Bab 54. Cemburu

637 46 5
                                    

Selamat Membaca !!!

***

Sis, supir lo udah datang nih!” teriak Devin begitu keluar dari rumah dan mendapati Sadewa baru saja tiba di teras rumahnya.

Mendengar teriakan calon adik iparnya itu tentu saja membuat Sadewa kesal, dan tatapan tajam tidak segan Sadewa layangkan, namun tidak sama sekali bocah itu hiraukan.

“Nilai di mata kuliah saya D baru tahu rasa kamu,” ujar Sadewa dengan sorot mata mengancam.

“Gak profesional banget campurin masalah pribadi sama nilai,” cibir Devin memutar bola matanya malas. “Ini rumah Bapak gue, dan di sini posisi lo bukan sebagai dosen, melainkan calon kakak ipar gue, itu pun kalau Devina mau nikah sama situ,” ujar Devin yang tidak sama sekali menghiraukan tatapan tajam pria dewasa di depannya.

Devin memang tidak ada sopannya, tapi jika di kampus, ia tetap menghormati Sadewa sebagai dosennya. Tapi sekarang ia sedang berperan sebagai adik yang tengah melindungi kakak perempuannya. Jadi jangan salahkan Devin jika gaya bahasanya terdengar tidak sopan.

“Oke, adik ipar,” ucap Sadewa yang tidak ingin berdebat lebih panjang dengan Devin saat ini karena bagaimanapun Sadewa butuh restu dari bocah menyebalkan itu demi kelangsungan hubungannya dengan Devina kedepannya.

“Adik ipar-adik ipar, belum jadi woy! Devina belum tentu bersedia nikah sama lo,” sewot Devin, membuat Sadewa berusaha sekuat tenaga untuk tidak menghujat bocah beranjak dewasa di depannya. Sadewa harus paham bahwa di mata Devin dirinya akan terlihat selalu salah. Beruntunglah kembaran Devina itu laki-laki, coba kalau perempuan? Kelar hidup Sadewa yang akan semakin terlihat salah.

Pletak.

“Lo pagi-pagi teriak-teriak, bikin burung tetangga pada kabur ketakutan tahu gak! Lagian ini rumah bukan hutan,” ujar Devina melayangkan geplakan pedas di belakang kepala kembarannya itu.

“Sakit bego!” teriak Devin protes.

Pletak.

“Kamu yang bego, di bilangin jangan teriak pagi-pagi malah teriak lagi,” kali ini Devi ikut melayangkan pukulannya, dan Devin tidak tahu bahwa wanita cantik kesayangannya itu juga ikut keluar dari rumah. Inginnya ia kembali berteriak dan memaki karena sungguh kepalanya saat ini berdenyut nyeri, tapi jika sampai itu terjadi maka ia yakin bahwa rasa sakitnya malah akan semakin bertambah, dan tidak menutup kemungkinan bahwa dirinya akan masuk rumah sakit karena tindakan kekerasan dari keluarganya yang super tega itu. Jadilah pada akhirnya Devin menyuarakan serapah dan makian itu di dalam hatinya.

“Sakit tahu, Ma, nanti kalau Devin bego beneran gimana coba. Memangnya mau Mama punya anak yang bego?”

“Amit-amit,” Devi mengetuk-ngetukkan kepalan tangannya ke pelipis dan dengkulnya, sambil terus menggumamkan kata itu.

“Makanya jangan main pukul kepala Devin. Devin bego ‘kan Mama sendiri yang nantinya malu. Masa punya anak ganteng gini tapi bego, kan gak uwuw, Ma,” kata Devin dengan mendramatisir.

Pletak.

“Lebay!” cibir Levin yang juga ikut-ikutan melayangkan tempelengannya di kepala belakang Devin. Sakit yang tadi saja belum hilang, kini di tambah lagi. Sial memang.

Aish, udahlah Devin mending berangkat kuliah aja. Lama-lama diam di rumah yang ada babak belur gara-gara kekerasan kalian. Devin mau cari keluarga lain aja, di sini udah gak ada yang sayang Devin,” ujar Devin dengan penuh drama, membuat Devina, Devi dan Levin berekspresi seolah ingin muntah, sementara Sadewa yang sejak tadi menyaksikan tidak jauh berbeda mualnya. Tidak menyangka bahwa bocah yang selalu saja menatapnya sengit itu begitu menggelikan seperti ini.

Pelabuhan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang