13. Pemikiran Sadewa

998 83 0
                                    

Happy Reading!!!

***

"Bapak mau bawa saya ke mana?” tanya Devina yang sejak tadi heran karena mobil Sadewa tidak juga berhenti. Devina masih takut di culik, apa lagi oleh laki-laki setampan dosennya itu.

“Mau makanlah, Dev. Kan tadi saya sudah bilang.” Sadewa menoleh sekilas pada perempuan di sampingnya itu.

“Makan dimana? Kita sejak tadi udah banyak lewatin tempat makan, Pak. Lagi pula kalau mau makan di kantin kampus juga banyak," Devina mengerutkan keningnya, tidak habis pikir pada dosen tampannya yang memilih tempat jauh hanya untuk sekedar makan.

“Kantin jam segini tuh sudah habis. Kamu jangan lupa kalau ini sudah menjelang malam.” Satu sentilan, Sadewa berikan, dan itu membuat Devina melayangkan tatapan tajamnya. Tidak ada yang berani melakukan itu selain Devin dan mantan kekasihnya dulu yang sudah mengkhianatinya, di tambah Gibran mungkin, dan itu pun hanya satu kali karena lebih dulu Devina tegur.

“Ya, itu Bapak tahu kalau sekarang sudah menjelang malam. Kenapa masih ajak saya nyari tempat makan sejauh ini?” tanya Devina tak habis pikir.

“Gak jauh kok, sekarang juga kita sampai.” Sadewa mulai membelokan mobilnya memasuki area parkir.

Devina menoleh keluar jendela untuk mengetahui tempat apa yang di pilih dosennya itu. “Bapak gak salah ngajak saya makan di sini?” tanya Devina begitu Sadewa berhasil memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran yang cukup terkenal dengan harganya yang mahal.

“Kenapa memangnya? Kamu gak mampu untuk teraktir saya? Gak apa-apa nanti biar saya kasih diskon dua puluh persen.” Ujar Sadewa yang kemudian membuka sabuk pengamannya, juga mematikan mesin mobil.

“Bukan masalah mampu sama enggaknya, tapi yang benar aja, ongkos dari taman kota ke rumah saya semahal ini.” Devina mendelikan matanya pada sang dosen yang sejak tadi selalu saja memberikan senyuman lembutnya. Kini senyum itu tidak lagi membuat Devina terpesona dan menjadikannya sebagai favorit, karena sejak hari ini juga dirinya resmi mengatakan bahwa itu adalah senyum menyebalkan milik Sadewa.

“Jelas saja mahal, karena kamu di antar oleh supir setampan saya.” Sadewa menaik turunkan alisnya menggoda perempuan yang masih setia duduk di jok penumpang sampingnya, karena mereka memang masih bertahan di dalam mobil.

Delikkan mata kembali Devina berikan, setelah itu membuang napasnya lelah. “Seingat saya, malam kemarin saya tidak meminta Bapak untuk mengantarkan saya pulang. Bapak sendiri yang maksa.”

“Oke-oke saya yang maksa. Terus kamu mau teraktir saya dimana?” Sadewa pada akhirnya mengalah.

“Saya gak mau teraktir Bapak. Saya mau pulang, pengen tidur.” Lesu Devina menjawab, gurat lelahnya memang tidak dapat di hilangkan dan Sadewa memang jelas melihat itu sejak tadi, tapi Sadewa seolah menutup matanya, karena saking inginnya memiliki waktu berdua dengan perempuan itu.

“Tapi saya lapar,” ujar Sadewa dengan perut yang tiba-tiba berbunyi, dirinya memang benar-benar lapar setelah melewatkan makan siangnya hanya demi makan bersama Devina.

“Itu bukan urusan saya. Kalau Bapak mau makan silahkan, saya bisa pulang dengan taxi.” Kukuh Devina memilih untuk pulang sendiri, tapi begitu hendak membuka pintu mobil, Sadewa lebih cepat mencegahnya.

“Biar saya antar kamu pulang. Tidur aja, nanti kalau sudah sampai saya bangunkan.” Putus Sadewa pada akhirnya, lalu melajukan kembali mobilnya meninggalkan pelataran parkir, tidak tega juga rasanya melihat Devina yang kelelahan seperti sekarang ini.

Entahlah kenapa Sadewa bisa tertarik pada gadis seperti Devina, meskipun Sadewa akui Devina adalah perempuan cantik yang memiliki pesona, tapi masih banyak yang lebih cantik di luaran sana, dan mahasiswi yang setara Devina pun cukup banyak di kampus. Namun mengapa ia hanya memiliki ketertarikan itu pada gadis di sampingnya?

Apa mungkin karena Devina memiliki pacar yang membuatnya merasa tertantang? Atau ada alasan lain yang mendasar? Sadewa tidak memahami itu, karena yang jelas dirinya merasa senang berada di samping perempuan itu. Ada kenyamanan berbeda yang hatinya rasakan, dan ketertarikan itu terasa lebih besar di bandingkan dengan perempuan lainnya.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di rumah besar Devina, karena hanya dengan waktu kurang dari satu jam, Sadewa sudah berada di pekarangan rumah itu setelah satpam membukakan pintu gerbang yang tinggi menjulang.

“Devina bangun, kita sudah sampai di rumah kamu.” Sadewa sedikit mengguncang tubuh mahasiswinya yang tertidur nyenyak di jok penumpang. Namun sudah berkali-kali dirinya lakukan, tetap saja tidak membuat perempuan itu bangun, bahkan tidak sama sekali terusik, membuat Sadewa menghela napasnya lelah. Sampai pada akhirnya, ia keluar dari mobilnya, berniat akan menggendong Devina dan menyerahkan gadis itu pada orang tuanya, tapi lebih dulu ia melihat seseorang datang dari dalam rumah, menghampiri Sadewa yang baru saja hendak membuka pintu penumpang dimana Devina berada.

“Lo yang bawa Devina?” tanya laki-laki itu dengan raut wajah tak suka.

Sadewa mengangguk pelan pada laki-laki yang setahunya adalah pacar dari perempuan yang ada di dalam mobilnya.

“Ke mana lo bawa dia? Sekarang dianya mana?” kembali laki-laki itu melayangkan tanya dengan nada dingin dan datarnya.

“Devina tidur,” jawab Sadewa yang belum paham dengan situasinya saat ini, cukup heran mengapa kekasih Devina berada di rumah ini, hingga pemikiran lain muncul di kepala jenius Sadewa mengenai anggapan bahwa mungkin mereka sudah menikah, tapi tak lama Sadewa kembali menggelengkan kepalanya, menolak membenarkan anggapannya itu.

Namun ketika di ingat bagaimana kedekatan kedua orang itu yang cukup intim, membuat Sadewa mau tak mau harus menerima anggapan hatinya semula, meskipun masih tetap saja merasa ragu.

Memikirkan itu entah kenapa membuat Sadewa mendadak lambat seperti ini. Hanya karena perempuan bernama Devina, Sadewa merasa kejeniusannya hilang, dan pikiran jernihnya melayang. Apa yang sebanarnya berada dalam diri Devina yang mampu membuat Sadewa yang di gilai banyak perempuan menjadi bodoh seperti sekarang ini?

“Minggir,” titah Devin pada Sadewa yang menghalangi pintu penumpang.

Sadewa hanya menurut dan membiarkan laki-laki yang belum dirinya tahu namanya itu mengangkat Devina yang masih setia tidur. Mungkin saking lelahnya, membuat tidur Devina sama sekali tidak terganggu, atau bisa juga gadis itu memang terbiasa tidur seperti orang mati.

“Terima kasih sudah mengantarkan Devina, sekarang silahkan Anda pulang.” Setelah mengucapkan itu Devin melangkah menuju rumah, meninggalkan Sadewa yang masih terpaku di tempatnya.

Mengira akan di persilahkan masuk nyatanya malah di usir begitu saja. Sadewa mendengus kecil, lalu kembali masuk ke dalam mobil dan melajukannya meninggalkan pekarangan rumah besar itu, dan berjanji pada dirinya untuk segera mencari tahu mengenai hubungan Devina dengan laki-laki itu agar pertanyaan-pertanyaan dalam diri juga rasa penasarannya terjawab, dan keputusan dapat Sadewa ambil dalam melanjutkan langkah.

Jika keduanya masih pacaran, Sadewa akan terus mengejar, karena bagaimanapun selama janur kuning belum melengkung dan tenda biru terpasang maka, Devina masih milik orang taunya, tapi kalau mereka sudah menikah, dengan berat hati Sadewa akan menjauhi perempuan itu. Meskipun milik orang lain lebih menantang, tapi Sadewa tidak ingin jika harus mengganggu rumah tangga orang. Namun jika mereka bersaudara ...? Sial, kenapa itu baru dirinya sadari?

“Sepertinya saya memang harus cari tahu mengenai hubungan kalian biar tidak membuat saya bingung dan kepikiran seperti ini.”

***

Bersambung. ..

Pelabuhan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang