10. Dilarang Mampir

1K 94 1
                                    

Happy Reading!!!

***

Seperti kebiasaannya, Devina selalu sibuk dengan ponselnya saat mengisi waktu selama di perjalanan. Sadewa yang sesekali menoleh, tidak jarang mengerutkan keningnya, heran mengenai apa yang tengah dilakukan perempuan cantik di sampingnya itu yang sejak tadi begitu fokus pada ponsel di tangannya. Pertanyaan yang dilontarkannya tidak juga mendapat respons, membuat Sadewa mendesah lelah juga geregetan.

“Devina, rumah kamu di mana?” entah itu pertanyaan untuk ke berapa kalinya yang Sadewa berikan pada gadis cantik di sampingnya, dan lagi-lagi itu tidak di hiraukan oleh Devina.

Gemas karena di abaikan, Sadewa menghentikan mobil di pinggir jalan dan menangkup wajah cantik itu menggunakan kedua tangannya.

“Bapak ngapain?” panik Devina.

“Bunuh kamu!” jawab Sadewa asal. “Kesal saya dari tadi kamu abaikan. Apa sih sebenarnya yang sedang kamu lakukan dengan ponsel kamu itu, sampai-sampai saya yang tampan ini di abaikan? Apa ponsel itu lebih menarik dari saya?” tanya Sadewa yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Entah lah kenapa ia bisa sekesal itu hanya karena Devina terlalu fokus pada ponselnya. Mungkin karena Sadewa terlalu terbiasa menjadi pusat perhatian, jadi merasa kesal saat ada perempuan yang mengabaikannya, atau mungkin karena alasan lain? Entah, hanya hatinya yang tahu.

“Rumah kamu dimana?” tanya Sadewa sekali lagi, tanpa menatap Devina yang saat ini terbengong melihat gurat kekesalan laki-laki di sampingnya. Devina berpikir, ada apa dengan dosennya itu?

“Rumah kamu dimana, Devina?” ulang Sadewa saat beberapa detik berlalu dan masih tidak juga ada jawaban yang keluar dari mulut mahasiswinya itu.

“Perumahan Elite Estate.” Jawab Devina masih tidak mengalihkan pandangannya dari laki-laki di depannya.

“Coba jawabnya dari tadi, jadi kita gak harus puter balik seperti ini,” cubitan gemas Sadewa berikan, kemudian kembali melajukan mobilnya.

“Salah Bapak kenapa gak nanya dari tadi.” Cuek, Devina menjawab.

“Saya sudah tanya kamu sejak mobil saya melaju. Kamunya aja yang gak dengar, kamu seolah-olah meninggalkan dunia--”

“Saya belum mati, Pak! Sembarangan aja kalau bicara.” Protes Devina tajam, membuat Sadewa terkekeh kecil melihat gadis yang duduk di sampingnya terlalu menggemaskan.

“Siapa juga yang bilang kalau kamu mati? Ck, jangan aneh-aneh deh! Saya belum nikahi kamu, jadi tentu saja kamu tidak boleh mati dulu.”

Mulut Devina menganga dan tatapannya melongo mendengar ucapan dosennya itu. Entah dirinya yang salah mendengar, atau mungkin karena laki-laki itu salah bicara. Devina ingin mengabaikannya, tapi sepertinya itu sulit karena kini hatinya tiba-tiba saja menghangat dan detak jantungnya berdetak dengan begitu kencang.

“Blok berapa?” tanya Sadewa, menarik Devina kembali pada dunianya.

“13A.”

Tak lama, mobil yang di kendarai Sadewa berhenti tepat di rumah dengan nomor yang di sebutkan oleh Devina, yang kini mengecek bahwa tidak ada barangnya yang tertinggal sebelum turun dari mobil dosennya itu.

“Gak mau nawarin saya masuk?” tanya Sadewa saat Devina baru saja hendak membuka pintu mobil.

“Sudah malam, di larang mampir.” Jawab Devina menatap datar Sadewa yang setia duduk di tempatnya.

“Bukan karena ayah kamu galak?”

“Papa saya baik, Pak. Tapi karena saya memang gak mau ngundang Bapak masuk aja. Jadi maaf, dan terima kasih untuk tumpangannya. Saya perlu bayar ongkos gak?” tanya Devina sebelum benar-benar keluar dari mobil.

“Kalau niat mau bayar, besok saja traktir saya makan.” Sadewa melayangkan senyum manis yang selalu bisa memikat para perempuan untuk mendekat.

“Bilang aja kalau Bapak mencari alasan untuk kembali bertemu saya.” Cibir Devina memutar bola matanya, kemudian benar-benar keluar dari mobil Sadewa, menutup pintunya begitu kencang. Dan tanpa menunggu laki-laki itu pergi, Devina masuk ke dalam rumah, meninggalkan Sadewa yang masih mengukir senyumnya, memperhatikan Devina hingga hilang di pintu gerbang yang kembali di tutup.

🍒🍒🍒

“Tumben kencan lo lancar, Sis?” tanya Devin begitu Devina baru saja kembali menutup pintu utama.

“Lancar dari Dubai! Ngebosenin iya.” Devina menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu, bersampingan dengan saudara kembarnya. Bukan hanya mereka berdua yang berada di sana, karena kedua orang tuanya pun tengah duduk sambil menikmati kudapan dan juga teh hangat. Selalu seperti ini setiap kali ada yang mengajak Devina pergi di malam hari, keluarganya selalu menunggu ia pulang.

“Terus, kok, baru pulang? Ke mana dulu?” tanya Levin menaikkan sebelah alisnya. Sebagai orang tua jelas saja Levin harus tahu dari mana anaknya pergi.

“Nunggu taxi. Papa sama Devin emang sama aja, gak bisa di andelin!” dengus Devina begitu kembali teringat bahwa kedua laki-laki tersayangnya itu begitu sulit ia hubungi.

Devin dan Levin bukannya merasa bersalah, kedua orang itu malah puas tertawa, membuat Devina sebal hingga ingin sekali melakban mulut adik dan ayahnya.

“Datang aja kamu ada yang jemput, masa iya pulang gak ada yang nganterin? Lagi pula itu cowok gak tanggung jawab banget, berani bawa gak berani nganterin, kenapa? Keburu kamu putusin?” tanya Devi yang memang sudah biasa mendengar anaknya putus begitu selesai kencan. Devina hanya mengedikan bahunya, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Devin yang langsung saja mengusap-usap kepala saudara kembarnya itu.

Hubungannya dengan Devin memang sedekat ini, seperti sepasang kekasih yang saling menyayangi. Membuat orang-orang salah paham termasuk beberapa mantan pacar Devina yang mengira bahwa laki-laki yang menjadi kembarannya itu adalah pacar pertamanya.

“Barusan lo pulang naik taxi?” tanya Devin sedikit menunduk untuk melihat wajah saudara kembarnya. Sebuah gelengan menjadi jawaban yang Devina berikan. “Terus?”

“Di anterin Pak Sadewa.” Devina menjawab seadanya.

“Dosen baru itu?” mengangguk, Devina membenarkan. “Lo gebet dia juga?” tanya Devin memicing curiga.

“Lihat aja nanti.”

“Gila-gila. Dia dosen lo, Sis!” Devin menggelengkan kepala, tak habis pikir.

"Ya terus kenapa?" Devina mendongak, menatap kembarannya dengan alis terangkat.

"Masa iya lo gebet juga, please deh Sis, lo-"

“Kalau dia-nya yang mau sama gue gimana? Masa iya gue abaikan. Sayang, Vin, Pak Sadewa ganteng.”

Pletak.

Satu jitakan Devin berikan pada kening kembarannya itu, membuat Devina meringis juga mengerucutkan bibirnya. Menatap sang ayah minta pembelaan, tapi sayang laki-laki tua itu hanya seolah tidak memedulikan, dan malah pura-pura sibuk dengan ponselnya, walaupun Devina tahu hanya bolak-balik menu yang Levin lakukan, sementara sang mama hanya mengangkat bahu, sama-sama tidak peduli.

Orang tuanya memang semenyebalkan itu, yang kadang membuat Devina berpikir antara bersyukur atau menyesal memiliki mereka.

“Gue udah sering bilang sama lo, udahan main cowok, Devina!” gereget Devin, ingin sekali menghentikan kembarannya yang sering bergonta-ganti pasangan. Meskipun alasan yang perempuan itu berikan jelas, tetap saja Devin tidak ingin kembarannya mendapatkan batunya suatu hari nanti, itu alasan pertamanya, sedangkan alasan kedua adalah karena dirinya malas selalu di repotkan menjemput kakaknya yang selalu gagal kencan, dengan alasan membosankan.

“Iya nanti gue berhenti.” Jawab malas Devina.

“Kapan?”

“Kalau udah nemuin yang cocok.”

Devin menghela napasnya lelah, entah harus bagaimana lagi menasihati kembarannya itu. Devina terlalu keras kepala, sama seperti sang mama.

“Kamu memang penerus Papa, Dek.” Levin tersenyum bangga, sambil memberikan acungan jempolnya pada sang putri kedua.

“Dasar orang tua sinting!”

***

See you next part!!!

Pelabuhan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang