Happy Reading!!!
***
"Lo mau makan apa?” tanya Devin begitu tiba di kantin.
“Apa aja terserah lo, yang penting bikin kenyang.” Jawab Devina, sebelum sibuk dengan ponselnya.
Devin hanya mengangguk, lalu melangkah mencari makanan untuk dirinya juga sang kakak.
Tak lama kepergian Devin, Miranda datang dan duduk di kursi samping sahabatnya itu, di ikuti Zidan.
“Lo kebiasaan, selalu ninggalin!” decak kesal Miranda.
“Lo-nya aja yang lelet.” Balas Devina tanpa mengalihkan fokusnya dari ponsel.
“Kamu udah pesan?” tanya Zidan, setelah beberapa saat memperhatikan kekasihnya yang tidak juga melirik keberadaannya.
Zidan hanya bisa menghela napas, terpaksa menerima sikap perempuan yang kini menjadi kekasihnya. Ia sudah cukup tahu bagaimana Devina dari orang-orang penghuni Universitas Kebaperan ini, terlebih Zidan yang memang sering memperhatikan perempuan itu dari jarak jauh.
“Udah di pesenin Devin.”
Zidan mengangguk paham mendengar jawaban dari kekasihnya itu, setidaknya ia bersyukur karena Devina masih mau menjawab pertanyaannya walaupun singkat.
“Lo harus sabar ngadepin pacar lo ini, Dan. Devina cuek-cuek gini juga masih bisa lo luluhin, kok, meskipun agak sulit,” Miranda mencoba memberikan pengertian pada laki-laki yang menjadi kekasih dari sahabatnya, karena jujur, Miranda pun kadang kasihan pada mereka yang menjadi korban kecuekkan Devina. Apa lagi kalau perempuan itu sudah mengambil keputusan seenaknya. Devin yang kembarannya saja sudah kesulitan membujuk, apa kabar dengan Miranda yang hanya sebagai sahabat? Sekeras kepala itu Devina, dan tidak ada orang yang bisa menghentikannya selain dia sendiri.
“Gue sabar kok, Mir, lo tenang aja.” Jawab Zidan tersenyum kecil. Devina tidak menghiraukan itu, ia tetap fokus pada ponselnya, sampai Devin datang dengan mangkuk bakso yang masih mengepul, dan harumnya yang khas itu membuat Devina teralihkan.
“Jangan banyak-banyak!” tegur Devin dan Zidan bersamaan saat Devina akan menuangkan sambal ke dalam mangkuk baksonya.
“Pacar sama ipar kompak bengat.” Miranda terkekeh pelan.
“Belum tentu dia jadi ipar gue,” delik Devin, mengambil alih botol sambal di tangan kembarannya.
“Iya, tapi semoga aja Tuhan berbaik hati untuk menjadikan kakak lo pedamping hidup gue nanti.” Zidan melayangkan senyumnya, sementara Devin mencebikkan bibirnya, dan Devina tidak peduli pada obrolan kedua orang di depannya itu.
“Mimpi lo ketinggian.” Cibir Devin. Meskipun dirinya menginginkan kembarannya itu tobat, tapi tidak akan dengan mudahnya Devin menyerahkan Devina pada laki-laki yang sama sekali belum dikenalnya.
Devin tentu saja akan menyeleksinya lebih dulu, karena tidak ingin kejadian dulu kembali terulang, dimana sang kembaran ditinggalkan saat tengah sayang-sayangnya. Laki-laki ‘kan keseringan memang seperti itu, berpaling begitu menemukan yang lebih menarik, dan mencampakkan yang ada dengan tidak berpesaraannya.
Itu lah alasan mengapa Devin tidak ingin menjadi laki-laki berengsek seperti ayahnya sewaktu muda dulu, di tambah dengan anggota keluarganya yang lebih banyak perempuan, membuat Devin tidak tega untuk bermain-main, apalagi sampai menyakiti perempuan.
🍒🍒🍒
Jam kuliah Devina selesai tepat pukul lima sore dan kini ia bingung harus pulang bagaimana karena Devin sudah selesai kelas dari jam dua siang tadi dan pulang lebih dulu, sebab tidak ingin menunggu dengan bosan.
Sementara Zidan? Devina tidak terlalu suka membebani orang lain, ia tidak ingin bergantung selain pada keluarganya. Ia akan pulang bersama siapa pun itu kekasihnya, jika memang mereka menjanjikan akan menjemput dan mengantarkannya, atau memang berinisiatif menunggu hingga kelasnya selesai. Sedangkan Zidan hari ini tidak melakukan itu semua, jadi tidak ada alasan untuk Devina menghubungi laki-laki itu dan merengek minta di jemput.
Please, itu bukan Devina sekali.
“Kebiasaan emang nih bocah, giliran gue butuhin sulit banget di hubungi.” Kesal Devina, begitu teleponnya selalu di abaikan oleh kembarannya.
“Makanya kasih nomor kamu ke saya, biar bisa selalu mudah di hubungi.”
“Astaga!” Devina menekankan kedua telapak tangannya di dada, terkejut bukan main begitu suara berat terdengar dari belakangnya. “Pak Sadewa bisa gak sih gak selalu datang tiba-tiba seperti ini. Saya kaget tahu Pak, gimana kalau jantung saya lepas?!” kesal Devina masih tidak menghilangkan raut terkejutnya.
“Lebay kamu!” ujar Sadewa seraya memberikan sentilan kecil di kening mahasiswi cantiknya itu. “Mau pulang ‘kan? Ayo bareng saya,” kata Sadewa pada Devina yang masih berusaha menetralkan kembali detak jantungnya.
“Gak usah, Pak, terima kasih.” Tolak Devina dengan sopan.
“Kamu masih punya hutang teraktir saya, Devina! Jadi, tidak ada penolakan. Lagi pula saya memang tidak minta persetujuan kamu.” Ujar Sadewa yang tidak juga menghilangkan wajah ramah dengan senyum memikatnya, di tambah dengan sorot mata teduh yang membuat siapa saja tidak ingin berpaling.
“Saya tidak merasa menjanjikan untuk neraktir, Bapak. Maaf, ya, saya gak punya hutang apa pun.” Devina memutar bola matanya.
“Ongkos semalam, kamu jangan lupa. Ayo cepatan, saya lapar dari siang belum makan.” Sadewa meraih tangan Devina, menarik perempuan itu menuju mobilnya yang terparkir. Tidak peduli dengan penolakan yang terus mahasiswinya itu layangkan. Sadewa suka, kok, memakai jalur pemaksaan, asalkan bisa duduk bersampingan dengan Devina. Untung-untung duduknya di pelaminan.
“Pak Sadewa kalau memang gak ikhlas, gak usah nganterin saya mendingan.” Delik Devina begitu mereka sudah duduk di dalam mobil.
“Kata siapa saya gak ikhlas? Saya ikhlas kok, makanya mau nganterin kamu.” Melemparkan senyum, Sadewa kemudian melajukan mobilnya meninggalkan pelataran parkir kampus.
“Mana ada yang ikhlas minta imbalan.” Cibir Devina, yang entah mengapa selalu mengeluarkan berbagai macam ekspresi jika berhadapan dengan laki-laki yang menjadi dosennya itu.
Oke, Devina akui bahwa dirinya memang tertarik pada dosen tampannya, tapi apa harus seperti ini, mengeluarkan ekspresi lain selain datar dan tenang sebagaimana pada yang lainnya.
Devina benci jika sudah seperti ini, karena seperti wanita pada umumnya, Devina pun sama, mudah luluh dan jatuh cinta jika di hadapkan dengan laki-laki yang membuatnya terpesona dan nyaman. Sialnya ia memang merasakan itu saat besama Sadewa.
“Saya gak minta imbalan. Bukannya kamu sendiri yang mau bayar ongkos karena saya sudah nganter kamu pulang kemarin malam?” Sadewa menoleh sekilas pada Devina, sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya.
“Kapan saya bicara seperti itu? Gak usah ngada-ngada!”
“Saya tidak mengada-ngada, memang benar kamu bicara seperti itu kemarin malam.”
“Udahlah terserah Bapak aja, saya lelah.” Menyerah lebih baik dari pada terus menerus meladeni dosennya yang menyebalkan itu.
“Kamu lelah kenapa?” Sadewa menoleh, menaikan sebelah alisnya menatap Devina yang terlihat sekali lesu. “Tinggal duduk aja masa iya lelah, ck! Makanya banyakin olahraga, Dev, biar sehat.”
“Saya lelah bicara sama Bapak.” Devina memijat-mijat pelipisnya yang berdenyut, selain karena pusing dengan tugas kuliah, juga memperdebatkan yang tidak penting dengan laki-laki di sampingnya itu.
Devina tidak menyangka bahwa laki-laki seganteng Sadewa bisa sebawel dan memusingkan ini. Sepertinya ia memang harus menyesal karena sudah menyukai pria itu.
***
Bersambung ...
![](https://img.wattpad.com/cover/237649678-288-k131285.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
Novela JuvenilDevina yang sejak awal di nobatkan sebagai playgirl di Universitas Kebaperan, siapa sangka akan terjerat pada pesona sang dosen muda yang baru saja masuk dan langsung menjadi idola seluruh kaum hawa di Kebaperan termasuk dirinya. Hanya saja Davina t...