Selamat Membaca!!!
***
“Dania, buka pintunya, Sayang. Ini Mama bawain makan malam kamu,” Devi berdiri di depan kamar sang putri pertama bersama Devina yang memegang nampan berisi nasi serta lauk dan juga susu untuk Dania yang memang jarang sekali keluar kamar, jika bukan untuk berangkat kerja.
Tok … tok … tok.
“Kak—”
“Dania gak lapar, Ma.” Sahut suara lirih dari dalam sana, membuat Devi menunduk sedih karena selalu saja seperti ini jawaban yang putrinya itu berikan. Devina yang tak tega melihat mamanya, langsung merangkul wanita cantik paruh baya itu dan membawa sang mama kembali ke lantai bawah, dimana Devin dan Levin berada, tengah menonton tayangan bola.
“Jangan sedih, Ma. Anak kita hanya butuh waktu,” ucap Levin begitu sadar istrinya kembali dengan wajah murung, yang itu artinya bahwa Devi tidak berhasil membujuk putrinya untuk makan. Ini bukan untuk pertama kalinya, karena hari-hari sebelumnya selama hampir tiga tahun ini pun selalu saja seperti itu. Dania selalu memilih untuk mengurung diri di kamar, jarang bergabung bahkan hanya untuk sekedar sarapan atau makan malam bersama. Namun setidaknya anaknya itu sudah mau keluar untuk bekerja, tapi tetap saja, Levin tidak mudah untuk berinteraksi dengan sang putri pertama walau mereka berada dalam satu kantor yang sama.
“Tapi sampai kapan? Ini sudah terlalu lama, Pa!” Devi yang sudah tak bisa lagi menahan tangisnya terisak hebat, membuat Devin dan Levin yang semula duduk di sofa lain bergabung dalam sofa yang sama dengan yang Devi dan Devina duduki, memeluk wanita paruh baya yang tengah bersedih itu dengan perasaan yang sama-sama terluka.
Di balik kebahagiaan yang ada di keluarga Levin, tersimpan kesedihan yang mendalam, kesedihan yang berusaha di lupakan namun tetap menjadi luka tak tersembuhkan. Kesedihan yang di jalani dengan sabar namun masih mampu membuat air mata menetes tiada henti.
Dulu, tepatnya sebelum kejadian yang menimpa pada anak pertamanya, keluar Levin bisa di bilang sangat bahagia, keluarga yang kompak, konyol dan juga mengasyikan. Tapi setelah kejadian dimana calon menantunya mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa, sejak itulah dunia seakan tidak lagi berputar pada porosnya. Terlebih saat kenyataan bahwa Dania yang ceria dan sosok kakak juga putri yang penyayang berubah pendiam seakan tak ada lagi hidup untuknya membuat Levin, Devi, dan si kembar Devina-Devin bukan main sedihnya dan bukan main terlukanya.
Hingga saat ini kesedihan itu masih terasa. Namun mereka semua tentu saja berharap bahwa itu akan segera berakhir, dan mereka kembali pada kehidupan yang sebelumnya. Kebahagiaan yang utuh.
֍
“No, Mike, no … arrgghhh—”
Mendengar suara ribut-ribut itu, Devina yang memang belum tidur di jam satu malam ini, langsung bangkit dari meja belajarnya dan berlari ke luar dari kamar menuju kamar sebelahnya, dimana kamar sang kakak berada dan sumber suara teriakkan terdengar begitu mengerikan.
“Kak Dan,” panggil Devina sambil terus mengetuk pintu bercat putih tersebut dengan panik. “Kak Dania, bukan pintunya, please!” mohonnya masih terus menggedor pintu, sementara teriakan dan jeritan histeris masih terdengar dari dalam sana. Menambah kepanikan Devina juga Devin yang baru saja keluar dari kamarnya dengan kepanikan yang tidak beda jauh dengan kembarannya.
“Panggil Papa, Vin,” titah Devina yang dengan cepat Devin laksanakan, berlari menuruni tangga untuk ke kamar orang tuanya yang memang berada di lantai bawah, dan tak lama kemudian Devin kembali bersama dengan Devi juga Levin.
Tanpa menunggu lama dan mengucapkan apa pun, Levin membuka pintu kamar putrinya tersebut menggunakan kunci duplikat, kunci yang sengaja Levin miliki untuk di kondisi mendesak seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
Dla nastolatkówDevina yang sejak awal di nobatkan sebagai playgirl di Universitas Kebaperan, siapa sangka akan terjerat pada pesona sang dosen muda yang baru saja masuk dan langsung menjadi idola seluruh kaum hawa di Kebaperan termasuk dirinya. Hanya saja Davina t...