya dari dosen yang tengah memberikan materi. Cukup mata kuliah Sadewa yang dilewatkannya, jangan sampai sekarang pun ia kembali melewatkannya.

Mata Miranda membulat mendengar jawaban dari sahabatnya itu, menatap sepenuhnya pada Devina dengan pandangan tak percaya. "Lo serius? Gak lagi halu kan?" delikkan Devina berikan pada sahabatnya itu, lalu kembali menatap ke arah papan tulis yang sudah hampir setengahnya penuh dengan coretan dari spidol hitam, mengabaikan tatapan ingin tahu Miranda yang menuntut.

"Miranda Titania!"

Mendengar namanya di panggil, Miranda perlahan menoleh, dan meringis kecil saat dilihatnya tatapan tajam dari dosen itu seakan membunuhnya. "I-iya Pak?" cicit Miranda pelan.

"Apa papan tulisnya sudah pindah ke belakang?" Miranda menggeleng takut-takut mendengar pertanyaan dengan nada galak itu. Dosennya yang satu ini memang di kenal killer dan juga pelit akan nilai, Miranda jadi merutuki diri karena tidak bisa menahan keingintahuaannya mengenai hukuman yang di berikan dosen idola pada sahabatnya yang saat ini malah duduk anteng tanpa berniat membantunya keluar dari omelan.

"Kalau begitu, kenapa kamu menghadap ke belakang? Sudah bosan berada di kelas? Atau sudah merasa paham dengan apa yang saya jelaskan? Jika memang seperti itu, ayo maju dan jelaskan pada teman-teman kamu yang belum paham."

Miranda semakin meringis, sementara beberapa temannya menatap dan mengucapkan kata 'mampus' tanpa suara. Sial memang, dan ingatkan Miranda untuk meminta pertanggung jawaban pada Devina nanti.

🍒🍒🍒

Sejak keluarnya Devina, Sadewa masih menatap pintu yang tertutup beberapa detik yang lalu, sampai pintu itu kembali terbuka dan menampilkan sosok cantik yang sama sekali tidak ingin ditemuinya saat ini. Tatapan yang semula kosong akibat terkejut dengan kalimat dan bantingan pintu yang di lakukan mahasiswi spesialnya, berganti dengan tatapan tanpa minat dan memilih untuk menggeser laptop ke hadapannya kembali tanpa menghiraukan sapaan manja perempuan yang baru saja datang tanpa mengabarinya.

"Kamu kok kayaknya gak senang aku datang?" ujar Sandra dengan cemberut, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan laki-laki tampan yang menjadi kekasihnya itu.

"Aku sibuk, San." Jawab malas Sadewa tanpa mengalihkan sedikit pun tatapannya dari laptop di depannya.

"Yang barusan keluar itu mahasiswi kamu?" tanya Sandra yang tidak menghiraukan perkataan Sadewa sebelumnya.

"Kenapa memang?" Sadewa mendongak begitu tahu yang di maksud Sandra adalah Devina, karena tidak ada orang lain yang baru saja keluar dan masuk ke ruangannya selain perempuan yang baru saja menolak ajakannya untuk makan malam bersama.

"Gak apa-apa sih, tapi aku heran aja kenapa dia keluar dengan wajah kesal sampai banting pintu segala, kamu gak tegur mahasiswi gak sopan seperti itu?"

"Aku ngasih tugas banyak, wajar kalau dia kesal." Bohong Sadewa, lalu kembali memfokuskan diri pada layar datar di depannya.

"Kamu ke mana aja belakangan ini?" tanya Sandra yang memang niat awal kedatangannya untuk mempertanyakan itu, karena bagaimanapun beberapa hari ini ia merasa di abaikan oleh kekasihnya. Jangankan untuk bertemu, pesan singkat saja tidak ada satu pun yang laki-laki itu respons.

"Aku sibuk, San." Jawaban singkat bernada datar itu Sadewa berikan, membuat perempuan di depannya mengetatkan rahang, kesal.

"Sesibuk itu, sampai kamu mengabaikan pesan aku?" Sandra menggelengkan kepala, tak percaya. "Balas pesan aku gak akan sampai menghabiskan waktu lima menit, Sadewa!" nada suara Sandra naik satu oktaf.

Sadewa menghela napasnya berat, menoleh pada perempuan di depannya yang kini sudah berkaca-kaca. Dulu ekspresi itu yang selalu melemahkan Sadewa, membuatnya selalu mengalah dan menuruti apa pun yang Sandra inginkan, meminta maaf untuk kesalahan yang tidak sama sekali dirinya lakukan, Sadewa selalu memilih untuk merengkuh tubuh rapuh milik perempuan di hadapannya, tapi entah mengapa untuk kali ini, itu tidak sama sekali membuatnya terenyuh.

"Apa aku tidak lebih penting dari pekerjaan kamu itu?" lirih Sandra bertanya. "Kamu tahu aku sudah tidak memiliki siapa pun selain kamu, waktuku sudah tak banyak, Sadewa ...." Air mata yang sejak tadi di tahannya, merembas keluar dari pertahanan. Sandra menunduk, dan menyeka air mata yang membasahi pipinya.

Melihat itu membuat Sadewa pada akhirnya bangkit dari duduk dan menghampiri Sandra, berdiri di samping kursi yang didudukinya, lalu membawa kepala perempuan itu ke dalam rengkuhannya. Sadewa masih saja menjadi laki-laki lemah untuk perempuan yang hampir tujuh bulan ini menjadi kekasihnya.

Dulu mereka adalah sahabat dekat yang bahkan sudah seperti saudara, hingga selesai kelulusan SMA mereka terpaksa terpisahkan oleh jarak dan waktu, tanpa pesan dan kabar berita. Sampai pada akhirnya, satu tahun lalu kembali di pertemukan dengan kenyataan perempuan itu hidup sebatang kara, membuat orang tua Sadewa iba, termasuk dirinya sendiri.

Awalnya ia tidak berniat menjadikan perempuan itu sebagai kekasih, hanya sebagai perantara untuk mengelabuhi pacar-pacar Sadewa yang bersikeras tak ingin di putuskan. Namun siapa yang menyangka pada akhirnya mereka benar-benar menjadi sepasang kekasih, Sadewa pun tidak mengerti, tapi dukungan dari orang tuanya membuat ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menjalankan peran yang sudah terlanjur di mainkan.

Sejak lama Sadewa ingin melepaskan, tapi kembali kenyataan pahit mengenai perempuan itu membuat Sadewa pada akhirnya tidak tega mengatakan perpisahan. Ya, Sadewa terjebak, dan ia menyesal telah menjadikan Sandra sebagai tamengnya saat itu. Meskipun untuk beberapa bulan belakangan ini Sadewa cukup menikmati hubungannya dengan Sandra, tapi tidak untuk satu bulan terakhir ini, kehadiran Devina menyadarkannya, bahwa perasaan cinta itu tidak pernah dirinya miliki untuk perempuan yang saat ini menjadi kekasihnya. Terdengar jahat memang, tapi siapa yang tahu jika urusan hati? Ah, jangan lupakan bahwa dirinya memang sudah jahat sejak dulu, terlebih pada wanita.

***

Tbc.

Pelabuhan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang