Happy Reading!!!
***
“Haha, jahat emang lo, Sis.” Entah sudah berapa kali Devin mengucapkan itu, sejak memasuki mobil hingga keluar dan tiba di depan kelas Devina.
Tawanya yang begitu puas tidak sama sekali membuat Devina terusik. Gadis cantik yang duduk bersampingan dengan Devin itu tetap asyik dengan ponselnya, membaca kisah-kisah fiksi yang entah terjadi atau tidak di dunia nyata.
Puk.
“Lo kenapa, Vin?” Miranda yang baru saja tiba menepuk pundak kembaran dari sahabatnya seraya bertanya dengan kening mengerut heran.
“Dua pangeran jemput tuan putri barengan ke rumah, tapi karena saking bingung harus siapa yang di pilih pada akhirnya dua-duanya di tinggal dan tuan putri memilih berangkat sama kaisar.” Cerita Devin tanpa menghentikan tawanya, sementara Miranda mengernyit bingung, tidak paham dengan apa yang coba di ceritakan laki-laki itu.
“Dev, maksud adek lo apa sih?” Miranda beralih pada Devina yang sama sekali tak acuh. “Gue temen lo, woy, bukan pajangan!” seru Miranda sebal, merebut ponsel di tangan Devina dan menyembunyikannya di saku belakang.
“Mimi peri sialan, ponsel gue!” ujar Devina kesal, berusaha mengambil kembali ponselnya, tapi Miranda tidak membiarkan sahabatnya itu berhasil.
“Jelasin dulu!"
“Apa yang harus di jelasin sih, hah!” dengus Devina memutar bola matanya kesal, lalu memilih untuk kembali duduk.
“Itu yang barusan adek lo ceritain,” Miranda menunjuk Devin dengan dagunya.
“Tanya sama dia, bukan gue.” Devina kembali bangkit dan berlalu pergi dari hadapan keduanya, malas jika harus menjelaskan apa yang terjadi tadi pada sahabatnya yang selalu saja heboh apalagi jika ada hubungannya dengan Sadewa.
Kelas yang baru akan di mulai sekitar tiga puluh menit lagi, membuat Devina akhirnya memutuskan untuk melangkah menuju taman fakultasnya yang selalu sepi. Menyendiri adalah yang ingin Devina lakukan saat ini. Tapi sepertinya alam tidak sedang berpihak padanya, karena baru saja akan berbelok suara seseorang yang memanggil memaksa Devina untuk menghentikan langkahnya.
“Lo mau ke mana?” tanya seseorang yang baru saja tiba di hadapan Devina.
“Kenapa emang?” dengan malas Devina balik bertanya. Bukan sekedar malas, tapi juga rasanya Devina muak melihat Gibran yang berdiri di depannya sekarang.
“Gue mau bicara,” Gibran menghela napasnya pelan, menatap perempuan di depannya, menunggu persetujuan. Namun sepertinya itu hanya sia-sia, karena si cantik tatap diam seolah enggan, tapi setidaknya Gibran bisa sedikit bernapas lega, tidak ada penolakan yang perempuan itu berikan, membuatnya menyimpulkan bahwa Devina siap mendengarkan. Semoga saja.
“Gue mau minta maaf,” Devina teralihkan dengan ucapan Gibran, lalu menatap laki-laki itu dengan satu alis terangkat. “Gue sadar, gue udah salah mutusin lo wak--"
Devina mengangkat tangannya, dan itu refleks membuat Gibran menghentikan ucapannya. “Gak ada yang salah. Thanks udah mutusin gue.” Setelahnya Devina berlalu pergi, berbelok arah kembali menuju kelasnya. Devina sudah tidak mood untuk pergi ke taman. Taman tempat dimana laki-laki itu memutuskannya beberapa waktu lalu.
Bukan karena dirinya belum move on, tapi Devina memang malas kembali berhubungan dengan mantan. Baginya sejak kata putus terlontar, sejak itu pula hubungan mereka selesai, menganggap tidak pernah kenal sebelumnya.
Dan mengapa ia menghentikan ucapan Gibran, itu karena Devina tahu apa tujuan laki-laki itu pada akhirnya. Oke, ini terdengar terlalu percaya diri, tapi memang Devina tahu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
Fiksi RemajaDevina yang sejak awal di nobatkan sebagai playgirl di Universitas Kebaperan, siapa sangka akan terjerat pada pesona sang dosen muda yang baru saja masuk dan langsung menjadi idola seluruh kaum hawa di Kebaperan termasuk dirinya. Hanya saja Davina t...