Happy Reading !!!
****
Begitu Devin memarkirkan mobilnya, Devina keluar lebih dulu dari mobil tersebut dan langsung di sambut dengan senyum ceria oleh Miranda yang entah sudah sejak kapan duduk di tangga parkiran. Perempuan cantik itu melambaikan tangannya, meminta agar Devina segera menghampiri.
“Kenapa?” tanya Devina begitu berada di depan sahabatnya itu.
“Gak apa-apa, gue emang sengaja nunggu lo buat ke kelas bareng,” jawabnya cengengesan, membuat Devina memutar bola matanya, kemudian melangkah lebih dulu, meninggalkan Miranda yang masih bertahan di tempatnya akibat terpesona pada laki-laki tampan di depannya yang baru saja turun dari mobil.
“Woy!” Devin yang tiba di depan sahabat kembarannya itu mengejutkan, sampai membuat Miranda terlonjak kaget dan langsung mengeluarkan sumpah serapahnya untuk Devin. “Lo ngapain masih bengong? Terpesona sama ketampanan gue?” tanya Devin, menaik turunkan alisnya. Mengabaikan segala makian perempuan di depannya.
“Cih geer!” delik Miranda. “Gue lagi lihat pangeran,” kata Miranda, kembali terfokus pada sosok di depannya, tapi yang jelas itu bukan Devin, karena di belakang kembaran dari sahabatnya itu ada pangeran yang lebih memukau dari pada laki-laki dihadapannya.
“Tau aja lo kalau gue pangeran,” Devin menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari-jari tangannya, bergaya sok tampan.
“Bukan lo curut!” Miranda memberikan toyoran di kepala Devin. “Yang gue maksud itu Pak Sadewa. Tuh dia jalan ke sini,” ujar Miranda tanpa mengalihkan tatapannya, bahkan tanpa berkedip pun Miranda merasa enggan, saking terpesonanya pada sosok tampan yang beberapa hari ini menjadi idola semua kaum perempuan di Universitas Kebaperan. Termasuk dirinya.
Devin yang mendengar nama itu langsung menoleh, dan benar saja bahwa dosen baru yang semalam mengantar kakaknya pulang berada beberapa meter dari tempatnya berdiri saat ini
Devin memicingkan matanya memperhatikan dengan saksama laki-laki yang memang menjadi dosen termuda di kampusnya. “Dari segala aspek jelas gue paling ganteng, lebih unggulnya mungkin dia pintar, makanya bisa jadi dosen.”
Lagi-lagi Miranda memberikan toyoran, dan kali ini diiringi dengan delikan tidak terima. Jelas saja sebagai penggemar, Miranda tidak rela bahwa idolanya dibandingkan, karena baginya dosen itu lebih tampan dari siapa pun termasuk laki-laki di sampingnya sekarang.
“Lo tahu gak, kalau semalam dia nganterin Devina pulang?”
“Yang benar lo, Vin?” tanya Miranda tak percaya, namun anggukan Devin membuat Miranda sepertinya memang harus mempercayai itu. “Kok bisa?” kali ini Devin mengedikkan bahunya.
Merasa bahwa tidak ada gunanya bertanya pada laki-laki itu, Miranda memilih untuk pergi dan mengejar Devina yang keberadaannya sudah tidak dapat di lihat netranya. Miranda penasaran dengan cerita di balik dosen barunya mengantarkan sahabatnya itu pulang.
Sebagai perempuan yang haus akan gosip dan informasi, tentu saja Miranda tidak boleh melewatkannya. Apalagi mengenai sang idola, dan hubungannya dengan Devina yang dirinya tahu sebagai ratunya pesona walaupun hanya dengan menampilkan wajah datar dan tenangnya, Devina sudah bisa menaklukkan semua laki-laki.
“Devina!” panggil Miranda menggebrak meja cukup keras saat dirinya sudah sampai kelas berhadapan dengan sahabatnya itu. “Semalam lo di antar pulang Pak Sadewa?” dengan napasnya yang ngos-ngosan, Miranda tidak mengurungkan niatnya untuk menanyakan kebenaran mengenai apa yang di katakan Devin.
“Kenapa memangnya?” Devina menaikkan sebelah alisnya bertanya.
“Kok bisa?” wajah penasaran Miranda dapat dengan jelas Devina lihat.
“Kebetulan.” Singkat Devina menjawab, lalu kembali menoleh pada ponsel di tangannya. Ia merasa apa yang di tanyakan sahabatnya tidaklah penting. Toh semalam memang benar-benar sebuah kebetulan.
“Masa?” Miranda memicingkan matanya “Jangan bilang lo gebet dosen baru itu juga?” tuduhnya curiga.
Devina hanya mengedikan bahu santai menanggapinya.
“Please lah, Dev, Pak Sadewa jangan di embat juga. Gue khawatir lo kena labrak fans-nya.”
“Termasuk lo?” tanya Devina sedikit menoleh pada sahabatnya itu.
“Meskipun gue juga suka sama itu dosen, tapi gue gak akan lah sampai labrak lo, karena belum tentu juga Pak Sadewa mau sama gue. Tapi fans-nya yang lain ..." Miranda menghela napasnya berat. “Cukup masalah sama Dino aja, lo lebih di kenal dengan perempuan gak punya hati. Jangan sampai buat penghuni UK makin ngehujat lo.” Miranda bukan iri, tapi ia peduli pada sahabatnya itu. Ia tidak ingin Devina semakin tidak di sukai oleh penghuni UK, terlebih kaum hawa.
“Untuk apa peduliin orang lain? Toh gue gak merugikan mereka. Gue gak minta makan sama mereka, dan terlebih lagi gue juga gak kenal mereka. Jadi, kalau mereka gak suka, ya biarin, gue gak rugi.”
Seperti itu lah Devina, tidak pernah mau pusing mendengarkan apa yang dikatakan orang lain, dan tidak ingin peduli mengenai pandangan orang terhadapnya. Baginya selama dia tidak mengganggu mereka, kenapa harus susah-susah memikirkan mereka?
Miranda tidak lagi mampu bicara, karena Devina dengan sikap tenang dan keras kepalanya bukanlah tandingan Miranda.
Menghela napas, Miranda kemudian mengeluarkan alat-alat tulisnya begitu dosen yang mengisi kelas paginya baru saja masuk.
🍒🍒🍒
“Yang, semalam kamu ke mana? Aku cari-cari kamu di taman gak ketemu juga.” Zidan yang menghampiri kelas Devina bertanya, seraya duduk di bangku kosong samping meja kekasihnya itu.
“Pulang.” Jawab Devina seadanya.
“Sama siapa? Kok gak hubungin aku?”
“Bukannya lo harusnya bersyukur gue pulang dengan selamat?” Devina memutar bola matanya malas, lalu bangkit dari duduknya dan meninggalkan Zidan serta Miranda yang masih bertahan di kursinya masing-masing. Terlalu malas meladeni pertanyaan-pertanyaan laki-laki itu, dan Devina lebih memilih mengisi perutnya di kantin.
“Sok kecantikan!” cibir salah satu perempuan di tengah koridor yang Devina lewati.
“Paling juga dia pakai pelet, makanya cowok-cowok rela jadi pacarnya. Cih, murahan!” satu lagi cibiran Devina dengar. Ia sudah biasa dengan itu, dan Devina tidak pernah ingin menanggapinya.
“Gak sakit dibicarain gitu sama orang-orang?” Devin langsung merangkul pundak kembarannya begitu keluar dari kelasnya yang memang di lewati Devina ketika akan ke kantin. Mendengar orang-orang saling berbisik dan mencibir Devina, tentu saja membuat kuping Devin panas, tapi ia di larang mengeluarkan emosinya itu oleh sang kembaran. Jadi, Devin hanya diam dan menelan kekesalannya.
“Marah untuk apa? Karena dikatai sok cantik? Please, deh, Devin sayang, gue emang cantik. Gak perlu marah ‘kan?” Devina menaikkan sebelah alisnya, menatap sang kembaran. “Di katai murahan? Bahkan lo sendiri aja gak tahu berapa harga diri gue. Jadi, apa yang mesti buat gue marah? Udahlah biarin aja, nanti juga lelah sendiri.” Ujarnya cuek.
“Lo emang didikan Papa, Sis.” Devin membuang napasnya kasar, tidak akan pernah berhasil bicara dengan kembarannya yang keras kepala itu. Devina terlalu santai dalam menanggapi, dan malah dirinya yang akan semakin emosi jika terus bersikeras memperingati perempuan itu.
***
See you next part!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
Novela JuvenilDevina yang sejak awal di nobatkan sebagai playgirl di Universitas Kebaperan, siapa sangka akan terjerat pada pesona sang dosen muda yang baru saja masuk dan langsung menjadi idola seluruh kaum hawa di Kebaperan termasuk dirinya. Hanya saja Davina t...